Subang, Demokratis
Pengadaan lahan/tanah pembangunan proyek nasional Bendungan Sadawarna di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat setidaknya kini pembebasan lahannya sudah sampai termin keempat yang berlangsung pada Minggu, 25 April 2021.
Pada termin keempat itu ada sedikitnya 174 warga yang memiliki 227 bidang terdampak pembangunan Bendungan Sadawarna yang telah dibebaskan lahannya, bangunan, tanaman dan lahan dan/atau benda lainnya yang berkaitan dengan tanah terdampak bendungan seluas 370,111 hektar senilai Rp 46.757.948.507.
Namun di balik berlangsungnya proses ganti rugi pembebasan pengadaan lahan/tanah itu banyak kejanggalan, sehingga menuai polemik yang berkepanjangan.
Betapa tidak konon sebelumnya menurut keterangan dari berbagai sumber, bila sejumlah warga pemilik/penggarap lahan oleh Satgas dimintai photo copy KTP, KK dsb guna kelengkapan persyaratan administrasi pembebasan lahan/tanah terpaksa harus gigit jari, lantaran namanya tidak muncul dalam daftar nominatif, namun ironisnya yang terdaftar malah nama-nama lain yang diduga diklaim oknum Satgas di antaranya Nama Tata Ruhanta tiga nama, masing-masing nomor urut 184, NIS 52, luas 98 m, UGR Rp 13.546.300; nomor urut 185, NIS 528, luas 13.390 m2, UGR Rp 1.071.157.255; nomor urut 186, NIS 423, luas 1.169, UGR Rp 88.456080. Kemudian nama Endag ST sedikitnya ada lima nama yaitu nomor urut 63, NIS 503, luas 2.059 m2, UGR Rp 151.836.800; nomor urut 64, NIS 510, luas 8.279 m2, UGR Rp 623.007.800; nomor urut 65, NIS 527, luas 2.244 m2, UGR Rp 172.639.080; nomor urut 66, NIS 24, luas 91 m2, UGR Rp 136.888.454; nomor urut 67, NIS 31, luas 191 m2, UGR Rp 27.733.095; nama Tarsono nomor urut 180, NIS 383, luas 2.767 m2, UGR Rp 205.053.400.
Seperti dilansir di media ini edisi lalu, pernyataan Sekdes Sadawarna Samsuri Suganda menyebut bila proses pembebasan lahan/tanah proyek Bendung Sadawarna itu diwarnai permainan kotor mafia tanah dan sarat kongkalikong antara oknum Satgas diduga berkolusi dengan oknum tertentu yang memiliki otoritas pembebasan lahan, dengan cara merekayasa dan memanipulasi data sehingga muncul sejumlah nama dan obyek tanah/lahan yang tidak semestinya atau tidak sesuai kenyataan di lapangan.
Modus operandinya, lanjut Samsuri, mulai dari merekayasa bukti kepemilikan tanah, bangunan, tanaman dan benda lainnya berkaitan dengan tanah, luas tanah, status dan dokumennya dsb.
Diduga rekayasa dan manipulasi data itu sebagai siasat untuk mengais keuntungan baik secara pribadi maupun kelompok, ketika kelak dilakukan pembayaran ganti rugi, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara.
Disebut-sebut rekayasa dan manipulasi data itu melibatkan mantan kepala desa Sadawarna Sam sebagai turut mendalangi.
Kepala Desa Suriamedal, Kecamatan Surian, Narta, saat dihubungi di kantornya (3/6/2021) menerangkan areal tanah/lahan bekas sodetan/totosan kali Cipunagara di Blok Bolang sebagaian masuk wilayah teritorial Desa Suriamedal, Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang.
Sementara warganya yang terdampak bendung Sadawarna sedikitnya 40 orang seperti Karti, Suhir, Wahyudi, Tarman Warnati dkk telah dimintai data oleh Satgas Subang berupa photo copy KTP, KK dsb guna keperluan administrasi pembabasan tanah/lahan.
Namun mereka, lanjut Narta, hanya mendapat ganti rugi sebesar Rp 40 juta atau masing-masing hanya memperoleh Rp 1 jutaan.
Bahkan Warnati warga yang tanah/lahannya terdampak sebelumnya dijanjikan oleh Satgas Subang akan mendapat bagian secara fifty-fifty (belah semangka-Sunda) dari nilai seluruhnya. Tapi nyatanya hingga kini janji itu hanya isapan jempol belaka.
Mereka berharap lahan/tanah garapannya yang terkena dampak bendungan mendapat ganti rugi sesuai haknya masing-masing. Bahkan kedapatan warga yang bangunannya tergusur, jika hanya mendapat bagian Rp 1 juta masih rugi karena itung-itungannya ketika membangun menghabiskan kisaran Rp 5 jutaan.
Atas fenomena ini aktivis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi-RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang Udin Samsudin SSos saat dimintai komentarnya (3/6/2021) di kediamanya, menyesalkan bila memang proses pembebasan lahan/tanah itu kedapatan manipulasi dan rekayasa data. Karena dampaknya akan ada pihak-pihak yang dirugikan dan tentunya berpotensi merugikan keuangan negara.
Menyoroti pengklaiman tanah/lahan yang diduga dikuasai oleh oknum anggota Satgas Tata Ruhanta dan telah mendapat ganti rugi yang berasal dari sodetan/totosan kali Cipunagara di Blok Bolang dari sebagian yang seluas 13.390 m2, menurut pihaknya itu bisa disebut tanah negara tidak bebas (dikuasai oleh BUMN/BBWS).
Artinya jika itu sahih status tanahnya demikian (tanah negara tidak bebas/BUMN) yang mendapat ganti rugi BUMN bukan tata ruhanta (perorangan), hal itu seperti merujuk PP Nomor 19 Tahun 2021 Jo Pasal 84 ayat (1) poin b, selengkapnya berbunyi Obyek pengadaan tanah diperuntukan Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti pembangunan Bendung Sadawarna ini yang berasal dari tanah yang dimiliki/dikuasai Pemerintah Pusat (tanah negara-Red) tidak diberikan ganti rugi, kecuali poin (b) Obyek pengadaan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)/Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Lebih jauh Udin yang akrab disapa Item memaparkan, memang pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik juga berhak mendapat ganti rugi baik secara perorangan, badan hukum, badan sosial, badan keagamaan, atau instansi pemerintah, dengan catatan bisa membuktikan alat bukti, berupa ; (a) Sertifikat hak atas tanah yang telah berakhir jangka waktu haknya sepanjang masih dipergunakan dan dimanfaatkan oleh bekas pemegang haknya; (b) Surat ijin garapan/membuka tanah; (c) Surat penunjukan/pembelian kavling tanah pengganti. (d) bukti lain yang dipersamakan dengan bukti penguasaan tanah (Pasal 24, ayat (1) dan (2)).
Kemudian jika hal di atas tidak bisa dibuktikan, bisa dengan membuat pernyataan penguasaan tanah yang dikatahui dua orang saksi yang tidak ada hubungan keluarga hingga derajat kedua yang isinya (1) Yang bersangkutan benar sebagai pemilik atau menguasai bidang tanah tersebut. (2) Bidang tanah tersebut benar-benar dikuasai secara terus menerus/tanpa terputus disertai riwayat perolehan, penguasaan tanah dan batas-batas yang jelas.
Selain itu adanya surat keterangan dari kepala desa/lurah yang menerangkan atas tanah tersebut tidak sedang bersengketa dan tidak menjadi jaminan hutang piutang (Pasal 24 ayat 3).
“Apakah mereka (warga penerima ganti rugi) yang terdampak ketika dilakukan pendataan memenuhi syarat-sarat dimaksud, terkhusus Tata Ruhanta Cs yang juga anggota Satgas memenuhi persyaratan itu?” tandas Udin penuh tanya.
Udin melanjutkan, jika benar adanya tudingan pemalsuan dan manipulasi data terkait dengan pembebasan lahan/tanah yang dilakukan oknum Satgas dan pihak-pihak yang terlibat, mereka terancam dipidana penjara paling lama enam tahun (KUHP Pasal 263, ayat (1)).
Atas kasus ini, pihaknya mendesak aparat penegak hukum (APH) segera turun tangan untuk menyelidiki terendusnya dugaan pelanggaran hukum di seputar fenomena pembebasan lahan/tanah pembangunan Bendungan Sadawarna.
APH harus segara bergerak melakukan penyelidikan, tanpa harus menunggu laporan, karena ini kasusnya bukan delik aduan melainkan peristiwa pidana.
Dirinya berjanji akan menelusuri ke lapangan guna menghimpun data dan fakta yuridis, apabila sudah diperoleh data yang valid akan membawanya ke ranah hukum. “Kami juga meminta kepada APH apabila di kemudian hari kedapatan oknum-oknum yang terlibat terbukti, beri hukuman yang setimpal agar ada efek jera,” pungkasnya. (Abh)