Lebak, Demokratis
Tak semua orang bersorak-sorai menyambut kembalinya wisatawan setelah PSBB dilonggarkan. Sejumlah pemangku adat Baduy mengutarakan permintaan mengejutkan: mereka ingin kawasan Baduy dihapus dari daftar destinasi wisata. Mereka terganggu dengan hilir mudik wisatawan yang kerap membuang sampah sembarangan dan tak menghormati adat setempat.
Keputusan ini disepakati usai pertemuan di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Tiga orang pemangku adat dari Lembaga Adat Baduy, Jaro Saidi, Jaro Aja, dan Jaro Madali, membubuhkan cap jempol kepada surat permohonan yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Gubernur Banten, Bupati Lebak, dan sejumlah Kementerian terkait.
“Ini terjadi karena terlalu banyaknya wisatawan yang datang, ditambah banyak dari mereka yang tidak mengindahkan dan menjaga kelestarian alam, sehingga banyak tatanan dan tuntunan adat yang mulai terkikis dan tergerus oleh persinggungan tersebut,” ujar Jaro Saidi.
Pernyataan tersebut diamini oleh Heru Nugroho, salah satu dari empat utusan yang diberi tugas menjadi penyambung lidah masyarakat adat Baduy dengan pemerintah. “Membanjirnya wisatawan yang tujuannya enggak jelas dan cuma nontonin orang Baduy sebenarnya membuat mereka risih,” tutur Heru.
Ia menegaskan bahwa pada prinsipnya suku Baduy masih terbuka kepada pengunjung. Namun, pendatang haruslah mampir dengan prinsip silaturahmi dan menghormati adat lokal. “Bukan cuma untuk nonton orang Baduy dan tatanan adat yang ada di sana,” kata Heru. “Istilah mereka begini: tatanan adat kami itu adalah tuntunan, bukan tontonan.”
Pernyataan ini sontak bikin kaget pihak pemerintah setempat. Jari Saija, Kepala Desa Kanekes, mengatakan bahwa ia baru tahu soal keberadaan surat permohonan tersebut ketika ramai diperbincangkan media pada Senin (6/7) lalu.
Ia mengaku tak diberitahu soal pertemuan tersebut, dan berjanji pihaknya tengah “mencari tahu siapa yang kirim surat tersebut.” Saija juga menyayangkan mengapa keputusan sepenting itu diambil “tanpa musyawarah” terlebih dahulu. Setali tiga uang, Dinas Pariwisata setempat pun mengaku “tidak tahu” soal permintaan tersebut, dan akan segera meminta penjelasan kepada Kepala Desa Baduy.
“Membanjirnya wisatawan yang tujuannya enggak jelas dan cuma nontonin orang Baduy sebenarnya membuat mereka risih”
Sebenarnya, pemerintah setempat punya rencana ambisius untuk menyulap kawasan adat Baduy menjadi tujuan wisata tersohor. Pada 2019, misalnya, pemerintah Kabupaten Lebak menetapkan festival Seba Baduy sebagai produk destinasi unggulan pariwisata dari daerahnya. Mereka pun mengusulkan agar kawasan wisata Masyarakat Adat Baduy di Kecamatan Ciboleger, Kabupaten Lebak dikembangkan lebih jauh.
Rencana ini agak tertunda setelah PSBB diterapkan di Banten pada bulan April lalu. Kawasan Baduy, seperti tujuan wisata lainnya, ditutup untuk sementara waktu. Namun, menurut pengakuan para tetua adat Baduy yang meminta wilayahnya berhenti disatroni turis, justru pada saat inilah mereka mulai menggodok gagasan menggembok kawasan Baduy.
“Pada tanggal 16 April, Jaro Alim memberi amanah ke saya, barangkali bisa membantu mencarikan solusi terhadap persoalan-persoalan yang ada,” kata Heru Nugroho, perwakilan Lembaga Adat Baduy.
Saat itu, berbagai keluhan lawas masyarakat Baduy tentang kedatangan turis telah memuncak. Kawasan Baduy Dalam merupakan wilayah yang sakral, tapi banyak foto wilayah tersebut tersebar di dunia maya. Banyak pedagang asing dari luar wilayah Baduy pun berdatangan ke sana, menimbulkan timbunan sampah plastik yang merusak keasrian lingkungan tersebut.
Menanggapi keresahan ini, Kadispar Lebak Imam Rismahayadin sempat menawarkan agar pihaknya bekerjasama dengan masyarakat Baduy untuk mendidik wisatawan, serta menghentikan pemandu wisata yang datang dari jalur tak resmi. “Kita bina potensi lokal, misalnya gelas pakai bambu,” katanya.
Namun, wajar saja bila para tetua adat Baduy tetap emoh melayani permintaan Kadispar. Sebab dalam suasana pandemi sekalipun, kedatangan turis yang mengganggu tak berhenti. Secara resmi, wilayah Baduy masih tertutup untuk wisatawan. Namun, penelusuran dari berbagai media menunjukkan bahwa banyak wisatawan tak mengacuhkan larangan bepergian dan sudah berbondong-bondong mengunjungi wilayah Baduy.
Peristiwa ini turut bikin Kadispar Rismahayadin garuk-garuk kepala. “Sampai sekarang masih tutup,” katanya. “Mereka datang, padahal destinasi masih ditutup.”
Akhirnya, Kementerian Pariwisata angkat bicara mengenai permintaan tetua adat Baduy. Kepala Biro Komunikasi (Kabirkom) Sekretariat Kemenparekraf Agustini Rahayu mengakui bahwa kawasan adat memang tak bisa serta merta disulap jadi kawasan wisata. Mau tidak mau, ketahanan budaya masyarakat adat mesti dipastikan terlebih dahulu.
“Penghormatan terhadap nilai lokal dan kearifan masyarakat merupakan ekspresi pelestarian dan konservasi terhadap warisan dan budaya bangsa,” katanya. Ia pun berjanji bahwa aspirasi para tetua Baduy akan didengarkan. Namun, pihaknya mesti menanti arahan dari Presiden sembari tetap menjalin komunikasi dengan Lembaga Adat Baduy. (Red/Dem)