Lelahku lelahmu tertulis dalam buku
Menambah cerita yang dibaca fajar
Lelahku lelahmu tertulis dalam buku
Kupetik buah ilmu dari perjalanan
Lelahku lelahmu bukan pemagar jalan – Pena Bertinta Api
Coretan
Satu gubahan dari grup musik punk-rock Romi & the Jahat mengawali tulisan kecil ini, dari sebuah perjalanan terjal, onak dan tentu berduri dalam menembus batas persepsi yang dalam hal ini adalah belajar menjadi pemuda yang berbeda, kebetulan terlahir dari desa dan mencoba menghidupi desa.
Membaca sebuah zaman adalah juga membaca sebuah generasi, kaum muda adalah kunci, dari generasi tersebut. Menikmati desa bukan berarti juga tenggelam dalam sepoinya angin dan rindangnya pepohonan, kejelian serta sikap kritis harus terus tertanam dalam bumi desa, terlebih pada generasi mudanya. Kita bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa tanpa melakukan apapun. Semua persoalan desa memang bukan hanya persoalan pemerintahannya, semua elemen masyarakat terlibat di dalamnya dan menentukan nasibnya sendiri (self determination), kemana arah langkah desa? Maju ataukah terbelakang dengan tetangga. Sejatinya dimanapun desa tidak ada yang miskin kecuali dimiskinkan.
Melihat sumber daya manusia desa adalah anugerah, bukan karena tabu atau bahkan bodoh. Namun mereka adalah manusia yang bisa menerima takdir dengan mudah tanpa ba-bi-bu, kemudian kaum mudanya yang terjebak oleh sistem industri telah memaksa mereka berhijrah atau urbanisasi dengan tujuan perbaikan ekonomi keluarga. Begitu sangat disayangkan, potensi yang di desa terabaikan begitu saja, sumber daya alam yang melimpah menjadi previlige bagi segelintir orang yang ‘pintar’ dalam merekayasa harga.
Dalam prakata dari sebuah buku karya Ian Douglas Wilson dikatakan bahwa ‘spanduk yang mereka gantung di gapura setempat menegaskan monopoli kewilayahan’.[1] Bagaimana dengan sikap politik kaum muda hari ini? Menentukan arah desa yang kedepannya dapat mandiri dan berdikari sehingga terciptanya sirkulasi ekonomi yang menopang roda perekonomian desa. Master piece sebuah desa adalah pemuda, pemuda yang bisa diandalkan dalam segala medan, pemuda yang siap pakai dalam segala keperluan serta menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemuda yang progres dan bukan pemuda yang nyaman dengan keadaan, dan pasrah pada lintasan takdir semata, siap membaur dan sealu berbaur dengan situasi yang up to date meskipun dalam lingkup desa.
Tonkat estafet dalam sebuah regenerasi harus siap dilaksanakan, meski dalam kurun belakangan masih ‘di pandang sebelah mata’ namun esok adalah kejutan yang kan menjadi keniscayaan. Jika hari ini pemuda hanya memupuk kebencian terhadap sebuah sistem maka dalam pola politik demkoratis mafhum disebut oposisi, pemuda oposan – lagi-lagi nyaman dengan cacian serta cibiran tanpa melakukan apapun.
Menjadi pemuda yang mendayagunakan segala potensinya bukanlah sesuatu yang mudah, oleh sebabnya ganjaran setimpal pada masa tua ialah feed back dari masa mudanya, jangan dulu bermain aman sebelum selesai masa mudamu dan jangan menyerah atau berdamai dengan kenyataan, semua proses adalah kepahitan yang setiap orang enggan melakoninya. Lakukan dan jadilah yang berbeda.
Pemuda Desa Secara Global
Menjadi pemuda desa yang memiliki ruang gerak yang bebas adalah hal yang didambakan semua pemuda, memiliki akes yang tak terbatas pada setiap lini, serta dapat memanfaatkan segala sesuatu sehingga bernilai, terlebih lagi jika itu adalah nilai ekonomis. Sudah barang tentu pemuda begitu dielu-elukan oleh masyarakatnya. Sebab bagaimanapun ekonomi adalah sendi krusial dalam sebuah masyarakat. Dimulai dari produksi, distribusi, konsumsi, reproduksi higga tercipta sirkulasi ekonomi yang berkelanjutan pada sebuah desa–desa madani.
Pemuda yang menurut Ben Anderson ialah sebuah tahap tersendiri dari sebuah busur kehidupan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Hingga reduksi makna tersebut terbagi dalam empat fase; kanak-kanak, muda, dewasa dan usia lanjut.[2] Kemudian tersudahinya masa kanak-kanak menuju dewasa (remaja) adalah tradisi sunatan – dalam masyarakat Jawa kuno. Dalam kurun waktu belakangan pemuda sering disebut dengan kata milenial, atau generasi yang melek akan teknologi, atau bisa dikatakan adalah generasi milenium kedua. Pun dalam hal ini tidak lepas dari peran teknonologi yang terus menjadikan pemuda sebagai brand ambasador pada sebuah masyarakat. Maka di sini pemuda berperan secara signifikan, memiliki kontribusi yang lebih serta memiliki akses unlimited untuk kebaikan yang bersifat universal.
Dan di atas adalah sebuah ilustrasi yang dapat dikatakan utopian. Terlebih ketika pemuda, desa khusunya, adalah desa yang terus melanggengkan budaya basa-basi, mengukuhkan status-quo hingga masih bercokolnya warisan feodalistik. Hari ini adalah pemuda desa, terlebih yang mengenyam pendidikan tinggi, adalah pemuda yang kurang bernyali dalam survive-nya. Pemuda yang bergandengan dengan partai, ormas, LSM – organisasi karir, adalah hal yang digandrungi bagi mereka yang pernah ‘memakan bangku sekolah’. Maka pemuda desa orisinil adalah dapat dibedakan menurut pendidikannya, bahkan dengan corak pekerjaannya, secara pragmatis. Pemuda yang dengan pekerjaan kasar adalah mereka yang berpendidikan rendah dan sebaliknya. Mudah terkotakkan oleh status-quo. Sejalan dengan kata Tan Malaka dalam Semangat Muda-nya, “insaflah bahwa pengetahuan itu kekuasaan”.[3]
Desa dan Pemuda memang dua terinologi yang berbeda sama sekali. Desa yang menurut Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.[4] Jika definisi tersebut kita reduksi maka Pemuda Desa ialah pemuda memiliki peranan aktif dalam masyarakat, yang tentu saja bukan hanya meliputi wilayah geografis serta demografis semata. Namun dalam wilayah sosial, budaya dan terutama sekali adalah ekonomi. Namun melihat indikasi di atas, maka apa yang diharapkan dari pemuda desa? Tergerus dalam arus mainstream, menjadi sama sekali tidak berbeda dengan pendahulunya. Hanya meneruskan status-quo. Pemuda yang sudah barang tentu memiliki visi yang lain dengan generasi yang terdahulu adalah mengeman misi yang juga berbeda, kontekstualisasi zaman orang mengatakan. Namun kepentingan (baca; politik) seringkali menjadi batu sandungan serta pelanggengan akan warisan-warisan kepentingan tersebut. Lalu bagaimana peranan pemuda desa dalam mengaktualisasikan zaman jika pelangengan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme saja belum usai?
Peranan yang signifikan atau memiliki signifikansi pun belum mampu membuka jalan berkelanjutan pada sebuah desa. Desa dengan pemerintahan serta lembaga di dalamnya masih konsisten memelihara tradisi lama dengan lingkar oligarkisnya masih bercokol dalam lembaga-lembaga yang semestinya telah melakukan satu estafet dalam menlanjutkan segala programnya, tiada adanya konsep la carriere overte aux talents (karier terbuka luas bagi mereka yang berbakat dan berkompetensi). Mengingat pemuda yang aktif di desa (baca; aktifis) pun berangkat dari sebuah karir maka sebelum karir tertingginya belum tercapai maka bahasa rakyat bisa digunakan, selama mungkin. Kemudian menyinggung oligarki juga nepotismenya, maka perbedaan sebuah lembaga dan benang bisnis telah juga menjadi kabur, hal ini seperti halnya familisme yang diaplikasikan oleh kebudayaan Cina. Familisme yang begitu ketara pada kehidupan bisnis Cina memiliki akar yang kuat dalam kebudayaan Cina, maka di sanalah kita harus memahami karakteristik-karakteristiknya yang unik.[5] Maka dapat kita asumsikan bahwa memang pemerintahan desa serta lembaga hanya dihuni oleh orang itu-itu saja, generasi tua. Kaum mudanya ‘main-aman’ dengan hanya pada satu titik poin, lembaga selevel Karang Taruna – tempat pemuda aktif desa.
Seperti tidak ada tempat bagi pemuda aktif desa kecuali karang taruna, dan mindset tersebut telah lama terpatri dalam benak masyarakat, apalagi golongan tua. Seperti jenjang karier memang, dan inilah desa. Pemudanya aman pada satu level dan yang tuanya tidak mau mengalah. Maka perebutan kekuasaan pun tetap didominasi oleh kaum tua, dengan cara kolot namun terstruktur, massif dan sistematis. Dalam konteks pemilihan kepala desa (Pilwu) bukan barang baru apabila calon kuwu mendekati anak muda dengan membawakan fasilitas olahraga, yang sudah pasti ditukar dengan suara dukungan. Belum menemukan formulasi jitu, maka cara primitif pun masih dianggap bermutu. Dan memang, demokrasi masih terbilang langka apabila berbicara pemilihan di level desa, meskipun Pilwu yang ‘disponsori’ oleh centeng-centeng desa juga ‘diawasi’ pemerintah daerah hinga kecamatan – bukan berarti tidak ada kecurangan.
Kehadiran pemuda dalam Pilwu memang diperlukan, dalam hal ‘team horre’ terutama sekali pada masa mengawal janji-janji palsu (baca; kampanye), dan dibayar tidak seberapa. Selebihnya peran pemuda yang bisa mengorganisir diposisikan sebagai tim pemenangan (Jawa; cucuk), juga tidak luput dari janji manis atas jabatan nantinya. Hal ini lumrah terjadi, megingat status-quo masih bertengger di benak masyarakat kita. Maka seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah-nya bahwa ‘kita sesungguhnya adalah anak dari sebuah kebudayaan’ adalah benar adanya. Kita dan masyarakat adalah satu sekian banyaknya produk budaya. Pikiran kita bisa terasah apabila kita berada dalam lingkungan akademis atau kritis, kita bisa bisa bekerja dengan cekatan apabila kita berada di tengah masyarakat yang memiliki etos kerja yang tinggi. Dan di desa masyarakatnya mengikuti iklim yang ada di dalamnya; tenang, nyaman dan menerima apa yang ada.
Persoalan
Istilah milenial di atas memang ambigu jika disandingkan dengan persoalan-persoalan kompleks yang terus menguras marwah desa sebagai mestinya, merusak tatanan hingga degradasi kobaran semangat pemudanya. Bagaimana melangkah mendobrak atau melakukan perbaikan-perbaikan kecil, sebelum melakukan perbaikan secara menyeluruh. Memang teknologi, setidaknya memudahkan akses, membelah batas desa dan kota. Akantetapi, untuk apa teknologi di tangan manusia bermental kacung, yang hanya tunduk pada materi dan takut mencoba hal-hal yang baru – main aman. Pendidikan yang enyam oleh pemuda era 2000-an minimal sekali adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sederajat, Diploma bahkan strata satu (S1), namun pendidikan tinggi pun tidak menjamin sebuah perubahan yang signifikan. Maka tidaklah mungkin memisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena penyelenggaraan pendidikan pasti berkaitan dengan pengetahuan dan gerakan sosial yang radikal.[6] Akan tetapi pemuda hari belakangan adalah pemuda yang pandai berkomentar tanpa menganalisa apa yang setidaknya ‘benar’, pandai menegaluh tanpa menampik budaya tangan berpangkuh. Wal hasil stagnan, tidak berimbas sama sekali kecuali dinding beranda yang mengotori sosial media.
Bisa dibenarkan apa yang Rocky Gerung katakan, ‘ijazah itu tanda bahwa kamu pernah bersekolah bukan tanda kamu pernah belajar’. Selorohannya adalah tamparan keras bagi yang tadi, memuja materi, terlebih tahta. Sekolah atau instansi apapun yang menunjang anak-anak desa dalam mencari ilmu, di desa, kadang juga tak terlepas dari persoalan KKN seperti di atas. Bagaimana tidak, saat ini yayasan yang menyediakan ruang belajar bagi generasi mendatang telah juga dikotori oleh segelintir okum yang menjadikan yayasan semacam money loundry (pencucian uang), lumbung rupiah dan dimainkan oleh juga orang itu-itu saja. Despotisme baru serta bagaimana menghindarinya? Yaitu dengan merebut pendidikan dari cengkraman monopoli kelas-kelas tertentu dan menjadikan pendidikan dapat diakses dan tersedia secara adil bagi semua orang.[7] Kemudian bagaimana korelasi antara yayasan dengan pendidikan juga kaum muda desa? Kaum muda berpendidikan yang tidak memilih untuk merantau biasanya ikut serta dalam sebuah yayasan atau instansi pendidikan yang ada di desa tersebut, namun dengan mental kacungnya maka, segala penyelewengan serta pembiaran akan hal-hal yang kurang cakap, terutama persoalan keuangan dalam yayasan tersebut hanya dibiarkan begitu saja. Meski menyandang gelar sarjana, dengan labeling ‘pak guru’ oleh masyarakat yang sudah mafhum, namun tetap, bahwa instansi pendidikan hari ini adalah tidak jauh dari tempat mendulang pundi-pundi rupiah – bukan bengkel yang bisa meng up grade peserta didiknya. De materieele onderbouw bapaalt den geestelyken bovenbouw atau ‘bahwa keadaan itulah yang menentukan semangat’, [8] menjadi semakin relevan dalam mengawal semangat acuh bahkan apatisnya generasi muda dengan sengkarut persoalan yang ada di depan matanya.
Kemudian problematis yang juga tidak kalah menariknya dalam skema kaum muda desa ialah soal ‘jatah preman’ atau potongan dari penghasilan untuk partai, organisasi, Ormas bahkan LSM atau dimanapun tempat ia ‘diusahakan’ merupakan hal yang dianggap wajar oleh sebagian besar kaum muda milenial desa. Hal ‘kacangan’ ini sering kita jumpai dalam open recruitmen yang diselenggarakan oleh tingkat kementerian hingga daerah, dan istilah ‘orang dalam’ bisa menutupi kualitas calon pekerja dari instansi-instansi yang membuka open recruitmen tersebut. Maka tidak heran bila orang yang berada di kantor-kantor yang memiliki entitas langsung dengan masyarakat kerjanya asal-asalan. Potensi serta mimpi anak muda desa yang ingin mengubah tatanan birokrasi rumit itu telah begitu saja terkubur oleh selorohan ‘ADM’ dan ‘orang dalam’. Lalu apalagi yang diharap dari rumitnya skema hidup di desa, terlebih lagi jika kita dalam usia muda dengan kobaran api semangat yang meluap-luap?.
Pelanggengan-pelanggengan pendindasan nonverbal (baca; sistem) begitu nyata di depan mata. Kita tidak dapat melakukan sesuatupun tekecuali seperti apa yang dilakukan oleh orang dengan usia renta – mengeluh dan menyerah. Bebicara takdir adalah berbicara garis hidup yang ditetapkan, tentu terdapat takdir yang dapat kita ubah dan yang konstan, dan jika berbicara sebuah penindasan sistem yang terstruktur maka juga kita berbicara kekuatan yang terstruktur juga. Melawan arus dan tidak selalu di ‘zona nyaman’ ketika muda adalah kunci. Sebab masa muda adalah masa yang akan menentukan kelak kita akan menjadi apa dan siapa di masa tua nanti, pemenang atau pecundang!
Menjadikan desa sebagai counter juga sebagai subjek atas sebuah tindak-tanduk pemudanya sudah semestinya di lakukan oleh mereka yang telah memasuki masa yang berapi-api dan sudah seyogyanya melakukan sesuatu yang positif. Segala persoalan yang ada di desa memanglah belum apa-apa jika dikomparasikan dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan, segudang masalah di depan mata, mulai dari sampah rumah tangga hingga sampah masyarakatnya sendiri. Desa dengan cakupan geografis yang flesibel namun jumlah penduduknya terbilang sedikit jika dibanding kota, maka persoalan yang dihadapinya pun tidak serumit kota. Hanya saja kaum mudanya mau bergerak atau hanya nyaman berpangku tangan. Jika sampai titik nadir desa diambang krisis maka kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemangku kebijakan, kenapa, sebab peran serta masyarakat pun sangat dibutuhkan di sini, sebagai agen kontrol atas sebuah pemerintahan dan juga sebagai unsur yang tidak bisa tidak – harus ada dalam membangun sebuah masyarakat yang demokratis.
Lantas bagaimana dengan persoalan intimidasi yang kerapkali menjadi bunga atas iklim demokrasi, di desa terutama. Kaum muda berlomba-lomba dalam membuat satu kotak diantara kotak-kotak lainnya, saling menjatuhkan serta saling silang pendapat tanpa satu pretensi sekalipun. Nampaknya pemilihan apapun jenisnya telah menjadikan masyarakat terpecah. Saling silang dan beradu kekuatan hingga bahkan darah harus berjatuhan di atas kepentingan segelintir orang. Ketidaknyamanan atas iklim intimidatif tersebut parahnya terus berulang-ulang seakan tiada ujung, belum adanya manuver pemersatu antara pemecah tersebut, sebaliknya malah melanggengkan, dan itu diklaim wajar oleh sebagian besar masyarakat. Selain alam intimidatif yang membuat riskan, juga ditambah kesemerautan data dalam data base yang sudah semestinya menjadi kunci atas kebijakan aliran bantuan yang digelontorkan pemerintah terhadap rakyatnya, namun saling silang pendapat menjadikan nepotisme tidak bisa dihindari dalam kelumrahannya. Semuanya asal-asalan, asal jadi, asal kena dan asal bapak senang. Dan lagi, meskipun muda milenial yang dekat dengan IT bukan jaminan bahwa data menjadi satu kesatuan yang utuh, malah sebaliknya.
Krisis Kepercayaan
Siapa yang mau posisinya digeser, posisi yang menjanjikan dan tentu saja bernilai profit – apalagi oleh kaum muda. Namun, ‘jabatan seumur hidup’ memang ada di desa. Secara de facto ia eksis dan tak terbantahkan, asumsi sederhanya ialah bahwa orang yang memangku jabatan itu memang memiliki kualitas serta kreadibiltas yang memang sangat diperlukan sehingga belum di temukan ganti dari orang tersebut, meski menyalahi konstitusi namun pemangku kebijakan bisa ‘klik’ dengan orang tersebut maka siapa yang bisa membantah?
Pemuda hanya memiliki porsi yang terbatas dan sudah barang tentu gerak yang terbatas pula, telebih dalam sebuah sistem, yang dalam hal ini adalah pengambilan kebijakan strategis desa. Maka bisa dipastikan sedikit sekali pemuda yang berperan aktif di dalamnya – apalagi yang kritis, maka pemuda yang pasif serta bermental kacung tentunya yang diajak untuk berunding, bukan rapat, dan hanya bisa berkata ‘iya’. Gagasan serta ide-idenya dipatahkan oleh kaum tua, dengan berbagai dalih pembenaran maka kaum muda tersingkirkan semua potensi dan dan gagasannya, yang hadir hanyalah jasad tanpa jiwanya. Maka jika hanya menunggu pada saat pemangku kekuasaan itu lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa, maka barulah estafet itu diberikan.[9] Memang tekesan lemah namun dalam realitasnya merupakan hal yang lumrah dalam skema lembaga desa.
Dan oleh sebabnya krisis kepercayaan adalah menjadi sebuah mercusuar dalam mewujudkan tatanan desa yang berdaulat, dengan tidak berpikiran terbuka, open minded, dari kaum tua dalam menyikapi isu aktual serta tindakan yang terkesan tidaklah kontekstual. Hingga mengapa krisis itu eksis dalam ruang-ruang kepercayaan pada sebuah tatanan desa ialah, tidak terbukanya kaum tua serta ego-sentris yang terus menjadikan desa semakin tak menentu arahnya. Setiap zaman memiliki cirinya masing-masing, dan zaman ini dicirikan dengan merebaknya teknologi dan sudah barang tentu kaum muda yang lebih memumpuni dalam hal ini. Alangkah bijaknya jika kaum tua hanya menyokong dan memberikan nasihat dari apa yang dilakukan oleh kaum muda desa, bukan malah menghentikan ide yang sedang membara. Tindakan politis serta kamuflase atas subjektifitas memaksa kaum muda pun berpikir non-logis, dalam istilahnya ‘kalah blenak’ merupakan manuver yang dapat memukul mundur musuh secara telak, dan memang kaum muda progresif selalu di hadapkan dengan subjektifitas, terlebih ‘okum’ pemangku kebijakan tersebut adalah kerabat ataupun tetangga dekat, maka siapa bisa mengelak?
Dalam segala lini, berpikir objektif menjadi barang mewah hari ini, terlebih semuanya beririsan dengan materi. Dapat di pastikan bahwa pertentangan serta moralitas dipertaruhkan pada saat itu juga, dengan ‘sebelah mata’ maka kaum tua cukup kuat dalam mereduksi ide-ide cemerlang dari kaum muda. Adakah yang objekif dari kaum tua dalam melakukan kinerjanya sehinga ketika dikritisi tidak naik pitam? Yang objektifnya adalah kita, kaum muda ‘dipandang sebelah mata’, sebab kaum tua mengasumsikan kritikan adalah serangan atas diri pribadinya bukan kinerjanya, maka marah dan menstereotip adalah dianggap solusi dalam menangkis kritik. Tidak profesial dan proporsional, mungkin.
Dengan segudang persoalan yang ada di desa ditambah dengan di redamnya arus pembaharuan pada sebuah desa maka lamat-lamat desa semakin tertinggal dan bisa jadi terpinggirkan oleh derasnya arus sebuah zaman.
Oposisi
Apa kabar pergolakan politik desa? Dalam konteks keterbukaan informasi sudah seharusnya transparansi informasi digalakan, semuanya serba terbuka tidak ada yang tersbunyi barang sekecil apapun informasi, mafhum bahwa hari ini telah ditunjang oleh teknologi, terlebih dengan sosial medianya, sebagai penunjang sebuah pekerjaan. Menyelenggarakan sesuatu pun saat ini tidak perlu lagi menggunakan print out seperti halnya pada masa lalu, cukup dengan undangan digital dan sebar, meskipun menafikan budaya ‘atur-atur’ namun dalam skema politik yang sarat dengan pemerintahan maka hal ini adalah lumrah adanya.
Akan tetapi dalam konsep transparansi yang dilakukan dalam sebuah desa adalah semi-transparan. Biaya anggaran atau APBDes adalah contoh konkrit dari hal ini, sebagai koreksi dan sebagai kontrol atas kinerja pemerintahan tentunya, dan hal ini belum lagi dengan transparansi yang menyangkut bantuan pemerintah, sudah sepatutnya transparansi itu ada. Maka dalam hal ini adalah celah bagi mereka, atau siapapun yang memulai karir perjuangan di desanya, apalgi dari pihak yang kalah dalam pencalonan kuwunya, magnum opus, dari mulai mengkritisi kinerja sampai mengutak-atik aggaran desa adalah tugas oposan. Pada kesempatan ini juga pemuda yang mulai membuka mata politiknya menjadi tertarik untuk ikut serta di dalamnya, bergabung dengan barisan oposisi, namun pemuda terkadang juga belum bisa memposisikan antara kebencian dan sikap kritis, jika mengkritisi maka membenci, meskipun kebencian adalah ketololan, aku yang meminum racun, tapi berharap orang lain yang mati.[10]
Dapat dikatakan bahwa oposan adalah mereka yang sakit hati dan satu diantara yang lainnya adalah kontrol terkuat dari sebuah kinerja pemerintahan yang berjalan. Dalam hal ini tidak ada kepastian bahwa ketika oposisi yang mengisi tampuk kekuasaan akan lebih baik, bisa jadi akan semakin kacau sebab iklim demokrasi kita masih dipenuhi dengan cacian bukan karya nyata dari sebuah kerja. Iklim nasional hingga desa pun tidak jauh berbeda, penguasa dan oposisi. Lalu dimana posisi pemuda dalam pusara oposan seperti ini? Pemuda desa yang punya sikap politik, terlebih arah politiknya adalah pemuda yang dapat dikatakan melek dengan realitas. Penindasan terstuktur dan pembodohan yang masif adalah alasan terkuat untuk menentukan arah politik desa ke depannya, namun mengamini oposan adalah juga memupuk kebodohan yang juga terstruktur, memengang kendali adalah pilihan paling tepat. Kendali politik desa adalah pemudanya, yang tua hanya bisa menikmati, itupun jika yang tua telah sadar akan posisinya yang semakin tergerus zaman. Kejujuran yang tidak melahirkan kebenaran hanya akan menjadi malapetaka.[11] Pada akhirnya posisi oposan juga tupang-tindih dalam roda arus demokrasi, bukan siapa yang kelak menjadi pemenang namun siap yang gigih memperjuangkan kepentingan orang banyak – begitulah politik. Buahnya adalah rasa pahit dan dampaknya adalah sebuah manfaat yang dinikmati oleh semua lapisan masyrakat.
Pemuda merdeka
Apa yang telah ditulis di atas adalah apa yang terjadi, realitas yang tak terbantahkan pada ruang lingkup desa dengan sengkarut persoalannya, dengan segudang telik-teliknya. Kata sulit dan frustasi dalam memperjuangkan segala sesuatu, meskipun yang paling dekat dengan perjuangan adalah kekecewaan dan korban pertama dari sebuah konflik adalah kebenaran. Bersiap kecewa adalah start pertama dalam perjuangan, semua yang terdapat dalam politik adalah bias dan absurd, penuh muslihat dan penuh dengan rekayasa. Lalu siapakah yang dapat bertahan dengan segala hal yang tak menguntungkan seperti ini? Dalam konteks ini ialah pemuda, namun bukan pemuda yang apatis terhadap lika-liku yang penuh drama ini.
Ruang hipokrit yang juga terselubung di dalamnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi desa, ‘semakin maju sebuah peradaban maka semakin berat tantangannya’ begitu sang bijak bestari mengatakannya. Perlu pengorbanan yang mesti dipertaruhkan baik tenaga, waktu bahkan materi. Bukan tanpa maksud apa-apa akan tetapi semata-mata demi mewujudkan sebuah tatanan yang sering dikatakan utopia oleh banyak orang, namun setidaknya sudah pernah mengerti dan merasakan apa yang pernah di perjuangkan. Meskipun dapat dikatakan sia-sia namun pada hakikatnya tiada yang sia-sia sama sekali, sebab perjuangan hari ini adalah buah cerita di masa tua nanti dalam menggambarkan sebuah realitas. Sudah barang tentu harapan yang terus tertanam adalah lebih baiknya generasi muda di masa yang akan datang.
Bukan tidak mungkin dalam sebuah siklus waktu akan tiba masanya sebuah generasi yang dapat mendobrak satu sisi dari sekian banyaknya sisi yang bobrok dan munafik. Generasi yang dirindukan saat ini adalah pemuda yang punya sikap terhadap banyak pilihan, yang memiliki empati terhadap sesuatu yang keberlanjutan serta yang dapat mereduksi ego dengan sekuat-kuatnya, demi tercapainya sebuah mimpi. Jika melihat potensi dalam setiap personnya maka rasa optimis akan sebuah perubahan ini muncul dengan sendirinya namun jika melihat batu sandungan yang telah dihadapi maka rasa frustasi tak luput dari ketidakpercayaan akan sebuah perubahan. Terpaan dan goncangan timbul begitu saja dalam mengawal sebuah proses menuju tatanan dunia yang lebih baik, dimulai dari penindasan yang sistemik hingga kebencian yang menjadi semacam pandemik.
Pemuda desa yang merdeka adalah mereka yang bisa memegang kendali atas apa yang terjadi dalam lingkungan sekitarnya, meskipun banyak hambatan serta rintangan namun dengan semangat tanpa pamrih, demi kemaslahatan bersama maka pola altruistik bukanlah menjadi soal ketika melakoninya. Memang kaum tua hanya tinggal menunggu waktu namun bukan berarti berpangku tangan dengan apa yang terjadi. Mendayagunakan potensi serta mengolah skill, dari berpikir, beretorika hingga melakukan aksi nyata dalam melakukan yang terbaik.
Menjadi pemuda juga menjadi diri sendiri, memiliki prinsip yang konkrit serta sikap yang lugas dan tegas, menjadi masyarakat lokal namun berfikir global, bagitu kata Gus Dur dalam selorohannya, kampung bukan berarti kampungan. Jika ruang berfikir memiliki titik kejumudan maka apagunanya anugerah terbesar yang semesta nerikan; akal? Bukan semestinya juga tindakan serta cara berfikir seseorang dibatasi oleh sesuatu, terlebih hal itu merupakan sesuatu yang absah untuk dinalar jauh, mencari solusi atas sebuah persoalan, mencari titik atas apa yang dihadapi, baik personal maupun komunal. Gesekan yang terjadi dalam dinamika masa muda juga merupakan hal lumrah, namun bukan berarti menjadi cela untuk memperlebar jarak antar kaum muda.
Jalan Pintas
Mengenai tataran baru yang hendaknya diusung adalah bagaimana persoalan kaum muda desa membuat sebuah agenda politik dengan para pelaku politik secara langsung, kontrak politik, yang selama ini hanya memenuhi ruang imajiner kaum muda, terlebih ketika menghadapi persoalan yang menyangkut kebijakan strategis. Alam politik desa dengan corak oligarkisnya memang sudah membuat kecewa dari generasi ke generasi berikutnya seolah mata rantai yang sulit terputuskan. Semuanya terkotak-kotak dengan coraknya masing-masing. Oleh sebabnya agenda politik pembebasan dirasa perlu dalam menghadapi persoalan desa yang semakin kompleks. Bagaimana kaum muda mengambil peran serta berperan pada sisi-sisi kebijakan strategis menjadi semacam magnum opus dalam sebuah generasi, hal ini tentu bisa dijadikan suatu komparasi antara kaum muda dan tua yang saat ini mendominasi lini-lini strategis desa namun kental dengan coraknya.
Kontrak politik yang dibuat tidak serta merta mengesampingkan kepentingan-kepentingan masyarakat secara universal, melalui pemberdayaan kaum muda yang mengenyam pendidikan atau pun yang menggunakan pola empirik serta skillnya selama ini dalam menghidupi desa. Bahwa tidak bisa dipungkiri jika mereka yang tidak mengenyam pendidikan lanjutan pun memiliki mimpi yang sama dalam iklim politik desa, terutama sekali menyangkut kebijakan hingga kesejahteraan. Menjadi tua itu pasti namun bukan tua yang menyebalkan.
[1] Douglas Wilson, Ian. Politik Jatah Preman. Hal xi
[2] Anderson, Ben. Revolusi Pemoeda. Hal 22.
[3] Malaka, Tan. Semangat Muda. Hal 123.
[4] Kompas.com dengan judul “Desa: Definisi dan Unsurnya”, https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/09/130000569/desa-definisi-dan-unsurnya. di akses pada hari selasa, 07 Juli 2020. Penulis : Nibras Nada Nailufar Editor : Nibras Nada Nailufar
[5] Fukuyama, Francis. Trust. Hal 118.
[6] Freire, Paulo. Politik Pendidikan. Hal 11.
[7] Bakunin, Mikhail. Tuhan Dan Negara. Hal 09.
[8] Malaka, Tan. Semangat Muda. Hal 86.
[9] Machiavelli, Nicolo. Il Prince. Hal 49.
[10] Pancaniti, Sanghyang Mughni. Perpustakaan-Dua-Kelamin. Hal 165.
[11] Ibid. Hal 160.