Subang, Demokratis
Di tengah sulitnya perekonomian yang membelit warga Desa Tanjungsari Barat dan Timur, Kecamatan Ciakum, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, peserta program sertifikat massal Pendaftaran Tanah Sestematis Lengkap (PTSL), akibat terdampak pandemi corona virus desease 2019 (Covid-19), sehingga keseharian hidupnnya kini semakin kesusahan seiring diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat itu.
Namun konidisi ini tak menjadi penghalang bagi Kades Tanjungsari Barat dan Tanjungsari Timur, malah warganya dibebani biaya pembuatan sertifikat PTSL antara Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribuan/bidangnya.
Mereka mengeluh dan merasa keberatan atas pungutan biaya yang dikenakan panitia dan Pemdes setempat.
Praktek culas Kades tersebut dituding warga sebagai pencuri, lantaran diduga mengutip biaya pembuatan sertifikat massal di luar ketentuan alias pungutan liar (Pungli). Sementara Pungli sendiri bagian tindak pidana korupsi.
“Saya ikut menjadi peserta program pembuatan sertifikat (PTSL), biayanya Rp 600 ribu untuk dua bidang tanah darat,” ujar salah seorang warga yang tidak bersedia disebut namanya dan diamini peserta program lainnya ketika dihubungi awak media, Selasa (9/6).
Menurut mereka, biaya sebesar itu diklaim hasil rapat dan sosialisasi dengan pihak panitia desa. Namun ironisnya, biaya sebesar itu sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia.
“Jadi penentuan biaya bukan hasil musyawarah, besarannya sudah ditentukan pihak panitia desa. Padahal biaya sebesar itu bagi warga yang tidak mampu dirasa memberatkan,” ungkapnya.
Kepala Desa Tanjungsari Barat Jenal Mutakin saat dikonfirmasi, Selasa (9/6), membenarkan bahwa Desa Tanjungsari Barat mendapatkan program PTSL dari BPN pada tahun 2020 sebanyak 800 bidang. Namun menurutnya hingga kini belum seluruhnya jadi karena masih dalam proses penandatanganan.
“Menurut informasi dari pihak BPN, keterlambatan proses pembuatan sertifikat disebabkan adanya pejabat yang mengurusi program dimutasi, sehingga terjadi masa transisi yang berimbas pada lambatnya proses administrasi,” ungkapnya.
Disinggung mengenai biaya PTSL, Jenal mengaku hanya mengutip Rp 150.000/bidang, tapi dirinya tidak menampik bila ada warga yang membayar lebih, katanya sebagai uang tanda terima kasih. “Iya semua itu atas kesepakatan warga masyarakat dengan panitia,” katanya.
Menurutnya, jika mengacu kepada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Mendagri, Mendes PDTT No 25/SKB/V/2017; No 590-3167A Tahun 2017 dan No 34 Tahun 2017, biaya Rp 150.000 ‘tidak mencukupi’ untuk mengurus program ini.
“Maka dari itu pihak panitia bersama warga penerima program bersepakat untuk memberikan tambahan, bahkan pada sosialisasi juga disaksikan oleh para aparat terkait, mereka setuju supaya program ini berjalan lancar,” katanya.
Sementara Kades Tanjungsari Timur, belum berhasil dikonfirmasi terkait pelaksanaan program PTSL di desanya.
Menanggapi hal ini, pentolan Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi (GNPK-RI) Kabupaten Subang Adang Sutisna SH saat dihubungi awak media di kantornya komplek BTN Puskopad Sukajaya, Kelurahan Cigadung-Subang, Rabu (10/6) menegaskan, bila benar ada pungutan biaya itu melebihi ketentuan tergolong Pungli dan setiap Pungli adalah bagian tindak pidana korupsi.
“Setiap pengutan tanpa dilandasi Undang-undang adalah Pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat Pemerintah Desa dipandang kontradiski dengan regulasi Pemerintah atasnya, sehingga batal demi hukum,” tegasnya.
Sehingga menurutnya, sudah selayaknya oknum Kades dan panitia yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.
Adang menegaskan dalam konteks ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.
Pihaknya juga berjanji, bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum. (Abh/Esuh)