Jumat, September 20, 2024

Pembuatan Sertifikat Massal di Desa Sidajaya Diduga Dijadikan Ajang Pungli

Subang, Demokratis

Di tengah sulitnya perekonomian yang menerpa warga Desa Sidajaya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, peserta program pembuatan sertifikat massal, program redistribusi tanah, akibat dampak pasca musibah penyakit yang disebabkan Covid-19, sehingga keseharian hidupnnya kini masih kesusahan.

Namun konidisi itu tak menjadi penghalang bagi Kades Sidajaya NH, malah warganya dibebani  biaya hingga ratusan ribu rupiah/bidangnya.

Praktek culas Kades Sidajaya NH itu dituding warga sebagai pencuri, lantaran diduga melakukan pungutan liar (pungli) biaya pembuatan sertifikat massal, sementara pungli sendiri merupakan bagian tindak pidana korupsi.

Berdasar hasil investigasi lapangan dan keterangan berbagai sumber menyebutkan, dugaan pungli  pembuatan sertifikat massal di Desa Sidajaya setiap pemohon/warga dipungut Rp300 ribu hingga 500 ribu/bidang.

Bila saja Pemdes Sidajaya mendapat quota sedikitnya 350 bidang, maka saku baju dan celana dinas yang biasa dipakai Kades Sidajaya NH tidak akan mampu menampung fulus haram itu.

Sejumlah warga yang berhasil ditemui awak media, Euis (nama samaran) warga Dusun Jambu mengaku dibebani Rp500 ribu/bidang, Euis mengaku mendaftarkan 1 bidang tanah. Begitu juga Dadang (nama samaran) warga Dusun Sumurjaya mendaftarkan sebidang tanah dan mengaku dibebani dengan nominal sama.

Menurut mereka, biaya sebesar itu diklaim hasil rapat dan sosialisasi dengan pihak panitia desa. Namun ironisnya biaya sebesar itu sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia. “Jadi penentuan biaya menurut kami bukan hasil musyawarah, besarannya sudah ditentukan pihak panitia desa. Padahal biaya sebesar itu bagi warga yang tidak mampu dirasa memberatkan,” ungkapnya.

Kades Sidajaya Nur Hikmat ketika dikonfirmasi (3/4) mengaku telah memungut biaya Rp500 ribu/bidang dari sebanyak kuota 350 bidang. Biaya sebesar itu hasil kesepakatan warga pada saat musyawarah. Peruntukannya, biaya membayar honor tim lapangan desa, pembelian patok tapal batas, materai, suguh tamu, dan bayar biaya tidak terduga lainnya.

“Dari kantor Pertanahan Subang tidak ada biaya, sementara operasional di lapangan butuh biaya. Sepengetahuan saya pungutan biaya itu merata dilakukan oleh desa-desa yang mendapat program yang sama, hanya kadang besarannya bervariasi,” katanya.

“Begitu pula warga peserta program belum seluruhnya membayar lunas, sebagiannya baru membayar down payment/DP (uang muka). Nanti kalau sertifikatnya sudah jadi baru akan melunasi,” ujarnya.

Sementara itu pejabat berkompeten di kantor Pertanahan Kabupaten Subang di Jln. Mayjen Sutoyo-Subang belum berhasil dikonfirmasi.

Bila merujuk buku ke-2 juknis pelaksanaan redistribusi tanah, tujuan program redistribusi tanah adalah megadakan pembagian tanah dengan memberikan dasar pemilikan tanah sekaligus memberi kepastian hukum hak atas tanah kepada subyek (baca: warga) yang memenuhi persyaratan, sehingga dapat memperbaiki serta meningkatkan keadaan social ekonomi subyek penerima redistribusi tanah.

Sementara programnya sendiri sudah dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah bersumber dari APBN alias gratis seperti tertuang di Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) di kantor BPN.

Peruntukan anggaran tersebut meliputi biaya pengukuran dan pemetaan bidang tanah, penyuluhan, pengumpulan dan pengolahan data yuridis, sidang panitia, pembukuan hak dan

penerbitan sertifikat. Sedangkan kewajiban masyarakat (peserta program) cukup menyerahkan bukti-bukti kepemilikan tanah (data yuridis) dan dokumen yang diperlukan, pengadaan patok 3 buah dan penyediaan materai sedikitnya 4 lembar.

Menanggapi itu, aktivis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK-RI) Kabupaten Subang U. Syamsudin menegaskan, bila benar ada pungutan biaya itu tergolong korupsi, karena program tersebut sudah dibiayai pemerintah yang dianggarkan dalam APBN.

Sudah selayaknya oknum Kades dan panitia yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.

Masih kata Syamsudin, dalam konteks ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.

Lebih jauh Syamsudin memaparkan, definisi laporan dengan pengaduan jelas berbeda, dalam ketentuan umum Pasal 1 poin 24 dan 25 KUHAP dijelaskan, bahwa laporan peristiwa pidana adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang, karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang, tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Sedangkan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum terhadap seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

Menurut Syamsudin, kasus ini tergolong pungli dan setiap pungli adalah merupakan bagian tindak pidana korupsi. “Setiap pengutan tanpa dilandasi undang-undang adalah pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat pemerintah desa dipandang kontradiski dengan regulasi pemerintah atasnya, sehingga batal demi hukum,” tegasnya.

Pihaknya berjanji, bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum. (Abh)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles