Rabu, Oktober 29, 2025

Pembuatan Sertifikat Program Redistribusi Tanah di Desa Kiarasari Diduga Dijadikan Ajang Pungli

Subang, Demokratis

Di tengah sulitnya perekonomian yang menerpa warga Desa Kiarasari, Kecamatan Compeng, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, peserta pembuatan sertifikat massal program redistribusi tanah, akibat dampak musim paceklik berkepanjangan, sehingga keseharian hidupnnya kini masih kesusahan.

Namun konidisi itu tak menjadi penghalang bagi Kepala Desa (Kades) Kiarasari Sam, malah warganya sebagai peserta program redistribusi tanah dibebani  biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah/bidangnya.

Praktek culas Kades Kiarasari Sam itu dituding warga sebagai pencuri, lantaran diduga melakukan pungutan liar (pungli) biaya pembuatan sertifikat massal tersebut, sementara pungli sendiri merupakan bagian tindak pidana korupsi.

Berdasarkan hasil investigasi lapangan dan keterangan berbagai sumber menyebutkan, dugaan pungli  pembuatan sertifikat massal program Redistribusi tanah di Desa Kiarasari setiap pemohon/warga, untuk tanah darat dipungut kisaran Rp1 juta/bidang sedangkan tanah sawah Rp1,5 juta/bidang.

Bila saja Pemdes Kiarasari di tahun ini mendapat quota sedikitnya 100 bidang, maka saku baju dan celana dinas yang biasa dipakai Kades Kiarasari Sam tidak akan mampu menampung fulus haram itu.

Sejumlah warga yang berhasil ditemui awak media, Karta (nama samaran) warga Kampung Mulyasari  mengaku dibebani Rp1 juta/bidang, dirinya mengaku mendaftarkan 1 bidang tanah darat, tapi dia baru membayar down payment/DP (baca: uang muka) sebesar Rp300 ribu. “Saya baru bayar uang muka Rp300 ribu, sisanya nanti setelah jadi sertifikat,” ucapnya.

Begitu juga Yayah (nama samaran) warga Kampung Kiarapayung mendaftarkan sebidang tanah sawah mengaku dibebani dengan nominal Rp1,5 juta/bidang.

Menurut mereka, biaya sebesar itu diklaim hasil rapat dan sosialisasi dengan pihak panitia desa. Namun ironisnya biaya sebesar itu sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia. “Jadi penentuan biaya menurut kami bukan hasil musyawarah, besarannya sudah ditentukan pihak panitia dan Pemdes. Padahal biaya sebesar itu bagi warga yang tidak mampu dirasa memberatkan,” ungkapnya.

Kades Kiarasari Samsudin saat dikonfirmasi melalui surat nomor : 33/DMK/Biro-Sbg/Konf/VII/2025 tidak berkenan menjawab, kendati waktunya sudah cukup lama.

Bila merujuk Buku ke-2 juknis pelaksanaan redistribusi tanah, tujuan program redistribusi tanah adalah megadakan pembagian tanah dengan memberikan dasar pemilikan tanah sekaligus memberi kepastian hukum hak atas tanah kepada subyek (baca: warga) yang memenuhi persyaratan, sehingga dapat memperbaiki serta meningkatkan keadaan sosial ekonomi subyek penerima redistribusi tanah.

Sementara programnya sendiri sudah dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah bersumber dari APBN alias gratis seperti tertuang di Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) di kantor BPN.

Peruntukan anggaran tersebut meliputi biaya pengukuran dan pemetaan bidang tanah, penyuluhan, pengumpulan dan pengolahan data yuridis, sidang panitia, pembukuan hak dan penerbitan sertifikat. Sedangkan kewajiban masyarakat (peserta program) di antaranya: Menunjukkan tapal batas bidang tanah pada saat pengukuran; Melengkapai data-data identitas diri  serta menyerahkan bukti-bukti penguasaan tanah/data yuridis (jika ada) dan dokumen yang diperlukan untuk kepentingan pemberkasan;  Membuat surat pernyataan sesuai kepentingannya.

Menanggapi kasus itu, aktivis LSM El-Bara Kabupaten Subang Yadi. S saat dihubungi via aplikasi WhatsApp (27/10) menegaskan, bila benar ada pungutan biaya itu tergolong korupsi, karena program tersebut sudah dibiayai pemerintah yang dianggarkan dalam APBN.

Sudah selayaknya oknum Kades dan panitia yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.

Masih kata Yadi, dalam konteks ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.

Lebih jauh Yadi memaparkan, definisi laporan dengan pengaduan jelas berbeda, dalam ketentuan umum Pasal 1 poin 24 dan 25 KUHAP dijelaskan, bahwa laporan peristiwa pidana adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang, karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang, tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Sedangkan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum terhadap seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

Menurut Yadi, kasus ini tergolong pungli dan setiap pungli adalah merupakan bagian tindak pidana korupsi. “Setiap pengutan tanpa dilandasi undang-undang adalah pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat pemerintah desa dipandang kontradiski dengan regulasi pemerintah atasnya, sehingga batal demi hukum,” tegasnya.

Pihaknya berjanji, bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum.

Yadi lebih jauh memaparkan, jika merujuk Pasal  27  Perpres  Nomor 86 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 62 Tahun 2023, bahwa pendanaan untuk program Reforma Agraria, termasuk pembuatan sertifikat massal Redistribusi tanah, dibebankan pada APBN, APBD, dan/atau sumber lain yang sah.

Idealnya, pendanaan ini seharusnya sudah cukup untuk mengcover semua kegiatan program, termasuk pembuatan sertifikat tanpa membebani masyarakat. Jika dalam prakteknya masih ada biaya yang dibebankan kepada masyarakat, hal ini bisa jadi indikasi adanya masalah dalam implementasi atau pengelolaan dana program.

 

Jika Bupati menerbitkan Surat Edaran (SE) yang membolehkan memungut biaya dalam batas kewajaran atas dasar musyawarah, hal ini bisa dianggap bertentangan dengan Perpres Nomor 86 Tahun 2018.

 

Surat Edaran Bupati tidak bisa meng-override peraturan yang lebih tinggi seperti Perpres. Jika Perpres secara jelas menyatakan bahwa biaya pembuatan sertifikat redistribusi tanah tidak membebani masyarakat dan dibiayai oleh APBN, APBD, atau sumber lain yang sah, maka SE Bupati yang membolehkan pungutan biaya bisa dianggap tidak sah dan tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi.

Meskipun Permendes Nomor 1 Tahun 2015 memberikan kewenangan otonomi kepada desa, namun kewenangan tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi pungutan biaya yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti Perpres Nomor 86 Tahun 2018.

“Otonomi desa tidak berarti desa bisa membuat kebijakan yang bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat. Jika ada konflik antara peraturan desa (Perdes) atau kebijakan desa dengan peraturan yang lebih tinggi, maka peraturan yang lebih tinggi yang harus diutamakan. Jadi, dalih otonomi desa tidak bisa digunakan untuk membenarkan pungutan biaya yang tidak sesuai dengan Perpres Nomor 86 Tahun 2018,” pungkasnya. (Abh)

Related Articles

Latest Articles