Paris, Demokratis
Upaya diplomatik untuk mencapai gencatan senjata di Jalur Gaza semakin memanas. Mesir bersama negara-negara mediator utama kini tengah mengerahkan segala daya untuk membujuk Hamas agar menerima proposal perdamaian yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump.
Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty secara terbuka mengonfirmasi bahwa pemerintahnya sedang bekerja sama erat dengan Qatar dan Turki guna meyakinkan kelompok pejuang Palestina itu. Pernyataan ini disampaikan Abdelatty saat berbicara di French of International Relations di Paris, Kamis (2/10/2025).
Dalam pernyataannya yang lugas, Abdelatty secara eksplisit menyebut bahwa Hamas harus bersedia melucuti senjata mereka. Alasan di balik tuntutan ini sangat jelas: agar Israel tidak lagi memiliki dalih untuk terus menggempur Gaza.
“Jangan biarkan satu pihak pun menggunakan Hamas sebagai dalih atas pembunuhan warga sipil yang gila-gilaan ini. Apa yang terjadi sekarang jauh melebihi pada 7 Oktober,” kata Abdelatty, seperti dikutip dari Reuters.
Agresi Israel: Dari Balas Dendam ke Genosida
Pernyataan Abdelatty merujuk pada serangan mendadak yang dilancarkan Hamas pada 7 Oktober, yang diklaim Israel menewaskan 1.200 orang. Tak lama setelah serangan itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendeklarasikan perang, diikuti oleh agresi besar-besaran yang menimbulkan bencana kemanusiaan.
Fakta di lapangan menunjukkan dampak brutal agresi Israel. Lebih dari 66.000 warga Palestina tewas. Ratusan ribu fasilitas sipil vital, termasuk rumah sakit, tempat ibadah, dan sekolah, hancur lebur.
Abdelatty mengecam keras tindakan militer Israel, menyebutnya sudah melampaui batas wajar. “Ini bukan balas dendam. Ini bentuk pembersihan etnis dan genosida. Jadi, cukup, sudah cukup,” ungkapnya, menggarisbawahi urgensi bagi Hamas untuk mengambil langkah yang dapat menghentikan pertumpahan darah ini.
Poin Krusial Proposal Trump dan Sikap Kritis Hamas
Proposal Trump sendiri, yang dikemas dalam 20 poin, mencakup sejumlah aspek penting. Di antaranya: penghentian serangan, pemulangan sandera, penarikan pasukan Israel dengan syarat tertentu, dan pembentukan pemerintahan transisi di Gaza.
Proposal ini juga menjanjikan pemberian bantuan kemanusiaan skala besar, pembangunan kembali wilayah kantong tersebut, serta pelucutan senjata dan amnesti bagi Hamas.
Namun, usulan ini menuai kritik tajam dari para pakar yang menilai isinya terlalu condong dan hanya menguntungkan Israel, sementara hak-hak warga Palestina sebagai korban genosida dikesampingkan.
Hamas, melalui anggota biro politiknya, Mahommed Nazzal, sudah menyatakan bahwa mereka tidak akan tertekan oleh tenggat waktu yang ditetapkan Trump.
Nazzal menegaskan, Hamas masih merundingkan usulan itu dan akan menyampaikan pandangannya ‘dengan cara yang sesuai dengan kepentingan rakyat Palestina’.
“Kami tidak berurusan (dengan rencana ini), dengan logika bahwa waktu adalah pedang yang diarahkan ke leher kami,” tegas Nazzal kepada Al Jazeera, mengindikasikan bahwa Mesir, Qatar, dan Turki harus bekerja keras meyakinkan Hamas sebelum gencatan senjata benar-benar terjadi. (IB)