Walau kita sepakat adanya anti korupsi, rasanya kita tidak menerima dengan senang hati berita korupsi di Indonesia baru-baru ini yaitu terpantau ada tiga ratus triliun rupiah di Kementerian Keuangan melibatkan karyawan. Mereka mestilah mutlak ditangkap dan dipenjara.
Kalau itu dianggap sukses tetapi tidak menggembirakan dengan lembaga lain bukannya enak mendengar berita tangkap tangan sukses style dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan berhasil melakukan tangkap tangan pelaku korupsi. Menjadi overlapping dengan tugas lembaga kepolisian.
Sebab tugas pokok KPK adalah memberantas korupsi. Bukan memborgol orang di tempat ramai. Pelbagai model dapat dilakukan. Seperti cara lain dengan memantau tingkah laku pejabat. Meski tangkap tangan dibenarkan oleh undang-undang.
Seperti Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada instansi Basarnas baru-baru ini berkaitan dalam korupsi uang.
Maka bergulirlah perbedaan pendapat kejadian tersebut. Antara lain KPK baru-baru ini melakukan OTT terhadap pejabat Basarnas lantaran KPK menangkap pejabat militer yang tidak masuk wewenangnya. Tapi telanjur menangkapnya. Terjadi beda pendapat.
Lalu yang lain yaitu Binsar mengatakan bahwa tangkap tangan itu pristiwa dramatik. Yang ia tidak setuju dengan cara tangkap tangan yang dilakukan.
Karena itu perbuatan KPK tersebut dramatik. Artinya kasus itu mendramatisir persoalan korupsi dengan melebih-lebihkan. Hingga menyudutkan pihak yang terkena operasi tersebut. Tetapi KPK itulah style-nya. Tanpa pandang bulu, sampai KPK hampir tak punya model operasi lain. Contoh operasi pengembalian uang negara. Surat peringatan. Bekerja sama dengan lembaga lain misalnya.
Masalahnya dampak yang timbul dari debatable istilah itu. Lantas apa jalan keluar yang dapat diambil. Apakah KPK harus mundur dalam memberantas korupsi dalan kegiatannya? Sebuah persoalan tentunya. Ataukah Luhut Binsar harus meralat ucapanya itu, karena ia orang penting dalam negara ini. Terutama dalam memberantas bahaya korupsi dalam arti menyelamatkan Negara Republik Indonesia.
Terhadap persoalan ini menurut kita ada beberapa hal menjadi esensi persoalan. Dengan meminjam kata Fahri Hamzah, mantan anggota DPR RI yaitu memberantas korupsi dengan otak dan otot. Intinya harus dengan konsep dan kekuatan. Tidak cukup hanya dengan kekuatan saja. Pertama, ada perpecahan beda pendapat dalam pemberantasan korupsi antara yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
Kedua, soal kedudukan Luhut Binsar yang lemah sebagai pendukung pemerintah kini.
Ketiga, soal KPK yang kondisi ingin dapat poin penting di sini, yang sebelumnya KPK sebagai pelengkap saja. Karena melihat ini adalah peluang untuk melakukan tindakan.
Situasi inilah sekarang membuat hiruk pikuk pemberantasan korupsi yang selama ini tidak berujung pangkal. Apakah korupsi telah surut atau sama saja dengan yang dahulu. Tanda tanya besar.
Lebih lanjut terserah Pemerintah Presiden Jokowi apakah ia ingin meninggalkan prestasi atau biasa saja seperti pemerintahan sebelumnya. Yang menjadikan korupsi menjadi musuh utama Indonesia yang tidak bisa dilumpuhkan atau dikalahkan. Itu saja. Semoga.
Jakarta, 13 Agustus 2023
*) Masud HMN adalah Doktor Dosen Paskasarjana Universitas Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta