Rabu, November 6, 2024

Pelopor Atau Terlapor Penyebar Hoax Sesungguhnya?

Oleh O’ushj.dialambaqa*)

Indramay, 28 Sep, 2022

Perihal : Mhn Penegasan Sikap untuk Penyelamatan Indramayu dari Darurat Korupsi dan Narkoba

 

Kepada Yang Terhormat;

1. Ketua DPD Partai Golkar

2.Ketua DPC PKB lmy

3.Ketua DPC PDIP

4.Ketua DPC.P.Gerindra

5.Ketua DPC P.Demokrat

6.Ketua DPC P.Nasdem

7.Ketua DPC PKS

8.Ketua DPC P.Hanura

9.Ketua DPC Partai Perindo

Di_ lndramayu

 

Assalamualaikum Wr.Wb

 

Salam Silaturrahmi semoga Allah SWT Memberikan Kesehatan dan Kesuksesan kepada Bpk/lbu dlm melaksanakan Aktivtas sehari-Hari Amien.

 

Selanjutnya melihat Situasi dan Dinamika Politik Pemerintahan Kab.lndramayu yg jauh dari harapan Rakyat,Kasus Korupsi Makan minum Santri Tahfidz Praktek dan atau Transaksi Narkoba sekitar bln Januari 2022 ada Penggrebegan dan atau Penangkapan di Pendopo lndramayu adalah sangat tragis memalukan dan sangat melukai Hati Para Perjuangan, Sesepuh,Tokoh masyarakat dan tentu ini adalah Kecelakakan Politik Pemerintahan yg sangat Fatal dan tdk bisa ditolerir utk masa depan lndramayu,namun Kasus dan Perkembanganya tdk ada tindaklanjut dan kejelasan dari pihak BNN dan atau Penegak Hukum sampai saat ini, Padahal Barang Bukti Narkoba dan pelaku memang Benar- Benar ada dan terbukti,olehkarnanya Kami minta Bpk/lbu yg punya otoritas dan Kewajiban sebagai tugas dan tanggungjawab yg melekat dengan jabatanya Demi menyelamatkan masa depan lndramayu utk segera melakukan langkah2 yg jelas dan tegas.

 

Demikian Surat Permohonan Penegasan Sikap utk menyelamatkan Kab.lndramayu ini Kami Sampaikan,atas segala Perhatian dan Kerjasamanya Kami Ucapkan banyak terima Kasih.

 

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Hormat Kami;

Ttd

Muhamad Sholihin

Tokoh Masyarakat lndramayu

Tembusan:

1.Yth.Bapak Presiden RI

2.Yth Bpk.Menkopolhukam

3.Yth.Bpk.Ketua Komisi lll DPR RI

4.Yth. Bpk.Kepala BNN RI

5.Yth.Bpk Kapolri

6.Yth.Bpk Kapolda Jabar

7.Yth.Bpk.Kapolres lmyu

(Disalin sesuai dengan teks dan redaksional aslinya, tidak dirubah satu huruppun).

 

Muhammad Sholihin (MS) pada 28/9/2022 mengirim surat ke para pimpinan parpol di Indramayu, dan  mengeshare ke grup WhatsApps yang Sedulur Dermayu. Lantaran surat itu  MS dipolisikan sebagai “Terlapor”  oleh Kabag. Protokol Arya Tenggara dan Toni RM (yang sekaligus adalah pengacaranya), yang harus kita katakan sebagai “Pelapor” pada 9/10/2022. Pengaduan Pelapor ditindaklanjuti oleh Polres Indramayu dengan Li No: Li/R/307/X/2022 Satreskrim tanggal 12/10/2022, dan Polres menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan dengan No.: SP.Lidik/702/X/2022/Reskrim tanggal 12/10/2022.

Terlapor telah memenuhi panggilan pada Senin, 31/10/2022, jam 09.00 WIB atas dasar surat panggilan nomor: B/14491/X/2022/Reskrim. Perihal: Permintaan keterangan, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 45 ayat (3) jo pasal 27 ayat (3) UU RI No.: 19 Tahun 2018 tentang perubahan atas UU RI No.: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Hingga artikel ini ditulis, belum ada tindak lanjut dari proses hukum lanjutan.  Kasus tersebut menarik untuk kita persoalkan dan patut kita perbincangkan dan diskusikan, bahkan patut untuk menjadi bahan perdebatan dalam dialektika intelektual akademik, karena nukleus pokok materinya adalah soal Nama Baik (NB) dan Penyebaran Berita Bohong (Hoax) atas Pejabat Publik (PP), di mana anak panahnya bisa melesat jauh.

Nama Baik

Kita sering kali latah dengan persoalan NB, terutama jika menyentuh PP. Jika PP itu tersentuh nama atas ketidakbaikannya lantas merasa tercemar harkat dan martabatnya, dengan perkataan lain, konon NB-nya menjadi tercemar, tercoreng-moreng.

Lagi-lagi, PP itu seperti Bupati dengan hirakis ke atas dan ke bawah dan atau PP tersebut adalah seseorang yang mempunyai jabatan dan atau yang memegang otoritas kebijakan dalam jabatannya,  dan seterusnya, ditingkat paling bawah seperti Kepala Desa.

Kita kemudian tidak pernah bertanya dan atau mengajukan pertanyaan, sejak kapan NB itu disandang? Apakah itu sejak diambil sumpah jabatannya sebagai PP? Jika itu argumentasi pokoknya, apakah jika kemudian melanggar sumpah jabatan, kebijakan-kebijakannya menjadi sektarian, atau berbagai kebijakannya menabrak konstitusi dengan segala turunan regulasinya, karena memfir’aunkan kekuasaan, sehingga menjadi sekehendaknya sendiri (karwek).

Dalam hal ini, misalnya, kebijakan strategis yang diambilnya berdampak luas merugikan (menyengsarakan) kepentingan publik (rakyat). Kebijakan politiknya adalah politik indentitas sektarian. Apakah kemudian itu masih bisa kita harus mengatakannya bahwa PP itu masih punya NB atau harus kita katakan bahwa PP itu tetap bersih, tidak tercemar, tetap terjaga? Jika seperti, di mana logika dan akal warasnya?

Bagaimana jika sesungguhnya dalam tata kelola pemerintahannya menjadi (sangat) koruptif, dan  kekoncoan (kroni-isme), atau jika kebijakan satu pintunya menjadi koruptif yang terselubung dalam lingkaran KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang bermantel dan berjubah putih, dan seterusnya, lantas masih bisakah kita katakan PP tersebut masih menyandang NB?

Jika itu kemudian masih kita dikatakan NB-nya tidak tercemar atau itu bukan sedang melakukan pencemaran atas NB dirinya sendiri, sungguh luar biasa, karena itu kita berada dalam kolam kedunguan yang akut, logika dan akal waras telah mati.

Bagiamana pula jika sebelum sumpah jabatan  sudah sedemikian buruk rekam jejaknya dan setelah menjadi PP semakin rusak pula, apakah masih bisa dikatakan tetap harus penyandang NB yang mengatasnamakan harkat dan martabat manusia?

Itu semua tidak pernah menjadi gugatan dan atau pertanyaan; apa, mengapa, bagaimana dan sebab apa NB itu runtuh. Lantas  Abu Nawas mencari akal untuk bisa mendelikan atau mempidanakannya, jika keruntuhan NB-nya dibicarakan dalam ruang publik, medsos atau orasi-orasi dalam aksi ektra parlementer-mengemukan pendapat di muka umum yang dijamin konsitusi.

Yang namanya Abu Nawas tidak kalah cerdik, tidak kalah licik, dan licin bagai belut, mengumpulkan para Dorna, Sengkuni Sengkuni dan Brutus Brutus sebagai martir untuk kepentingan PP, dan kemudian mendelikkannya; lapor melapor, mempolisikannya.

Melupakan melawan lupa, bahwa bagi seseorang, prilaku akan selalu melekat pada setiap tingkah laku; ucapan dan perbuatannya dalam kehidupannya. Bagi PP, prilaku akan selalu melekat pada saat dalam kedinasan dan di luar kedinasan dalam kehidupannya.

Prilaku akan selalu melekat pada setiap orang selama hayat masih dikandung badan. Gajah mati meninggalkan gading, dan Harimau mati meninggalkan belang. Itulah hukum adi kodrati (kausalitas) setiap kehidupan manusia. Fir’aun mati meninggalkan cerita bagi yang menuhankan kekuasaan, dan menjadi satire dan olok-olok bagi rezim penguasa yang otoritrian dan yang menistakan kedaulatan rakyatnya.

Jika kita sudah tiada (mati), tiada lagi  ada sepak terjang prilaku yang melekat pada Nama Baik; harkat dan martabat. Yang ada tinggalah cerita, apakah punya Nama Baik atau tidak; hancur lebur dan luluh lantak.

Kausalitas-Adi Kodrati.

Prilaku akan selalu melekat pada diri seseorang, sehingga apakah NB-nya akan terjaga sebagai PP yang mengemban amanat (penderitaan) rakyat atau sebaliknya, hancur, tercemar. Itu semua merupakah hukum kausalitas yang tak bisa terbantahkan atas prilaku seseorang, apalagi sebagai PP.

Menilai NB PP, haruslah berpijak dan bersandar pada value persoalan apakah  kebijakan publik yang menjadi otoritasnya buruk, sekehendaknya sendiri karena kekuasaannya, mengabaikan konbsitusi dan regulasi turunannya, dimana  eksistensinya bukan sebagai pempimpin, tetapi sebagai penguasa;  otoritarian bahkan menjadi fasis dan atau komunis, represif, anti kritik, dan selalu berkelit dengan apologi sampah, kemudian mengatakannya, bahwa itu didasarkan hanya  kebencian semata.

PP seperti itu karena memiliki otoritas dan memiliki semua peralatan negara yang bisa dipakai menjadi alat kekuasaan untuk mengamankan dan menyamankan kepentingan  kekuasaan politik dan politik kekuasaannya.

Jika ternyata rekam jejak bertolak belakang dengan sumpah jabatannya, di mana  Qur’an di taruh di atas kepala bagi yang beragama Islam, lantas akhirnya Qur’an yang disimbolkan sebagai Tuhan dalam wujud dan maujud itu hanya sekedar untuk meledek-ledek Tuhannya saja, bahkan akhirnya menjadi atheis sejati  sekalipun kita beragama dalam keberagamaannya.

Jika seperti itu adanya, lantas masihkah ada yang mengatakannya bahwa PP tersebut masih mempunyai NB?  Itu namanya  logika dan akal busuk yang membusuk dalam kepala dan kalbunya. Itu namanya kita berada dalam kolam  kedunguan yang amat sangat kronis, dan akan menjadi komorvid yang mengekal, dan itu berarti persoalan mentalitas.

Mentalitas (buruk, bobrok atau baik) seseorang  tidaklah bergantung pada apakah mereka itu miskin atau kaya, sekolah atau tidak,  Profesor Doktor atau tidak, S1,S2, S3 atau tidak. Apakah beragama atau tidak, yang sangat amat rajin ke: Mesjid, Majelis Ta’lim, Berhaji dan Umroh kali-kali setahun, Gereja, Vihara, Klenteng maupun yang animis dan yang paganis atau tidak, semua itu tidak berkorelasi, dan tidak berelasi sama sekali dengan keberadaan mentalitas bobrok atau baik seseorang.

Korelasi dan variabel yang sesungguhnya adalah bagaimana kita memahami agama dalam keberagaman. Meletakan Tuhan bukan sebagai simbol agama, melainkan sebagai wujud man maujud dalam keberagamaan, sehingga mentalitas kita menjadikan NB terjaga, terprlihara dari keberhalaan kekuasaan, dan bukan pula menjadi Penghamba Kekuasaan sebagaimana Fir’aunisme.

Penyebaran Hoax

“Penyebaran hoax adalah dimana seseorang itu tahu betul bahwa isi berita itu tidak benar, tetapi tetap disebarkan (medsos) atau melalui media lainnya yang bisa dibaca publik luas. Tetapi, jika seseorang hanya semata mengunggah berita ke medsos, ternyata berita itu hoax, tetapi dirinya tidak tahu betul bahwa itu berita hoax, maka itu, bukanlah dan atau tidak bisa dianggap dan atau dikatakannya sebagai penyebar hoax” (Suteki dalam kanal Radikal: Puan dan Tuan-Tanya Sang Profesor).

Tesis atau disertasi hoax dari Prof. Suteki itu, tentu kaitannya dan atau relevansinya dengan penyebaran hoax itu, dengan maksud dan tujuan  tertentu (negatif, tidak baik dan atau niat jahat) agar menimbulkan kemarahan sosial dan kekacauan dengan memutarbalikan fakta dan realitas emprik yang nyata.

Jika kita paham betul dengan sosiologi kekuasaan atau antropologi otoritarianisme, fasis dan komunis, bahwa hoax memang diproduksi dan disebarkan dengan maksud dan tujuan untuk kepentingan politik identitas sektarianisme; kekuasaan politik dan politik kekuasaan.

Bagi para Penghamba Kekuasaan, berita hoax adalah untuk memancing reaksi pro dan kontra, sehingga reaksi itu bisa diolah menjadi komoditas politik untuk kepentingan politik identitas sektariannya. Begitu juga sebaliknya, bagi yang berada di luar sumbu kekuasaan adalah untuk mengail di air keruh sosial politik, manakala hukum, kebenaran dan keadilan telah menjadi komoditas industri, atau hukum sudah dijadikan alat bagi penguasa, dan hukum telah dijadikan indutri dalam mekanisme pasar.

WhatsApp dan Medos

Kita memulai dengan mengajukan pertanyaan, apakah WhatsApp (WA group) merupakan medsos (media sosial) dan atau bisa didefinisikan ke dalam medsos?

Jika kita mengacu pada Wikipedia bahasa Indoneia, Medsos adalah platform digital yang memfasilitasi penggunanya untuk saling berkomunikasi atau membagikan konten berupa tulisan, foto, video, dan merupakan platform digital yang menyediakan fasilitas untuk melakukan aktivitas sosial bagi setiap penggunanya.

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) online, Medsos adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.

WA dan atau WA group bukanlah bagian dari apa yang dikatakannya sebagai medsos. Argumentasi konkretnya adalah bahwa WA dan atau WA group tidak bisa diakses publik, dan penggunanya terbatas.

WA group, penggunanya adalah yang ada dalam grup itu sendiri. Orang lain di luar grup, tidak bisa mengaksesnya, terkecuali harus via antara, yaitu dari orang yang berada di dalam group itu sendiri kemudian dishare ke orang lain atau kepihak lain dengan maksud dan tujuan tertentu.

Berbeda dengan FB (Face Book), Instagram, Twitter dan Blog, dimana publik bisa mengakses sebagai penggunanya secara terbuka dan tak terbatas.

Para Guru Besar dan para praktisi hukum yang masih mempunyai logika dan akal waras, berkali-kali menegaskan dan menstabilo, bahwa konten dalam WA dan atau WA group tidak bisa dikategorikan dan dimaknai sebagai medsos sebagai dasar untuk bisa mendelikkan pidana terhadap seseorang atas pencemaran NB dan penyebaran berita hoax.

Hal serupa itu juga berkali-kali ditegaskan praktisi hukum Hotman Paris Hutapea ketika banyaknya kasus lapor melapor-mendelikkan pidana yang bersumber dari dalam konten WA dan atau WA group, yang dipahaminya sebagai medsos.

Untuk itu, bahwa konten yang bersumber dari WA dan atau WA group tidak bisa didefinisikan ke dalam dan atau dianggap sebagai medsos sekalipun kemudian dimedsoskan.

Lapor melapor yang marak selama ini, yang sesungguhnya menunjukkan adanya kerusakan mentalitas bangsa dan negara, yang salah satunya dipicu oleh makin menggejalannya industri hukum yang tak terbantahkan lagi, atau karena sebab akibat adanya Petruk Hendak Menjadi Raja dan atau Raja adalah Sang Petruk.

Kasus MS

Pencemaran NB, sebelum RKUHP (yang membrangus demokrasi) disahkan, kedudukannya masih sebagai “delik aduan”, bukan “delik umum”. Lain ceritanya, jika RKUHP sudah disahkan, konsekuensinya menjadi “delik umum”, sekalipun begitu, tetap harus mendapat persetujuan dari yang bersangkutan. Bukan ansich sebagai delik umum, dimana orang lain bisa melaporkannya, yang menganggap dirinya sebagai representase dari PP itu sendiri.

Pelapor, rupanya tidak sabar menunggu “Pencemaran NB” sebagai delik aduan untuk menjadikannya sebagai delik umum, sehingga merasa punya legal standing untuk melaporkannya. Terlapor (bahasa KUHPnya: diduga), dikatakannya, melakukan pencemaran NB, dan menyebarkan berita hoax dan fitnah, sehingga  merusak harkat dan martabat PP.

Jika hal itu dilakukan tanpa didampingi pengacara, mungkin sebagian orang akan mengatakannya “wajar” karena untuk mengamankan posisi jabatannya dan atau kariernya sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara), di mana regulasi sekarang kedudukan Bupati sebagai Pembina ASN.

Tetapi, karena dilakukan dengan didampingi pengacara, sehingga publik yang masih punya logika dan akal waras pastilah akan megatakan: “Sungguh Keblinger” jika sebagai upaya jalan tol untuk memuluskan kariernya, karena seharusnya PP itu sendiri sebagai Pelapor jika  merasa harkat dan martabatnya dicemarkan.  Atau jika Pelapor sekedar upaya mencari muka (menjilat),  kemudian menyerahkan dirinya sebagai “martir” atau pahlawan yang harus dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Penguasa.

PP bisa menunjuk Kuasa Hukumnya untuk mewakili pelaporan tersebut. Itu menunjukkan PP tersebut adalah paham dengan delik aduan. Bukan orang lain yang melapor, apalagi disuruh melapor, seperti fakta dan realitas emprik yang dilakukan Edi Cunong (Edi Sugianto) yang menurut pengakuannya bahwa itu by order, sekedar boneka atau robot menjalankan order, dan atas dasar transaksional.

Pelapor mengenai pencemaran NB dan penyebaran berita hoax, mengatakannya  bersumber dari WA group Sedulur Dermayu (Pengakuan Pelapor yang dilansir berbagai media online dan unggahan dalam vidionya) kemudian diunggah ke medsos, sehingga menimbulkan berbagai respon spekulatif pro dan kontra  atas konten berita tersebut.

Pro dan kontra, tentunya, yang kemudian berujung MS dipolisikan dengan pasal 45 ayat 3 dan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Namun sungguh sayang, kasus tersebut hingga sekarang belum beranjak proses hukumnya. Apakah APH (Aparat Penegak Hukum)  akan menindaklanjutinya ataukah akan mempetieskannya?

Publik terus menunggu kelanjutan proses hukumnya, sehingga apakah benar apa yang disampaikan Terlapor dalam suratnya yang ditujukan ke semua pimpinan parpol, dengan tembusan suratnya ke Presiden RI, Menkopolhukam, Ketua Komisi lll DPR RI, Kepala BNN RI, Kapolri, Kapolda Jabar dan Kapolres lndramayu, yang kemudian dishare oleh Terlapor ke WA group Sedulur Dermayu atau justru sbaliknya, bahwa itu fitnah dan hoax?

 

Siapa Penyebar Hoax Sesungguhnya?

 

Untuk menjawab itu semua, proses hukum harus berjalan, harus ada tindak lanjut hingga ke meja hijau, sehingga kita bisa mengambil kesimpulan atas pembuktian de jure maupun de facto.  Yang lebih substansial adalah pembuktian akan kebenaran material, siapa penyebar hoax sesungguhnya, karena kebenaran formil acapkali menguburkan kebenaran material yang sesungguhnya di negeri ini.

 

Dari kasus tersebut, paling tidak kita akan memberikan catatan yang harus kita stabilo, yaitu,  pertma, bagaimana  jika benar apa yang disampaikan Terlapor dalam suratnya itu yang dishare ke WA group Sedulur Dermayu?

 

Tentu,  Pelapor bisa dikatakan sebagai  intelektual dader actor atas berita hoax dan penyebaran berita hoax tersebut, karena Pelapor yang menyebarkan konten tersebut ke medsos itu bersumber dari WA group Sedulur Dermayu.

 

Postulatnya sangat sederhana, yaitu Pelapor menyebarkan berita hoax, padahal apa yang disampaikan Terlapor itu adalah benar-benar nyata, fakta dan realitas yang dinyatakan atas dasar pembuktian formil dan material dalam hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

 

Kedua, bagaimana jika apa yang disampaikan Terlapor tersebut adalah tidak benar alias hoax (fitnah) dalam suratnya itu? Tentu, jika Terlapor dinyatakan bersalah dan atau tidak terbukti kebenarannya secara hukum, maka, Pelapor tetap bisa dikatakan sebagai actor dan intelektual dader dalam penyebaran hoax tersebut, karena Pelaporlah yang menyebarkan berita hoax tersebut ke medsos. Padahal, Pelapor nyata-nyata dan atau sungguh-sungguh tahu bahwa itu berita hoax, tetapi tetap disebarkannya ke medsos.

 

Ketiga, bagaimana jika kasusnya di-tong-sampah-kan? Tentu, jika itu yang terjadi, ada dua hal catatan: pertama, kasus tersebut tidak memenuhi unsur sebagai  delik aduan maupun delik umum, dan yang kedua, tidak memenuhi unsur, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 45 ayat (3) dan pasal 27 ayat (3) UU ITE.

 

Pelapor tidak bisa membuktikan bahwa apa yang dikatakan Terlapor itu adalah  fitnah atau berita hoax yang ditulis Terlapor, karena memang yang menyebarkan adalah Pelapor itu sendiri. Pelapor tidak memiliki alat bukti permulaan (yang cukup) dan bukti petunjuk untuk mengatakan bahwa itu fitnah dan atau berita hoax untuk mematahkan konten surat yang ditulis Terlapor.

 

Dalam dua konteks tersebut, maka, jika seperti itu, yang sesungguhnya penyebar berita hoax adalah Pelapor sendiri, karena memedsoskannya, berupaya untuk memviralkannya, sehingga mengakibatkan adanya pro dan kontra atas berita tersebut.

 

Keempat, bagaimana jika pendekatannya  dari sudut motif atas kasus tersebut? Tentu, kita akan bisa melakukan pembacaan yang kasat mata, yaitu, untuk mencapai maksud dan tujuan yang hendak dicapai Pelapor, caranya dengan menggunakan delik tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 45 ayat (3) dan pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pelapor harus menempuh terlebih dahulu jalan dengan memedsoskannya.

 

Dengan jalan tersebut sebagai upaya  untuk memancing reaksi pro dan kontra untuk mencapai maksud dan tujuannya dalam memaknai berita hoax yang menimbulkan atau mengakibatkan kegaduhan sosial sebagai apologinya. Padahal, Pelapor dengan nyata-nyata tahu betul bahwa yang dimedsoskan itu adalah hoax dan atau jika itu benar adanya, tetapi harus dinarasikan pelapor sebagai berita hoax.

 

Argumentasi konkretnya dengan logika dan akal waras adalah bahwa konten surat itu adalah benar-benar itu bohong, tidak nyata, tidak benar atas fakta dengan pembuktian di meja hijau yang mempunyai kekuatan hukum tetap, ternyata tetap disebarkan ke medsos oleh Pelapot. Padahal, tahu betul dan atau benar-benar sesungguhnya tahu bahwa berita (Narkoba di Pendopo) itu adalah berita hoax. Namun, tetap disebarkan ke medsos, sehingga harus kita katakan bahwa penyebar hoax sesungguhnya adalah Pelapor. Begitu juga sebaliknya, jika itu benar adanya.

 

Dari kedua presmis tersebut, kita tentu bisa mengambil kesimpulan, bahwa jika Terlapor itu terbukti secara hukum maupun tidak terbukti, maka Pelapor tetaplah harus kita katakan sebagai penyebar hoax yang sesungguhnya,  jika kita merujuk pada argumentasi pokok Puan dan Tuan: Tanya Sang Profesor (Suteki), Hotman Paris Hutapea, dan yang lainnya. dan tentu atas definisi  medsos itu sendiri.

 

Akan tetapi, bagaimana jika kemudian aparatus negara yang posisinya sebagai alat negara lantas menjadi alat kekuasaan (rezim penguasa)? Tentu, akan berkesimpulan bahwa NB (harkat dan martabat) PP tidak bisa diruntuhkan oleh kebusukan, kebobrokan prilakunya itu sendiri. Kendatipun, NB selalu berjalan seiring dan seirama, melekat pada prilaku seseorang (PP) itu sendiri, karena hukum kausalitas (adi kodrati) itu akan menjadi keniscayaan, dan keniscayaan itu adalah niscaya yang  tidak akan terbantahkan.

 

Sekali lagi, prilaku akan selalu melekat pada setiap tingkah laku; ucapan dan perbuatannya dalam kehidupannya. Bagi PP, prilaku akan selalu melekat pada saat dalam kedinasannya dan di luar kedinasannya dalam kehidupannya.

Untuk itu, prilaku akan selalu melekat selama hayat masih dikandung badan. Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Fir’aun mati meninggalkan cerita bagi yang menuhankan kekuasaan, dan menjadi satire dan olok-olok bagi rezim penguasa yang otoritrian dan yang menistakan kedaulatan rakyatnya.

Itulah hukum adi kodrati (kausalitas) setiap kehidupan manusia.  Jika kita telah tiada (mati), tiada lagi   sepak terjang prilaku yang melekat pada Nama Baik; harkat dan martabat. Yang ada tinggalah cerita, apakah kita masih punya Nama Baik atau hancur lebur dan luluh lantak? ***

(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus  Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles