Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pengelolaan Keuangan Desa Kediri Terkesan Semrawut dan Beraroma KKN

Subang, Demokratis

Harapan pemerintah pusat untuk memacu kesejahteraan rakyat lewat agenda Nawa Cita dengan membangun negeri ini dari pinggiran, memperkuat daerah-daerah dan desa, sepertinya kurang mendapat respon dari sebagian pemerintah desa.

Sementara dana miliaran rupiah yang digelontorkan ke desa secara tunai dari pemerintah atasnya  oleh kepala desa dilaksanakan terkesan hanya sebatas menggugurkan kewajiban, bahkan lebih memprihatinkan sebagian dananya diduga dijadikan ajang bancakan.

Tak peduli apakah hasil (output) dan manfaatnya (outcome) betul-betul dapat dirasakan masyarakat, yang terpenting dana tersebut bisa diserap, sementara sisanya raib entah hinggap di mana.

Padahal Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati dalam suatu postingan ber-tagline mewanti-wanti agar dana dari Pemerintah Pusat untuk membangun desa tidak disalahgunakan. “Saya titip anggaran itu bukan untuk kepala desa, tapi untuk rakyat di desa,” tandasnya.

Tudingan miring kesemerawutan pengelolaan keuangan desa seperti dialamatkan ke Pemdes Kediri, Kecamatan Binong, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan hasil investigasi dan keterangan berbagai sumber yang berhasil dihimpun menyebutkan, Pemdes Kediri dituding mengangkangi regulasi dan menyelewengkan anggaran  desa (baca: keuangan desa) sehingga berpotensi merugikan keuangan negara/desa hingga ratusan juta rupiah.

Kades selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa (PKPKD) ditengarai tidak mempedomani Perbup Nomor 44/2019 Jo Pasal 52 ayat (2) yang mengatur jumlah uang tunai di brankas (bendahara desa) maksimal sebesar Rp 5 juta.

Begitu pula buku-buku administrasi desa tidak dikerjakan secara benar, seperti  Buku Kas Umum (BKU), Buku Kas Pembantu (BKP) dan Buku Bank Desa. Hal ini dianggap mengangkangi Permendagri Nomor 47 Tahun 2016 tentang Administrasi Pemerintahan Desa.

“Padahal buku-buku itu sebagai sarana evaluasi, monitoring dan pengendalian transaksi keuangan desa,” ujar sumber.

Hal ini menunjukkan pengelolaan keuangan desa semerawut dan menjadi indikator bila buruknya tata kelola keuangan desa tak terbantahkan.

Tak hanya itu, keberadaan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) setempat konon kurang diberdayakan. Ironisnya Kades Kediri Ny Suhaenah disebut-sebut malah berkolaborasi secara personal dengan salah seorang anggota LPMD berinisial Id yang ditugasi menghandel semua urusan berkaitan keuangan desa dan kegiatan pembangunan, sehingga terkesan one man show.

“Eksesnya berdampak proses managemen pengelolaan keuangan desa dan pemberdayaan masyarakat desa kurang berdaya dan berhasil guna,” ujar sumber.

Sementara Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) yang telah dibentuk dimana personalianya terdiri dari perangkat desa (unsur kewilayahan), lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat, terkesan dimandulkan, eksesnya berdampak terhadap misi program terkait pembedayaan masyarakat menjadi terhambat.

Adapun modus operandi penjarahan anggaran desa (baca: kegiatan fisik) dengan cara mengurangi volume fisik, pengadaan material tidak sesuai spek teknis dan RAB, markup upah tenaga kerja (HOK). Selain itu adanya joki pembuatan SPJ dan SPJ fiktif serta administrasi bodong (aspal-Red) sehingga dianggap telah melakukan pembohongan publik dan terancam dipidana.

Sebagai testimoni adanya dugaan penyelewengan keuangan desa di antaranya bersumber dari (1). Dana Desa (DD) untuk pembangunan jalan rigid sepanjang lebih kurang180 M, lebar 4 M, tinggi 15-17 cm, lokasi RT 10A, 10B, pagu anggaran Rp 250 juta direalisasi kisaran Rp 170-180 jutaan saja; Biaya peruntukan BOP penanganan Covid-19, padat karya tunai, rumah isolasi tidak direalisasi sepenuhnya; (2). ADD, Pemotongan Siltap sebesar Rp 57.000/RT, Rp 250.000/RW,  pembayaran Siltap Kades; (3). PAD hasil penyewaan tanah kas desa (baca: tanah bengkok) TA 2019 Rp 50 jutaan dan TA 2020 Rp 180 jutaan realisasinya bias, Perdes sewa-menyewa tanah kas desa tidak dibuat; (4). Banprov peruntukan non fisik (a). Uang pulsa kuota internet Rp 600 ribu/RW (b). TPAPD sebesar Rp 15 jutaan (c). Operasional Posyandu Rp 1.750 ribu/bh (d). Pokjanal desa Rp 1 juta, tidak direalisasi sepenuhnya.

Pembangunan jalan gang (rigid) bersumber Dana Desa (DD), berlokasi di RT 10A dan 10B Kampung Krajan, Desa Kediri. Foto-foto: Demokratis/Abdulah

“Tahun anggaran kemarin saja uang pulsa kuota internet hanya direalisasi Rp 50 ribu/RW dari semestinya Rp 300 ribu/RW,” tutur sumber.

Kades Kediri Ny Suhaenah saat dikonfirmasi di ruang kerjanya (9/8) tidak seluruhnya membantah atas tuduhan itu, seperti pengambilan uang di bank diakuinya tidak berdasarkan Rencana Penggunaan Dana (RPD). Dia beralasan merasa riskan jika sering mengambil uang ke bank, apalagi jika menggunakan mobil berlogo desa khawatir menjadi incaran penjahat. Sementara Siltap bersumber ADD dirinya mengakui tapi jika benar itu menyalahi aturan dirinya siap akan mengembalikannya.

Ihwal penggunaan PAD dari sewa tanah kas desa itu realisasinya kebanyakan untuk honor perangkat desa tapi tidak diterangkan peruntukan lainnya. ”Sementara pos-pos lain sudah direalisasikan sesuai peruntukannya seperti terurai dalam Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes),” ujar Kades seperti tanpa beban.

Namun menurut sumber terkait pos biaya pembangunan jalan rigid di RT 10A,10B bersumber DD dari pagu Rp 250 juta hanya direalisasi Rp 170 jutaan. “Sisanya dialokasikan fee pengurus BPD, perangkat desa, RT/RW, angpau (bingkisan) LSM, wartawan dll,” ujar sumber menirukan Kades.

“Sementara keberadaan LPMD, saya perhatikan berjalan sesuai Tupoksinya,” tandas Kades.

Untuk mendukung pernyataan Kades, awak media minta dilengkapi data/penjelasan tertulis via surat No 18/DMK/Biro-Sbg/VIII/2020, berkaitan data APBDes, RKPDes, BLT DD, PKT, BOP penanganan Covid-19 dan rumah isolasi, namun ketika sesuai waktu yang dijanjikan, Kades tidak bersedia memenuhi/menjawab permohonan Demokratis.

Pemdes Kediri melalui Sekdes Aep berdalih karena dicegah oleh Sekmat Binong Toha. “Jika nanti Demokratis meminta data jangan dipenuhi, suruh wartawannya menemui saya,” ujar Aep menirukan Toha.

Secara terpisah Sekmat Binong Toha saat dikonfirmasi awak media via telepon selulernya (14/8) mengelak bila dirinya mencegah desa untuk tidak memenuhi permohonan Demokratis.

Toha mengatakan bila Demokratis membutuhkan data dari Pemdes Kediri, Demokratis terlebih dahulu harus konfirmasi ke BPD setempat dengan menyampaikan maksud dan tujuan penggunaan data, setelah dibahas kemudian BPD merekomendasi kepada Pemdes, baru Pemdes memberikan jawaban karena permintaan wartawan posisinya sebagai Wasmas, jadi teknisnya begitu.

”Sekali lagi saya tidak mencegah, tapi hanya menjelaskan teknis bagaimana Pemdes memberikan layanan informasi,” ujarnya berkilah.

Aktivis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi–RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang melalui Kepala Devisi Pengaduan Masyarakat Yudi Prayoga Tisnaya saat dimintai tanggapan di kantornya, Sekretariat BTN Puskopad Sukajaya Blok A81 Kelurahan Cigadung (15/8) menilai permohonan informasi yang diminta wartawan  bukan informasi yang dikecualikan (rahasia), di lain pihak Pemdes Kediri (baca: badan publik) tidak memenuhinya maka terancam dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000 (lima juta rupiah).

Hal itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 52 UU Nomor 14/2008 tentang KIP yang berbunyi: ”Badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan dan/atau tidak menerbitkan informasi publik berupa informasi publik secara berkala, informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta, informasi publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan undang-undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000 (lima juta rupiah)”.

Sementara bila benar Sekmat Binong Toha memberikan arahan kepada Pemdes Kediri seperti diterangkan Kades melalui Sekdes Aep, itu bisa dianggap menghalang-halangi tugas wartawan dan terancam dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Adapun penjelasan yang disampaikan Toha saat dikonfirmasi wartawan terkait layanan informasi dinilai menyesatkan dan mengada-ada, lantaran tak ada satu pasal pun yang mengatur layanan informasi seperti dijelaskan Toha, baik di UU KIP maupun peraturan pelaksanaannya (PP Nomor 61/2010, Permendagri Nomor 35/2010 atau Perbup Nomor 16/2014).

Mencermati adanya dugaan korupsi di tubuh Pemdes Kediri, GNPK-RI Subang mendesak aparat pengawas seperti Irda dan Aparat Penegak Hukum (APH) bergerak cepat untuk menyelediki kasus pelanggaran hukum ini.

“Jerat oknum pelakunya hingga bisa diseret ke meja hijau. Tidak usah menunggu laporan pengaduan, karena kasus ini merupakan peristiwa hukum,” tegas Yudi.

Pihaknya berjanji akan menelusuri dan menghubungi pihak terkait dalam penghimpunan data dan akan membawa kasus ini ke ranah hukum bila nanti sudah mendapati fakta yuridisnya secara lengkap. (Abh/Esuh)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles