Kamis, Juni 26, 2025

Mungkinkah Pemakzulan Presiden?

Mustahil nampaknya. Lantaran waktu tidak cukup.

Adanya pernyataan 100 tokoh intelektual kampus sudah kita ketahui. Terdiri dari pimpinan universitas seperti Rektor Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Indonesia (UI) dan lain-lain. Isinya tentang pemakzulan Presiden Jokowi sebelum pemilihan umum (pemilu) tanggal 14 Februari 2024.

Makzul berarti pemberhentian, penurunan dan penggantian. Atau pengambil alihan yang identik dengan kasus yang terjadi pada Presiden Abdul Rahman Wahid atau Gus Dur. Dicopot dari jabatan Presiden.

Pertanyaannya adalah mungkinkah secara kontitusi dilakukan? Jawabnya berpegang kepada waktu yang ada jawabnya tidak mungkin. Karena waktu tinggal 5 hari lagi.

Lain halnya kalau di luar konstitusi. Misalnya dengan demontrasi besar-besaran. Atau kalau ada chaos atau kekacau balauan.

Pemakzulan menurut Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Jogyakarta hanya tentang alasan pemakmakzulan. Bukan tentang bagaimana melaksanakannya. Waktu sisa menjelang pemilu jelas tidak cukup.

Suasana memang panas sekali. Menghendaki Jokowi dimakzulkan dari Presiden. Agar dengan demikian Jokowi tidak lagi menjadi Presiden lalu tidak berkuasa.

Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan, ada presedur konstitusi yaitu Dewan Perkwakilan Rakyat (DPR-RI), Mahkamah Konstitusi (MK), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) yang bersidang. Barulah pemakzulan Presiden seperti pemakzulan Presiden Gus Dur.

Seperti demikian proses konstitusi yang kita sepakati. Kecuali yang tadi di luar prosedur konstitusi yang diakukan. Chaos keadaannya kacau balau dan tidak terkendali. Demikian penjelasan Ari Dwipayana menjawab tentang keinginan pemakzulan Presiden Jokowi.

Kita mengenal dua kata berhubungan dengan pemakzulan kata “noise“ yang berarti ramai suara. Kata kedua, yaitu “voice” yang berarti suara tuntutan sesuatu. Noise dan voice sama ributnya. Hanya yang satu (noise) hanya ribut saja, kedua ribut yang ada maknanya.

Kita memahamka ”noise“ hanya untuk ribut saja. Sementara “voice” ribut adalah suara yang ada tuntutan atau maknanya. Maka yang kita tanggapi adalah “voice“ ini saja.

Alasannya kalau ribut saja tak bisa dilaksanankan. Artinya tak perlu. Kita hanya mencari yang ada esensi dan bisa dilaksanakan.

Pandangan kita dalah pemakzulan Presiden Jokowi adalah suara noise belaka tak bisa dilaksankan karena waktu. Kecuali mau kacau dan negeri ini “chaos” kacau balau yang di luar undang-undang. Kita tidak menghendaki kacau balau; melainkan aman, damai dan bermartabat.

Jakarta, 10 Februari 2024

*) Penulis adalah Doktor Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Related Articles

Latest Articles