Subang, Demokratis
Sebagaimana diberitakan di media massa, praktik-praktik mafia tanah telah meluas dan merajalela di mana-mana, bahkan sudah mencapai fenomena masif. Kementrian ATR/BTN menyebutnya sebagai kejahatan yang bersifat extra ordinary yang dalam penanganannya diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak terkait.
Tak kurang Ketua DPR RI Puan Maharani ikut menyoroti maraknya kasus mafia tanah yang sangat merugikan masyarakat belakangan ini. Dia meminta pemerintah bersama jajaran penegak hukum meberantas aksi-aksi mafia tanah.
“Tanah adalah sumber penghidupan. Mereka yang merampas tanah adalah merampas penghidupan orang. Harus diberantas,” ujar Puan di Jakarta (demokratis.co.id, 20/11/2021).
Sebagai respon Statemen Ketua DPR RI, Presiden RI Joko Widodo memberikan perhatian khusus terhadap fenomena mafia tanah dan meminta Polri untuk mengambil peran dalam membela hak para korban mafia tanah tersebut. Presiden mengingatkan aparat kepolisian untuk tidak membekingi kejahatan mafia tanah tersebut.
Terkait hal itu Kapolri Listyo Sigit Prabowo langsung meminta jajarannya agar tidak ragu mengusut tuntas parktik mafia tanah yang fenomenal itu.
Sementara menurut Menko Polkam, Mahfud MD, mafia tanah sebagai kolaborasi antara oknum pejabat yang memiliki kewenangan dengan pihak lain yang memiliki itikad jahat, seperti ingin memiliki atau menguasai tanah secara tidak sah, sehingga dapat merugikan negara dan masyarakat. Masih kata beliau, mafia tanah umumnya dilakukan dengan cara-cara yang koruptif.
Lebih humanisnya lagi kata Pakar Hukum dan Notaris Dr. Titin Surtini, SH., MH., M.KN menyampaikan bahwa problematika mafia tanah di Indonesia berpotensi melanggar hak asasi dan sangat mengancam rasa keadilan terhadap masyarakat bahkan ke semua kalangan yang menjadi korban mafia tanah ini.
“Perlu upaya extra ordinary secara komprehensif dari berbagai lembaga terkait untuk memberantas mafia tanah. Jangan sampai muncul stigma dari masyarakat bahwa penegak hukum lemah terhadap gurita mafia tanah ini,” ujar Titin Suhartini di Jakarta (demokratis.co.id, 9/12/2021).
Fenomena praktik-praktik kotor mafia tanah itu, kini melanda di pusaran pembebasan tanah/lahan proyek nasional Bendungan Sadawarna, terletak di Desa Sadawarna, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang, Jawa Barat, membuat sejumlah warga terdampak yang tidak mendapat ganti rugi dan merasa dirampas haknya serta merasa didzolimi oleh oknum mafia tanah yang harus dipertanggung jawabkan Panitia Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) Kabupaten Subang.
Indikasi adanya permainan kotor mafia tanah pembebasan lahan/tanah, kedapatan sejumlah warga masyarakat terdampak yang mengeluh dan mengadukan permasalahan ganti rugi tanah ke Tim Advokasi Warga terdampak proyek Bendungan Sadawarna. Sehingga berpotensi merugikan keuangan negara di bagian hulunya akibat sengkarut tata kelola administrasi dan keuangan secara faktual, sementara di bagian hilirnya merugikan sekolompok masyarakat serta melukai rasa keadilan warga terdampak.
Hal itu mengemuka saat berlangsung diskusi yang digelar Tim Advokasi Warga Terdampak Proyek Bendungan Sadawarna di Kedai Kopi OZZON Subang, belum lama ini.
Diskusi itu dihadiri anggota Tim Advokasi berasal dari unsur praktisi hukum, pegiat anti korupsi, perwakilan aparat Pemdes dan anggota BPD Sadawarna, kalangan media cetak dan online. Acara diskusi berjalan lancar, tertib dan cukup kritis.
Nara sumber yang juga Ketua Tim Advokasi dan praktisi hukum Irwan Yustiarta, SH memaparkan tujuan diskusi ini digelar sebagai bentuk edukasi hukum dan sebagai implementasi keterbukaan informasi publik dan dalam rangka menjalankan peran serta masyarakat untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pemeberantasan mafia tanah dalam penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara tanah dan ruang. Juga dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi.
“Kita patut bersyukur, bahwa Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti Bendung Sadawarna untuk menopang ketahanan pangan yang dibangun di Kabupaten Subang oleh Pemerintah Pusat dengan Nawa Citanya Presiden RI Joko Widodo, sebelumnya pembanguanan Pelabuhan Patimban yang sudah mulai beroperasi. Ini tentu untuk kesejahteraan warga masyarakat Subang khususnya yang harus kita dukung,” ujarnya.
Menurut Irwan dari hasil investigasi dan sejumlah keterangan sumber yang berhasil dihimpun tim menyebut, dalam perjalanannya proses pembebasan lahan/tanah itu diduga penuh diwarnai permainan kotor mafia tanah dan sarat KKN.
Mafia tanah ini, lanjut Irwan, kolabirasi antara oknum warga pengklaim obyek tanah dengan Satgas P2T dan oknum tertentu yang memiliki otoritas pembebasan lahan, bekerja dengan cara merekayasa dan manipulasi data, sehingga muncul sejumlah nama dan obyek lahan/tanah yang tidak semestinya atau tidak sesuai kenyataan di lapangan.
Modus operandinya, tambah Irwan, mulai dari merekayasa bukti penguasaan kepemilikan tanah, bangunan, tanaman dan benda lainnya berkaitan dengan tanah, luas tanah, status dan dokumen dsb, di antaranya pembuatan SPPT ganda, pengajuan ganti rugi tanah Negara (TN) bebas, tanah garis sempadan.
“Seperti diketahui SPPT itu bukan kepemilikan tanah melainkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, apabila ada kekeliruan bisa dibatalkan oleh Bapenda Subang. Sementara kepemilikan Hak Tanah adalah domain pihak ATR/BPN yang mestinya dijadikan rujukan mengacu UUPA No. 5 Tahun 1960 dan PP No. 24 tahun 1997. Lalu pertanyaannya apakah kondisi ini ansich kekeliruan verifikasi administrasi atau ada faktor kesengajaan (baca: pembiaran),” ujar Irwan penuh tanya.
Selain itu memasukan/pengajuan data tanah ke Lembaga Managemen Aset Negara (LMAN) yang diduga berstatus Tanah Negara (TN) bebas yang dikuasai/dimiliki pemerintah, seperti tanah oro-oro, di sekitar tanah Perhutani, garis sempadan dan tanah timbul. Semestinya tanah semacam ini tidak mendapat ganti rugi (PP Nomor 19/2021, Jo Pasal 84, ayat (1). Kecuali : (a) Obyek pengadaan tanah yang dipergunakan sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintahan ;(b). Obyek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)/Badan Usaha Milik Desa (BUMDes); (c). Obyek pengadaan tanah kas desa; (d).Obyek pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Badan Usaha.
Intinya, kata Irwan, sengkarut pembebasan lahan/tanah proyek Bendungan Sadawarna kendati diduga dilakukan oknum Satgas A dan B Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) tetap ending-nya harus dipertanggung jawabkan oleh leading sector dalam hal ini Kepala Kantor ATR/BPN Subang selaku Ketua P2T dan ujungnya Sekda Subang selaku penanggungjawab P2T.
Di bagian ahir pembicaraannya, atas kasus itu pihaknya mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) segera turun tangan untuk menyelidiki terendusnya dugaan pelanggaran hokum di seputar fenomena pembebasan lahan/tanah pembangunan proyek Bendungan Sadawarna.
“Pihak APH janganlah bermain-main di wilayah pelaporan di pusaran sengkarut pembebasan lahan/tanah proyek Bendungan Sadawarna, yang telah dilaporkan LSM GERAK. Dudukan persoalan ini setara di mata hukum, equality before the law sehingga warga yang mencari keadilan merasa puas dalam layanan hukum,” ujarnya.
Selain itu, ia meminta kepada Bupati Subang H Ruhimat dan Wakil Bupati Subang Agus Masykur Rosyadi dan pihak-pihak terkait dalam menata/merelokasi warga masyarakat yang terdampak ditempatkan di lahan HGU PTPN VIII/Perhutani yang habis masa ijinnya dan tentunya harus diusulkan kepada pemerintah pusat. Sementara pengadaan material bangunan dan kelengkapan hunian lainnya akan ditanggung sendiri oleh warga terdampak. Selanjutnya kepastian relokasi ini segera dieksekusi guna mencegah terjadinya urbanisasi.
Nara sumber lainnya Ketua LSM Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Gerak) Amat Suhenda, S.Pd mengaku, untuk mensikapi sengkarut mafia tanah di pusaran Bendungan Sadawarna sudah melayangkan laporan ke Kejari Subang, tembusannya disampaikan ke Presiden RI, Kejagung RI, Kepala BPN Pusat, Kejati Bandung dan Bupati Subang.
Laporannya sendiri, kata Amat, selain dilengkapi identitas warga selaku pelapor, juga dirinya melampirkan identitas lengkap. Hal ini dimaksudkan agar tidak dianggap laporan palsu (hoaks), karena diakuinya data dan faktanya benar-benar valid sesuai kenyataan lapangan. Pihaknya dalam melakukan investigasi menggunakan jargon ‘Mengungkap Untuk Membasmi’ segala bentuk tindakan persekongkolan jahat, yang dampaknya menimbulkan penderitaan rakyat kecil yang tidak berdaya.
Ulah oknum mafia tanah ini menurutnya bisa dianggap sebagai menggagalkan proyek yang bersifat strategis itu, lantaran proyek ini lebih bersifat untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak. “Oleh karenanya kami minta pihak aparat penegak hukum tangani kasus ini dengan seadil-adilnya. Karena kemana lagi masyarakat mencari keadilan yang berketuhanan selain ke meja pengadilan,” pungkasnya.
Pembicara lainnya di kesempatan diskusi itu dari unsur Pemerintahan Desa Sadawarna Samsuri Suganda menyampaikan, untuk meberantas dan memutus mata rantai fenomena mafia tanah ini Negara (baca: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) harus bisa hadir. Terutama jajaran penegak hukum agar bisa mengambil peran dalam membela hak para korban mafia tanah terdampak Bendungan Sadawarna.
“Sekali lagi kami minta aparat penegak hukum benar-benar bertindak tegas dalam menegakkan supremasi hukum demi membela kepentingan umum,” tandasnya.
Lebih jauh dikatakannya bahwa mafia tanah sudah merusak tatanan hukum. Dampaknya sekelompok warga terkena dampak Bendungan Sadawarna di desanya merasa diperlakukan tidak adil dan kehilangan hak-haknya.
|Padahal konstitusi kita telah mengatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman, dan perlindungan,” pungkasnya. (Abh)