Gerakan kaum muda yang terjadi menjelang proklamasi kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari peristiwa Kongres Pemuda seluruh Jawa.
Kongres yang dihadiri lebih dari 100 utusan pemuda, pelajar dan mahasiswa seluruh Jawa itu dilakukan pada 16 Mei 1945 di Bandung.
Kongres ini disponsori oleh Angkatan Moeda Indonesia, organisasi bentukan Jepang yang kemudian berkembang menjadi gerakan anti-Jepang.
Sejak tahun 1943, Jepang memang memberikan prioritas pada gerakan pemuda baru sebagai cara memobilisasi kekuatan melawan Sekutu.
Demi tujuan itulah, Jepang kemudian membentuk beberapa kelompok pemuda dan militer. Pada tahun 1943 dibentuk Seinendan, Keibodan, Heiho, dan Peta.
Pada tahun 1944, dibentuk Jawa Hokokai diikuti kemudian dengan Barisan Pelopor yang kemudian diberi pelatihan perang gerilya.
Dalam kongres Mei 1945 ini, para pimpinan Angkatan Moeda Indonesia mendorong para pemuda bersatu demi melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan yang tidak berasal dari pemberian Jepang.
Kongres ini berlangsung dengan suasana semangat nasionalisme. Lagu Indonesia Raya dinyanyikan tanpa Kimigayo dan bendera Merah Putih berkibar tanpa bendera Hinomaru.
Buku yang sama mencatat, kongres ini menghasilkan dua resolusi. Pertama, semua golongan Indonesia terutama golongan muda disatukan di bawah satu pimpinan nasional.
Kedua, dipercepatnya pelaksanaan resolusi Kemerdekaan Indonesia.
Hasil kongres tersebut diputarbalikkan oleh pers Jepang. Diberitakan bahwa kongres pemuda tersebut menyatakan dukungan penuh terhadap kerja sama dengan Jepang dalam usaha mencapai kemerdekaan.
Beberapa tokoh muda peserta kongres menanggapi situasi tersebut dengan mengadakan pertemuan rahasia pada tanggal 3 Juni 1945.
Pertemuan ini belum menghasilkan langkah konkret yang mantap.
Pada pertemuan “bawah tanah” berikutnya, pada tanggal 15 Juni 1945, terbentuk Angkatan Baroe Indonesia.
Organisasi ini bertujuan untuk mencapai persatuan seluruh golongan masyarakat Indonesia, menanamkan semangat revolusioner, membentuk negara kesatuan Republik Indonesia, serta mencapai kemerdekaan dengan kekuatannya sendiri.
Jepang merespons dengan membentuk Gerakan Rakyat Baru yang beranggotakan tokoh-tokoh tua beserta tokoh-tokoh muda radikal yang ada dalam organisasi Angkatan Baroe Indonesia.
Tujuannya, agar gerakan pemuda radikal lebih mudah terpantau. Sayangnya, usaha Jepang ini mendapat perlawanan lebih keras dari pemuda.
Mengenang perjuangan para pemuda zaman itu, tentu sulit membayangkan proklamasi kemerdekaan tanpa peran pemuda.
Justru pemudalah yang “menculik” Soekarno dan Hatta untuk dibawa ke Rengas Dengklok dan kemudian memaksa kedua tokoh tersebut untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa ini menjadi tanda semangat kehidupan baru bangsa dan negara karena sejak saat itulah Republik Indonesia 1945 diproklamirkan.
Dalam perjalanannya, perlawanan oleh penjajah pun sangat sulit untuk ditaklukkan sampai pada akhirnya Bung Karno memberikan kalimat motivasi yang berhasil menyadarkan banyak golongan dari pemuda Indonesia untuk bersatu melawan penjajah.
Beliau membuat perbedaan menjadi hal yang dapat diatasi dengan persatuan.
Sejarah peristiwa Rengasdengklok terjadi tanggal 16 Agustus 1945 atau sehari sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada 14 Agustus 1945, Soetan Sjahrir mendengar kabar dari radio bahwa Jepang menyerah dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya.
Sjahrir segera menemui Sukarno dan Mohammad Hatta untuk menyampaikan kabar tersebut.
Saat itu, Sukarno dan Hatta baru saja pulang dari Dalat, Vietnam, usai bertemu dengan pemimpin militer tertinggi Jepang untuk kawasan Asia Tenggara, Marsekal Terauchi.
Kepada Sukarno-Hatta, Terauchi menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia.
Silang pendapat pun terjadi di antara ketiga tokoh bangsa itu. Sjahrir meminta agar kemerdekaan segera dideklarasikan.
Namun, Sukarno dan Hatta yang belum yakin dengan berita kekalahan Jepang memilih menunggu kepastian sembari menanti janji kemerdekaan dari Dai Nippon.
Latar Belakang Sukarno dan Hatta tidak ingin salah langkah dalam mengambil keputusan.
Di sisi lain, para tokoh muda mendukung gagasan Sjahrir, yakni mendesak Sukarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Dikutip dari buku Sejarah Indonesia Kontemporer: Peristiwa Sejarah Indonesia dalam Narasi Wartop (2017) karya Puspita Pebri Setiani, Sukarno dan Hatta berpendapat bahwa: “Kemerdekaan Indonesia yang datangnya dari pemerintahan Jepang atau dari hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidak menjadi soal karena Jepang sudah kalah.”
“Kini kita menghadapi serikat yang berusaha akan mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi.”
Maka dari itu, Sukarno-Hatta ingin membicarakan hal ini terlebih dahulu dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 16 Agustus 1945 sambil menanti kabar terbaru dari pemerintah Jepang.
Namun, golongan muda tidak sepenuhnya sepakat. Mereka tetap mendesak agar kemerdekaan Indonesia diproklamirkan secepatnya.
Kronologi Peristiwa Golongan muda mengadakan rapat pada 15 Agustus 1945 malam di Pegangsaan Timur, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh ini menyepakati bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak rakyat Indonesia, tidak tergantung dari pihak lain, termasuk Jepang.
Pada pukul 22.00 malam hari itu juga, Wikana dan Darwis menjadi utusan dari golongan muda untuk menemui Sukarno, juga Hatta.
Mereka kembali menuntut agar proklamasi kemerdekaan dilakukan esok hari yakni tanggal 16 Agustus 1945. Jika tidak, bakal terjadi pergolakan. Dinukil dari Konflik di Balik Proklamasi (2010) yang disusun St Sularto dan Dorothea Rini Yunarti, Bung Karno menolak seraya berkata tegas: “Inilah leherku, saudara boleh membunuh saya sekarang juga. Saya tidak bisa melepas tanggung jawab saya sebagai Ketua PPKI. Karena itu, saya akan tanyakan kepada wakil-wakil PPKI besok.”
Gagal membujuk Sukarno, golongan muda kembali mengadakan rapat. Dikutip dalam Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia (2017) karya Haryono Riandi, rapat digelar pada pukul 00.30 di Jalan Cikini 71, Jakarta.
Rapat dihadiri oleh para tokoh muda termasuk Chairul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Wikrana, Armansjah, Sukarni, Jusuf Kunto, Singgih, dr Muwardi dari Barisan Pelopor, dan lainnya. Diputuskan bahwa Sukarno dan Hatta akan diamankan ke luar kota demi menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang.
Peristiwa Rengasdengklok para pejuang dari golongan muda membawa Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok, dekat Karawang.
Pengamanan pun berjalan lancar karena dibantu oleh Latief Hendraningrat yang merupakan prajurit PETA (Pembela Tanah Air) berpangkat Sudanco atau Komandan Kompi.
Tepat pada pukul 04.30 dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Sukarno bersama Fatmawati dan putra sulungnya, Guntur, serta Hatta dibawa ke Rengasdengklok, kemudian ditempatkan di rumah seorang warga keturunan Tionghoa bernama Jiauw Ki Song.
Aksi “penculikan” ini semula dimaksudkan untuk menekan Sukarno dan Hatta agar bersedia segera memproklamirkan kemerdekaan, tetapi karena wibawa dua tokoh bangsa itu, para pemuda pun merasa segan. ***