Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pencemaran Limbah B3 di Laut Indramayu Masih Misteri

Indramayu, Demokratis

Belajar dari peristiwa besar pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) pada tahun 2008 di laut Pantai Utara Kabupaten Indramayu, belum dijadikan syarat utama oleh semua pihak, khususnya oleh PT Pertamina (Persero) Balongan dengan dinas terkait yang ada di Indramayu, Jawa Barat, untuk mengantisipasi dan menjaga lingkungan laut dan pantai agar pencemaran tidak terulang lagi.

Petaka atau peristiwa kegagalan “floating hose” 150.000 Dead Weight Tonnage (DWT) di perairan Indramayu pada September 2008 sangat membekas di dalam benak masyarakat Indramayu, terutama masyarakat nelayan dan petambak. Akibat ceceran minyak dari PT Pertamina (Persero) Refinery Unit (RU) VI Balongan, yang tersebar sampai pesisir pantai, atas petaka itu tidak ada alasan bagi Pertamina untuk menghindar dari tanggung jawab.

Meskipun biaya penanggulangan yang dimulai dari pembersihan lingkungan, pemberian ganti rugi, sampai dengan proses pemulihan lingkungan yang sangat mahal. Maka, bagi masyarakat Indramayu petaka itu menjadi hikmah dan peluang untuk bersama-sama dengan Pertamina Balongan agar menata kembali lingkungan pantai dan selalu menjaganya agar menjadi lebih baik.

Namun rasanya petaka dan peristiwa di atas hanya menjadi fenomena dan retorika. Faktanya peristiwa pencemaran masih kerap terjadi dan belum lama ini, pada Selasa (19/11), telah kembali terjadi pencemaran limbah B3 di pesisir pantai Kecamatan Balongan dan Indramayu. Dari peristiwa pencemaran itu telah dilakukan peneguran berupa surat (26/11), oleh organisasi Nelayan bernama KONNAN kepada Pertamina, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perikanan dan Kelautan, serta Kuwu (Kepala Desa) Karangsong.

Limbah yang bentuknya gumpalan hitam seperti lumpur itu berbau minyak dan gas yang diduga bahan minyak mentah (crude oil) milik PT Pertamina Balongan. Pada Sabtu (24/10), limbah tersebut masih terlihat dan belum dibersihkan. Lalu pada Jumat (23/10), masyarakat nelayan telah menyerahkan barang bukti limbah kepada Duloh, sebagai Kuwu Desa Karangsong.

Dari berita Demokratis pada Selasa (27/10), belum secara utuh keterangan yang didapat dari pihak dinas yang terkait. Hasil konfirmasi lanjutan pada Rabu (04/11), ternyata peristiwa pencemaran limbah tersebut masih menjadi misteri. Hal itu sesuai jawaban yang diberikan pihak Pertamina Balongan melalui Cecep Supriyatna, selaku Unit Manager Communication/Relations dan Corporate Social Responsibility atau Kepala Hubungan Perusahaan dan Masyarakat (Kahupmas).

Cecep menjelaskan bahwa setelah peristiwa pencemaran terjadi pihaknya secara moral telah melakukan pembersihan limbah yang tercecer, dan telah melakukan tahap penyelidikan atau kontrol terhadap semua instalasi yang di bawah kewenangannya. Khususnya instalasi yang bernama Singgle Point Moring (SPM), yakni instalasi yang memasukan minyak mentah (crude oil) dari kapal tangker melalu pipa sejauh 5 mil (± 8 kilo meter) ke tangki RU VI yang berkapasitas 150.000 DWT. Dan langkah itu tidak ditemukan kebocoran.

Bahwa diketahui bersama, pantai dan laut Indramayu banyak pihak yang menggunakannya. Dan itu bisa turut serta sebagai penyebab pencemaran. Di antaranya, ada Pertamina Unit Explorasi (EP) dan banyak kapal tangker yang berlalu-lintas di sekitar laut Indramayu yang diasumsikan membuang limbah sisa dari hasil bongkar-muatannya ke laut.

Selanjutnya, barang bukti limbah harus dilakukan uji laboratorium untuk mendapatkan kepastian bahwa dari jenis apa dan dari mana sumber limbah B3 tersebut. Secara kewenangan menurut Cecep, itu adalah tugas Dinas Lingkungan Hidup untuk melakukan uji laboratorium dan memberikan sanksi kepada pelaku pencemaran limbah.

Kemudian mengingat biaya uji laboratorium sangat mahal, Pertamina bersedia membantu Dinas Lingkungan Hidup untuk melakukan uji laboratorium. Syaratnya barang bukti limbah B3 harus bersih dari segala kotoran dan minimal sebanyak 2 liter. Demikian terkonfirmasi dari Cecep saat dikunjungi di ruangannya Gedung Wisma Jati, Balongan.

Penjelasan yang didapat dari Lutfi sebagai Kepala Bidang (Kabid) di Dinas Lingkungan Hidup Indramayu, pada Jumat (06/11) mengatakan, persoalan pencemaran lingkungan hidup dari titik nol hingga 12 mil laut, itu kewenangan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat. Sesuai dengan isi Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009. Adapun upaya yang telah dilakukan pihaknya sebagai pemilik wilayah, telah mengirim surat ke Dinas Provinsi dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Adapun untuk pelaksanaan uji laboratorium, tahapan itu diserahkan kepada provinsi dan kementerian. Sebab, diakui proses uji laboratorium berbiaya sangat mahal dan pihaknya tidak memiliki anggaran. Di sisi lain, bila uji laboratorium dilakukan oleh Pertamina Balongan, publik atau masyarakat terdampak mengasumsikan untuk hasilnya tidak independen, sebaiknya uji laboratorium dilakukan oleh Sucopindo.

Mengakhiri keterangannya, Lutfi mengarahkan media ke pihak Syahbandar. Menurutnya, sebaiknya Syahbandar turut aktif tentang kewenangannya melalui data lalu lintas kapal yang memasuki wilayah laut Indramayu pada saat dugaan limbah B3 tersebut mencemari laut. Dan barang bukti berupa limbah ada di pihaknya, sebanyak 70 kilogram.

Pada hari dan tanggal yang sama, penjelasan dari Eko R dan M Rusli sebagai pejabat di Kesyahbandaran Indramayu mengatakan bahwa pencemaran limbah B3 di laut Indramayu belum ditemukan penyebabnya. Namun diakui, pihaknya secara patroli telah melakukan survei bersama masyarakat nelayan, lingkungan hidup, dan pengelola pariwisata.

Adapun soal asumsi bahwa penyebab pencemaran limbah B3 tersebut, bersumber dari kapal yang melintas telah membuang limbahnya ke laut. Maka harus dilakukan secara teknik perangkat citra satelit. Dan itu pun membutuhkan waktu yang cukup lama dan dengan biaya yang cukup fantastis, yang ujung-ujungnya terbentur faktor anggaran.

Dan perlu diketahui, bila menahan kapal harus ada izin atau perintah dari pengadilan. Dijelaskan untuk melaksanakan Tupoksinya, pihaknya memakai rumus T1, T2 dan T3 berdasarkan UU Nomor 58 Tahun 2013 dan Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Darurat Pencemaran di Laut.

Berdasarkan hasil asumsi dan pengalaman sebagai nelayan bahwa pencemaran limbah B3 yang tercecer di sekitar pesisir pantai dan yang masuk ke tambak diduga titik pencemarannya tidak lebih jauh dari 5 mil laut. Sebab, bila titik spot pencemaran limbah B3 berjarak lebih dari 12 mil laut, maka berdasarkan tekanan arus laut, limbah tersebut tidak mungkin terdampar ke pesisir dan tambak.

Namun tumpahan atau pencemaran limbah yang berjarak lebih 12 mil laut dari pantai. Maka limbah tersebut akan tetap di laut dan habis terdampar di pesisir pulau dan tersangkut di setiap kapal yang melintas atau pada jaring para nelayan. Demikian menurut nelayan yang bernaung organisasi KONNAN. (S Tarigan/RT)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles