Jakarta, Demokratis
Program Guru Penggerak yang diinisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) adalah untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang mewujudkan pembelajaran berfokus pada para murid. Namun, ada diskriminasi dalam program ini.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan bahwa dalam program ini, para pendamping, fasilitator dan asesor tidak dapat menjadi kepala sekolah ataupun pengawas sekolah. “Ada yang sebagai fasilitator guru penggerak, ada yang menjadi pendamping guru penggerak dan asesor, ternyata tidak boleh sebagai kepala sekolah, karena syaratnya harus Guru Penggerak. Ini kami lihat tidak sinkron,” ungkap dia dalam siaran YouTube dalam Vox Populi Institut Indonesia, Senin (25/10/2021).
Padahal, mereka lah yang membimbing, melatih dan mengevaluasi para calon Guru Penggerak. Tentu saja menurutnya ini kebijakan ini tidak adil bagi mereka yang sudah berkontribusi.
“Eh ternyata syarat pengawas sekolah dan kepala sekolah 2022 nanti itu Guru Penggerak. Nggak adil kan. Bahkan, kalau kita lihat dari struktur, lebih pandai mereka dong ketimbang Guru Penggerak karena mereka mengajar kan,” ujar dia.
Akan tetapi, kenapa mereka tidak masuk ke dalam syarat menjadi kepala sekolah. Padahal mereka notabene merupakan guru-guru berprestasi dari sekolahnya masing-masing, sehingga mereka melamar sebagai pendamping, asesor dan fasilitator.
“Tapi mereka tidak diperkenankan mengajukan diri sebagai kepala sekolah dan pengawas sekolah. Alasan kepala dinas itu surat dari LPPKS (Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) dan Dirjen GTK. Itu alasan tidak bisa jadi kepala sekolah,” pungkas dia. (Djoni)