Subang, Demokratis
Entah apa sesungguhnya yang terjadi di tubuh Pemkab Subang, Provinsi Jawa Barat tak mampu membayar utang pekerjaan ke pihak ketiga (para pengusaha) yang dilaksanakan di TA 2019.
Atas kasus itu selain para pengusaha mengaku merasa resah dan dirugikan kini menjadi sorotan berbagai kalangan, DPRD Subang juga bakal segera menggelar hak interplasi.
Hal itu mengemuka saat mereka yang tergabung dalam Subang Integration Forum (SIF) beraudensi dengan DPRD Subang di ruang Komisi-II, Jumat lalu (10/1/2020).
Peserta audensi diterima Pimpinan DPRD Subang Elita Budiarti dan Aceng Kudus, Ketua Komisi-II Nano Suwitno.
Di hadapan pimpinan DPRD itu, mereka mengeluh akibat belum dibayarkannya utang sehingga menyebabkan sebagian adanya pembatalan proyek yang seharusnya dikerjakan. Dengan alasan belum memiliki modal untuk kelangsungan menjalankan proyek tersebut.
Nilai pekerjaan proyek yang belum terbayarkan tidak sedikit, jumlahnya cukup fantastis yakni mencapai sekitar Rp 31 miliar dari sebanyak 1.200 paket pekerjaan.
Sementara pihak Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Subang mengatakan, penundaan pembayaran itu karena ada penundaan dana Bagi Hasil oleh Kementerian Keuangan-RI.
Lilih salah seorang pengusaha mengatakan, awalnya dia berfikir positif bila Pemkab Subang tidak akan ada masalah dengan pembayaran utang pekerjaan yang dilaksanakan TA 2019. “Namun ternyata hingga saat ini belum terbayarkan,” ujar Lilih seperti dilansir Pasundan Ekspres.
Hal senada dikatakan Ketua Subang Integration Forum (SIF) Iwan Irawan, pihaknya merasa dengan keterlambatan ini para pengusaha dirugikan. Belum lagi pengusaha harus memikirkan membayar pinjaman beserta bunganya kepada bank, karena untuk melaksanakan pekerjaan menggunakan uang pinjaman bank. “Pada intinya kami ingin dibayarkan,” ujarnya.
Menurut Aktifis GNPK-RI Kabupaten Subang Yudi Prayoga Tisnaya, akibat ketidak mampuan Pemkab Subang untuk bayar para pengusaha (pemborong), hingga saat ini tidak jelas, Pemkab Subang terancam bangkrut.
“Dari 2 Januari 2020 lalu, utang Pemkab Subang yang belum terbayarkan senilai Rp 31 miliar kepada pemborong dengan sebanyak 1.200 paket, itu isyarat Pemkab Subang bisa disebut terancam bangkrut,” tandas Yudi saat dihubungi di kediamannya.
Ketidak mampuan Pemkab Subang untuk membayar utang kepada para pengusaha tentunya hal itu merupakan masalah serius. Apalagi terpantau ada 3 instansi Pemkab Subang yang terlibat menangani pengelolaan keuangan daerah sudah beberapa kali mendatangi Gedung DPRD Subang.
“Jika memang demikian adanya pemkab Subang tidak mampu bayar utang dengan tidak ada kejelasan, saya menilai Pemkab Subang nyaris bangkrut dan hal ini akan sangat berbahaya untuk kemajuan Pemkab Subang sendiri ke depannya,” ujarnya.
Presidium SIF Andi Lukman Hakim bahkan melontarkan wacana aksi penggalangan koin untuk membantu keuangan Pemkab Subang. “Jika Pemkab tidak mampu bayar utang akan kita bantu dengan penggalangan koin,” sindir Andi.
Apa yang dikatakannya, sebagai simbol keprihatinan atas tata kelola keuangan Pemkab Subang yang dinilai amburadul. Menurutnya, ketidakmampuan bayar utang di tahun 2019 seharusnya bisa diantisipasi sejak Desember 2019 dengan memasukkan ke APBD 2020.
“Kita ini sudah otonomi daerah, jangan sampai tidak mampu mengelola keuangan daerah,” ujarnya.
Wakil Ketua DPRD Subang, Elita Budiarti memaparkan, Bupati Subang harus segera mengakui utang kepada pihak ketiga (Pengusaha-Red) dalam bentuk Surat Keputusan. Nantinya SK pengakuan utang itu menjadi dasar melakukan perubahan APBD 2020 untuk membayar utang ke pihak ketiga.
“Kami minta Bupati segera menerbitkan SK pengakuan kepada pihak ketiga,” ujar Elita.
Penerbitan SK Pengakuan utang itu, tambah Elita merupakan saran dari Kemendagri. Pimpinan DPRD sendiri mengaku sudah berkunjung ke Kemendagri, tetapi saran itu masih bersifat lisan.
“Hari senin lalu (13/1) Pemkab berkunjung Kemendagri untuk konsultasi. Kami minta ke Pemkab Subang agar saran dari Mendagri secara tertulis,” ujarnya.
Setelah nanti mendapat jawaban tertulis dari Kemendagri maka Pemkab harus segera membuat SK Pengakuan utang. Kemudian setelah itu menyampaikan kepada DPRD sebagai dasar untuk melakukan perubahan APBD TA 2020.
Anggota Komisi-II DPRD Subang, Lutfi Isror menambahkan pada TA 2019 Pemkab Subang mengalami defisit sebesar Rp 122 miliar. “Defisit itu karena memang pendapatan kurang dari pembelanjaan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Forum Pemerhati Kebiajakan Publik (FPKP) Kabupaten Subang yang juga mantan anggota DPRD Subang Aip Saeful Rohman mengatakan, perubahan APBD hanya bisa dilakukan ketika bertambah atau berkurangnya APBD sebesar 50 % (persen).
Sehingga ketika perubahan hanya dengan alasan membayar utang itu tidak bisa dilakukan, sebab utangnya hanya sebesar Rp 43 miliar tidak menambah atau mengurangi APBD hingga 50 persen.
Sementara Pemkab tidak bisa membayar utang dengan anggaran parsial. Karena membayar utang tidak termasuk kategori darurat. “Kalau anggaran parsial itu bisa dilakukan ketika kondisi darurat, membayar utang tidak masuk kategori anggaran parsial,” pungkasnya.
Atas kasus ini Wakil Bupati Subang Agus Maskur Rosyadi akhirnya angkat bicara. Dia membenarkan hal tersebut, menurutnya karena Pemerintah Pusat tidak mentransfer ke kas daerah pada tri wulan ke-IV, sehingga menyebabkan terjadi penundaan pembayaran utang.
Informasi penundaan transfer dari Pemerintah Pusat itu sendiri pada 3 Desember 2019 melalui Permenkeu No 180.
“Dari Pemerintah pusat menunda pembayaran senilai Rp 54 miliar. Jika itu cair, ya selesai. Tidak akan terjadi menunda pembayaran ke pihak ketiga,” ujarnya.
Wabup mengatakan, anggaran Rp 54 miliar yang seharusnya ditransfer di tri wulan ke-IV tahun 2019 akan dijadikan potensi pendapatan di tahun 2020. Kendati potensi itu tidak masuk di APBD 2020, karena sudah terlanjur disahkan.
“Pemerintah pusat akan membayar, karena itu sifatnya penundaan membayar. Akan dibayarkan di tahun 2020,” ujarnya. (Abh)