Pekalongan, Demokratis
Rencana pembangunan kembali dan relokasi pedagang Pasar Wiradesa di Kabupaten Pekalongan dikeluhkan para pedagang karena diduga sarat dengan masalah dan kejanggalan, bahkan dugaan korupsi.
Ariyanto warga sekitar Pasar Wiradesa kepada Demokratis mengatakan, para pedagang yang direlokasi ke tempat penampungan sementera dianggap tidak layak dijadikan sebagai tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi.
“Coba lihat ke lapangan luas kios sangat tidak layak karena terlalu kecil dengan ukuran lebar antara 1 sampai 2 meter dan panjang antara 1,5 meter sampai 2 meter. Selain itu, jalan juga hanya berukuran antara 1 meter sampai 1,5 meter dan juga tidak ada saluran pembuangan air,” ungkapnya, baru-baru ini.
Pendataan para pedagang yang direlokasi di tempat penampungan sementara juga dianggap tidak adil dan transparan. Ditambah lagi, pembangunan dan penempatan sementara para pedagang Pasar Wiradesa menggunakan anggaran senilai Rp 4 miliar diduga dikorupsi.
“Dana pembangunannya terpakai sekitar Rp 2 miliar. Apa itu bukan dugaan korupsi dana pembangunan tempat berdagang sementara pedagang Pasar Wiradesa sekitar Rp 2 miliar,” tambahnya.
Kursidi salah seorang pedagang sate yang sudah lama berdagang di Pasar Wiradesa malah mengaku tidak mendapatkan tempat berdagang di lokasi penempatan sementara. “Ukuran kios atau tempat berdagang sangat kecil tidak bisa buat saya berdagang,” keluhnya.
Selain itu, lokasi berdagang tidak tertata dengan rapi dan penempatan pedagang juga tidak terkoordinasi secara khusus. Sehingga pedagang sayur, buah, pakaian dan sepatu, ikan serta daging campur aduk sehingga pengunjung bingung mencari pedagang dan barang yang hendak dibeli.
“Coba lihat langsung lokasi penampungan sementara kelihatan kumuh dan pedagang dicampur aduk. Jalan di dalam lokasi sempit hanya 1 meter juga kios pedagang sempit dengan ukurannya sekitar 1,5 dikali 2 meter. Jadi sangat tidak layak. Pelanggan enggan mancari pedagang maka omzet penjualan turun drastis sekitar 59 persen sebelum pembongkaran kios,” tambahnya.
Sementara itu, Hariyanto salah seorang pegawai yang berkantor tidak jauh dari Pasar Wiradesa menduga pembangunan pasar tersebut sarat dengan masalah karena penyusunan analisis dampak lingkungan (Amdal) pembangunan tidak melibatkan warga sekitar pasar dan pedagang. “Diduga pembongkaran dan pembangunan Pasar Wiradesa tidak memiliki study Amdal,” kata Hariyanto.
Hariyanto juga mempertanyakan pihak terkait yang merelokasi pedagang di tempat penampungan yang tidak layak huni baik dari segi kesehatan maupun kemanan. “Sarana prasarana pasar rawan kebakaran karena kiosnya sangat rapat. Jalannya kecil untuk jalan berpapasan saja salah satu orang yang lewat harus mengalah tidak bisa berjalan atau lewat pada waktu bersamaan,” ungkapnya.
Ia juga melihat dari awal pembongkaran kios dan los Pasar Wiradesa sangat tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja atau K3 yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai SOP dari Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian PUPR.
“Maka saya meminta agar Pemerintah Pusat dari Kementerian PUPR, Kementerian Perdagangan juga Kementerian Lingkungan Hidup menelusuri kebenaran dugaan pelanggaran lingkungan dan dugaan korupsi sejak penempatan sementara pedagang sampai pembangunan kembali Pasar Wiradesa,” tambahnya.
Selain itu, tambahnya, juga dugaan praktek jual-beli tempat penerimaan dan penempatan kembali pedagang lama Pasar Wiradesa seperti yang terjadi di Pasar Kedungwuni.
“Menurut penjelasan Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM Kabupaten Pekalongan Hurip Budi Riyantini ada jual-beli tempat berdagang di Pasar Kedungwuni serta banyak dugaan pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan aparat pemerintah dan swasta serta para pedagang demi kepentingan diri sendiri dan kelompok,” pungkasnya. (RGS)