Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pahitnya Gula PGRNI Jati Tujuh, Terasa Bratawali Pada Tragedi Berdarah di Indramayu

Indramayu, Demokratis

Pahitnya rasa gula hasil manajemen dan atau hasil produksi Peseroan Terbatas Pabrik Gula Rajawali Nusantara Indonesia (PT PG-RNI) Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat itu, dirasakan sepahit Bratawali oleh para korban dan keluarga serta para petani penggarap asal Indramayu.

Dari pasca tragedi berdarah yang terjadi pada 4 Oktober 2021 tahun lalu itu, menjadi kepahitan yang berkepanjangan bagi korban jiwa dan hukum yang dialami keluarga para petani penggarap lahan tebu asal Indramayu.

Industri gula negara, yang bahan bakunya dipanen melalui HGU pengelolaan lahan perkebunan tebu milik Perhutani tersebut, diduga gagal, malah jadi konflik berdarah dan berlarut, karena sebab akibat dari manajamen PT-PGRNI yang diduga tak berkredibilitas, serta diduga banyak dikerumuni semut-semut rangrang. Sehingga menghasilkan kebijakan hasil gula yang terasa pahit, bak Bratawali. Bahkan konon sari tetes tebunya pun mengalir bocor sampai jauh.

Seperti dari sejumlah berita yang sudah tayang, media telah mengungkapkan berbagai bentuk kepahitan rasa gulanya, akibat banyaknya semut yang mengganggu manajemen untuk merebut manisnya rasa gula. Sehingga kerap menimbulkan konflik di internal dan atau ekternal, seperti dugaan KKN serta tragedi berdarah antar petani penggarap di lahan tebunya.

Tragedi berdarah pada 4 Oktober 2021 lalu itu, telah menimbulkan kepahitan dengan dua nyawa tewas, puluhan luka berat dan ringan, serta satu anggota DPRD Indramayu dan puluhan orang warga Indramayu lainnya, hingga sekarang masih menjadi pesakitan jiwa dan hukum yang diduga jauh dari Pancasila.

Tragisnya lagi, dari berbagai sumber media ini mengabarkan, bahwa lahan Perhutani yang di-HGU-kan itu, diduga telah disewakan ke para petani penggarap oleh PT-PGRNI senilai 4 juta rupiah per hektar per tahun. Diketahui pula konon lahan milik Perhutani yang di-HGU-kan ke PT-PGRNI itu seluas 12 ribu hektar. Lahan tersebut berada di dua wilayah kabupaten, yakni Indramayu dan Majalengka.

Jika dihitung lahan 12.000 hektar, yang dipungut biaya sewa Rp4.000.000,- per hektarnya. Maka seharusnya nilai duit yang masuk ke kas PT-PGRNI senilai Rp48.000.000.000,- atau 48 miliar rupiah. Sementara Konstitusi NKRI ada filosofisnya yang menyebutkan negara tidak sopan bila murni berbisnis dengan rakyat.

Pertanyaannya, digunakan ke mana dana itu oleh perusahaan, secara transparan. Pasal inilah yang mendasari penyebab nuansa konflik agraria terjadi. Sebab konon sebelum area tersebut di-HGU-kan, warga petani penggarap tidak pernah dibebani biaya apapun oleh Perhutani sebagai pemilik lahan, asal untuk pertanian tumpang sari. Kebijakan itu dari Perhutani yang bernama, program Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), dan bekerja sama atau melalui kemitraan, dengan Lembaga Masyarakat Daerah Hutan (LMDH).

Dari hikmah tragedi berdarah itu, publik berharap kepada negara melalui kementerian terkait, khususnya kepada yang terhormat Erick Tohir selaku menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), segeralah  respon untuk mempestisida semut-semut yang mengkrumuni PT-PGRNI Jatitujuh Majalengka agar tidak sakit. Sehingga diharapkan publik dan para petani penggarap di dua kabupaten, bisa merasakan manisnya rasa gula produksi PT-PGRNI, tanpa ada gangguan lagi dari para semut atau memang inikah rasa gula, dari cita-cita kemerdekaan bersama itu. Dan atau kita terkesan telah rebutan warisan dari yang konon peninggalan VOC Belanda itu. Demikian ujar Supriyono S Praya, prihatin pengamat sosial dari Komunitas Gajah Rembug Indramayu, kepada Demokratis, Kamis (22/9/2022). (S Tarigan)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles