Minggu, Oktober 5, 2025

P3STL Manyingsal-Subang Berunjukrasa, Desak Bupati dan DPRD Subang Berhenti Jadi Jongos Oligarki

Subang, Demokratis

Di momen memperingati Hari Tani Nasional 24 September 2025 di kabupaten Subang , ratusan petani yang tergabung di Perkumpulan Petani Penggarap Sejahtera Tani Lestari (P3STL) Desa Manyingsal, kecamatan Cipunagara, kabupaten Subang, prov.Jawa Barat gelar aksi unjuk rasa. Mereka menggerudug kantor Bupati Subang dan kantor ATR/BPN Subang, (24/9/2025).

Saat berlangsung unjuk rasa  di kantor Pemkab Subang mereka tertahan di pintu masuk yang di kawal aparat keamanan dan Sat PolPP kabupaten Subang.

Pentolan P3STL Rudi Hartono yang akrab disapa Asep Jebrod diatas kendaraan operasional berapi-api  berorasi. Pihaknya menuntut kepada Bupati dan DPRD Subang untuk segera berhenti menjadi jongos oligarki.

“Kami tegaskan kepada Bupati dan DPRD Subang Berhentilah menjadi jongos oligarki! Kalian dipilih oleh rakyat Subang, bukan oleh korporasi. Tidak ada kepentingan lain selain kepentingan rakyat itu sendiri. Segera laksanakan reforma agraria, akui hak-hak petani, dan selesaikan konflik agraria di Subang tanpa syarat! Jangan lagi bersembunyi di balik dalih otonomi daerah sementara kalian justru menjadi pelayan pemodal.

Tuntutan mereka tidak sampai hanya disitu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi biasa disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM) pun dikutuk dan dikecam keras, Dedi dituding secara terang-terangan berpihak pada oligarki. Dia adalah jongos oligarki. Dengan wajah filantropis membungkus dirinya  demi popularitas dan elektabilitas, padahal dibalik itu ia menindas rakyat, menjebak petani dalam kerja upahan dan menghancurkan kedaulatan kelas tani. Ia adalah bunglon sosial, populis reaksioner dan penindas sejati rakyat Subang.

“ Dalam situasi ini, kami mengecam dan mengutuk keras Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, yang secara terang berpihak pada oligarki, bukan pada rakyat. Dengan dalih tanah negara, ia menggusur kaum tani Subang, tetapi di hadapan korporasi besar yang menguasai ribuan hektar tanah   dia tunduk dan patuh, cukup sudah! Kaum petani Subang muak terhadap kezhaliman ini,” ujarnya berapi-api.

Tuntutan mereka juga diarahkan kepada Presiden Prabowo Subianto, mereka menuntut dengan lantang: buktikan komitmenmu pada rakyat! Jangan ulangi pengkhianatan sejarah yang telah mencederai hati kaum tani selama puluhan tahun. Reforma agraria adalah amanat konstitusi, bukan pilihan politik sesaat. Jika engkau gagal melaksanakannya, engkau akan tercatat sebagai pengkhianat rakyat dan pengkhianat bangsa. Reforma agraria sejati atau engkau akan berhadapan dengan gelombang perlawanan rakyat! Tandasnya.

Dikatakannya, hari ini kita berdiri tegak memperingati Hari Tani Nasional, 24 September 2025. Peringatan ini bukanlah seremoni kosong, melainkan tonggak sejarah perjuangan revolusioner yang lahir dari semangat Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Undang-undang itu merupakan janji negara untuk merombak tatanan feodal dan kolonial yang selama berabad-abad menindas rakyat. Maka, Hari Tani adalah simbol perlawanan rakyat tani terhadap feodalisme, kapitalisme, dan kolonialisme, sekaligus penegasan bahwa tanah adalah hak rakyat pekerja, bukan barang dagangan yang dimonopoli segelintir oligarki.

Namun, saudara-saudara, janji sejarah itu telah dikhianati. Di Subang, khususnya di Desa Manyingsal, Kecamatan Cipunegara, dan berbagai wilayah lainnya, kita menyaksikan konflik agraria yang tak kunjung selesai. Konflik panjang itu telah merampas ruang hidup petani, menggusur kaum penggarap, dan menyeret mereka ke jurang penderitaan. Tanah—sebagai alat produksi utama dan modal sosial produktif—dirampas dan dimonopoli oleh oligarki serta kekuasaan korup. Dari sinilah lahir kemiskinan struktural yang menghancurkan kehidupan kaum tani: secara ekonomi, petani kehilangan tanah dan dipaksa menjadi buruh upahan murah; secara politik, negara bersama aparat lebih berpihak pada pemodal daripada rakyat; secara sosial budaya, martabat petani direndahkan, dianggap hina padahal merekalah tulang punggung bangsa; dan secara agama, ini adalah bentuk kezhaliman nyata, sebab tanah adalah amanah Tuhan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk ditumpuk segelintir elit. Membiarkan petani kelaparan di atas tanah subur adalah dosa sosial dan pengkhianatan terhadap keadilan ilahi.

Karena itu menuntut dengan tegas dan revolusioner: laksanakan reforma agraria sejati, reforma agraria in optima forma! Reforma agraria sejati bukan sekadar jargon politik, melainkan langkah konkret yang berarti redistribusi tanah kepada kaum tani tanpa kecuali, pengakuan hukum atas tanah garapan rakyat, penghancuran monopoli tanah oleh oligarki, serta terwujudnya keadilan sosial sebagai dasar pembangunan bangsa. Tanah harus kembali ke tangan petani, bukan dibiarkan dikuasai korporasi besar.

Menurutnya perjuangannya tidak akan berhenti di situ, mereka menolak dengan keras rezim ketahanan pangan yang tampak indah di permukaan namun sejatinya menyingkirkan rakyat. Rezim ini dipaksakan negara dengan melibatkan aparat bersenjata untuk mengontrol dan menundukkan petani. Padahal, secara ilmiah, konsep ketahanan pangan ala kapitalis tidak pernah menjamin keberlanjutan hidup petani, melainkan hanya menguntungkan pemodal besar. Secara konstitusional, UUD 1945 Pasal 33 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam harus dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk oligarki pangan.

Secara kritis, kebijakan ini hanyalah alat untuk memperluas penguasaan tanah oleh korporasi, memperdalam ketergantungan, dan merampas kedaulatan pangan rakyat. Karena itu, jalan keluarnya adalah membangun angkatan kerja tani, mengembangkan

industri pertanian berbasis rakyat, dan melakukan modernisasi pertanian yang menempatkan tanah sebagai modal sosial produktif, bukan sekadar komoditas bagi investor.

“ Perjuangan kita bukanlah perjuangan sesaat, melainkan perjuangan hidup dan mati. Kaum tani tidak meminta belas kasihan, kami menuntut keadilan. Kami telah bersumpah: tanah bukan barang dagangan, tanah adalah kehidupan! Kaum tani tidak akan tunduk, kaum tani akan melawan! Reforma agraria sejati adalah jalan keselamatan bangsa, jalan satu-satunya untuk mengakhiri penderitaan rakyat tani dan membangun kedaulatan pangan sejati,” tandasnya.

Mereka dengan lantang menyampaikan, pada Hari Tani Nasional 2025 ini, dari Subang, dari Desa Manyingsal, dari Kecamatan Cipunagara, menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia: bangkitlah, satukan barisan, rebut hak-hak kita, dan songsong kemenangan rakyat pekerja!

Hidup kaum tani! Hidup rakyat pekerja! Lawan oligarki, lawan kezhaliman! Reforma Agraria Sejati – Jalan Kedaulatan Bangsa! (Abdulah)

Related Articles

Latest Articles