Indramayu, Demokratis
Sejumlah warga pelapor sangat prihatin atas kinerja Aparat Penegak Hukum (APH) yang ada di Kabupaten Indramayu. Hal itu karena dinilai lamban dan tidak terbuka alias tidak transparan dalam memproses kasus dugaan Korupsi yang telah dilaporkan secara tertulis. Dijelaskan, bahwa kasus dugaan Korupsi atau penyalahgunaan wewenang tersebut telah dilakukan perbuatan hukumnya oleh MM sebagai Kuwu (Kepala Desa) Pekandangan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Dugaan Korupsi Dana Desa (DD) dan Anggaran Dana Desa (ADD) Tahun Anggaran (TA) 2018, 2019, 2020 itu, telah dilaporkan secara tertulis ke Kejaksaan Negeri (Kejari) pada bulan Agustus Tahun 2020 dan dengan tembusan ke berbagai lembaga APH yang terkait. Berkas laporan sebanyak 100 lembar itu, berisi ratusan item korupsi pengadaan barang dan pekerjaan pembangunan infrastruktur yang telah di manipulatif dengan perkiraan nilai sebanyak Rp.500 juta lebih.
Yang menjadi keprihatinan warga pelapor adalah, karena hingga berita ini ditulis ketiga kalinya, laporan tersebut belum ada kabar yang didapat tindak lanjutnya. Sementara menurut pelapor, pelaku terduga korupsi masih tetap aktif dan semakin arogan serta mengintimidasi warga pelapor. Oleh karenanya, pelapor berharap dengan sangat prihatin kepada APH yang ada di Indramayu, agar cepat dan terbuka memproses kasus tersebut. Dengan memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) kepada pelapor, setiap tahapan proses penyidikan kasusnya.
Kemudian, pelapor mempertanyakan juga bila kerugian Negaranya dilakukan berasal dari manipulatif atau dari korupsi pengadaan barang dan jasa, mungkin secara regulasi bisa dikembalikan ke kas desa lagi. Dengan dasar hukum perdata. Namun jika perbuatan hukum berasal dari korupsi pekerjaan pembangunan infrastruktur, tentu sangat sulit dan meragukan keakuratan hasil auditnya. Maka hal itu dasar hukumnya harus pidana murni.
Pengakuan sementara yang didapat dari Sri Hendriyani (10/12/2020), sebagai ketua tim investigasi Inspektorat Indramayu menginformasikan, bahwa pihaknya belum merasa terima surat limpahan berkas dari Kejari. Dan pihaknya juga belum memiliki kesempatan dan waktu untuk menindaklanjuti informasi kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Kuwu Desa Pekandangan. Dari komentar Sri itu, warga pelapor menduga bahwa APH di Indramayu telah saling tuding.
Situasi dan kondisi tersebut, secara kritis dan nyinyir direspon oleh Direktur PKSPD, O’ushj Dialambaqa (11/12/2020). Dalam kritiknya ia menguraikan bahwa, alibi dan apologi yang dijelaskan oleh Sri, mencerminkan bahwa Inspektorat tidak mempunyai schedule dan running time yang terstruktur dan skematis dalam agenda auditnya.
Padahal diakui banyak laporan atau pengaduan kasus tipikor. Jika memang kinerja Inspektorat profesional dan skematis dalam sistem kerja audit atau pengawasan, justru menempatkan skala prioritas tindak lanjut dengan banyaknya laporan kasus tipikor. Karena korupsi adalah extra ordinarycrime.
Seharusnya Inspektorat malu jika masih punya kemaluan, karena pada saat melakukan audit di pemerintahan desa, seperti yang ada di desa Pekandangan dan desa-desa lainnya, para auditor atau APIP dan P2UPD tidak pernah menemukan kasus dengan hasil investigasi sendiri atau tidak ada melakukan temuan, selalu laporan hasil auditnya mulus-mulus saja.
Akan tetapi bila muncul kasus tipikornya, setelah Inspektorat menyatakan beres tak ada masalah, kemudian temuan yang dibongkar oleh masyarakatnya sendiri. Ini potret nyata paradoksal perselingkuhan para auditor Inspektorat dengan Kuwu. Atau ini yang disebut jeruk makan jeruk.
Jika Inspektorat terutama para auditornya bersistem kerja dan kinerjanya seperti itu, maka sesungguhnya setiap desa diduga telah terjadi korupsi sangat jor-joran. Namun, ada masyarakat yang peduli dan ada masyarakat yang masa bodo amat. Begitu juga yang terjadi di semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), ada korupsi tetapi, selalu tidak ada temuan dari para auditor Inspektorat maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Dijelaskan juga, seperti halnya kasus robohnya satu dari empat menara masjid Islamic Center pada Minggu (06/12/2020) yang mengakibatkan kerugian materi berupa kerusakan dari sejumlah kendaraan jemaah yang terparkir di bawah menara.
Sehingga dirasa ada unsur hukum pidananya, kemudian bahwa pembangunan masjid Islamic Center Indramayu yang telah menelan biaya kurang lebih Rp.170 milyar dengan sumber dana sebagian dari Bantuan Provinsi (Banprov), dan cost sharing Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). BPK dan BPKP serta Kepolisian Resort Indramayu, seharusnya kasus tersebut bisa menjadi temuan hukum pidana atas peristiwa itu.
Kemudian perlu diusut juga dari sumber dana Banpropnya maupun APBD-nya, dan begitu juga Inspektorat menjadikan kasus ini sebagai temuan atas penggunaan APBD untuk Islamic Center yang dikorup itu.
Namun faktanya, peristiwa itu dianggap mulus-mulus saja. Apalagi soal pemeriksaan korupsi di desa-desa, dimana para auditor atau Inspektoratnya berasumsi bahwa masyarakat desa adalah orang awam yang tidak mengerti akan aturan maupun regulasi. Sehingga terjadi kelakuan jeruk makan jeruk tersebut terus berlangsung dengan aman dan nyaman. (RT/STarigan)