Jakarta, Demokratis
Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Syaiful Huda menganggap sistem pengawasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait penerbitan buku lembah.
“Kemendikbud itu punya Sistem Informasi Perbukuan Indonesia yang harusnya mengawasi aktivitas penerbitan di lingkungan sekolah termasuk buku ajar. Harusnya hal itu dimaksimalkan sehingga buku-buku ajar yang beredar di sekolah tidak lagi memuat hal-hal kontroversial seperti masuknya tautan pornografi pada buku pelajaran yang bisa memberikan dampak negatif kepada peserta didik,” ujar Huda dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (12/2/2021).
Ia berujar, masuknya link porno ke buku Sosiologi SMA di Jawa Barat bukanlah kasus pertama pemuatan hal terlarang ke buku ajar siswa di tanah air.
Pada tahun 2014, muncul pemberitaan tentang Buku Pendidikan Jasmani untuk kelas XI yang mengajarkan tentang cara dan gaya berpacaran. Tema bab tersebut adalah “Memahami Dampak Seks Bebas”. Dijelaskan pula tentang gaya pacaran yang sehat yaitu sehat fisik, sehat emosional, sehat sosial dan sehat seksual.
“Selain itu pernah juga muncul hal kontroversial di buku ajar Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas XI SMA di mana ditemukan muatan yang membolehkan membunuh orang musyrik,” kata dia.
Selain banyak muncul hal kontroversial di buku ajar, kata Huda, banyak hal berbau politis yang masuk ke soal-soal ujian di sekolah.
Kasus terbaru adalah munculnya nama Ganjar yang identik dengan nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di dalam soal buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti terbitan PT Tiga Serangkai tahun 2020.
Dalam buku itu ada soal yang menggambarkan Ganjar tidak pernah bersyukur, setiap Idul Adha tidak pernah berkurban dan tidak pernah shalat.
“Sebelumnya juga muncul nama Megawati dan Anies dengan framing menyudutkan satu pihak dalam soal ujian bagi siswa di DKI Jakarta,” tuturnya.
Adanya fakta-fakta tersebut, lanjutnya, menunjukkan memang ada kelemahan pengawasan terkait penerbitan buku ajar maupun soal ujian bagi peserta didik di Indonesia.
Kondisi tersebut harusnya menjadi fokus bagi Kemendikbud untuk memperbaikinya ke depan. Koordinasi dengan Dinas Pendidikan, Forum Guru Bidang Studi, hingga penerbitan harus dilakukan sebelum satu buku ajar atau soal ujian dirilis ke peserta didik.
“Tentu hal itu berat dilakukan, namun dengan digitalisasi pengawasan dan layanan hal itu akan bisa dilakukan ke depan. Selain itu peningkatan kapasitas tenaga kependidikan sebagai salah satu sumber penulisan harus juga dilakukan sehingga mereka bisa meletakkan cara pandang mereka sebagai pendidik bukan sebagai individu yang punya afiliasi politik atau ideologi,” pungkasnya. (Ic/Dem)