Subang, Demokratis
Maraknya penjualan buku Lembar Kerja Siswa (LKS) di sejumlah SD dan SMP di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Subang, prov.Jawa Barat belakangan menjadi sorotan sejumlah pihak dan pemerhati pendidikan.
Aktifitas dugaan penjualan puluhan ribu buku LKS di sekolah sangat meresahkan dan memberatkan orang tua siswa, sementara LKS itu tidak serta merta dapat menunjang prestasi belajar siswa.
Sebagai testimoni, jual beli buku LKS itu marak terjadi nyaris di seluruh SDN di wilayah kec. Jalancagak, kec.Pamanukan, kec. Binong, SMPN-2 Pusakanagara, SMPN-4 Pabuaran, SMPN-I Dawuan.
Diketahui Buku LKS yang diperjualbelikan di SDN wilayah kecamatan tersebut diantaranya diproduksi oleh CV SA yang berdomisili di Sukoharjo-Jateng. Sementara pihakdistributor memberikan modal ke Kepala Sekolah (Kepsek) Rp.10.000,-per buku, dan Kepsek menjual ke siswa dibandrol seharga Rp.15.000,- per buku.
Temuan itu seperti dirilis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi-RI (GNPK-RI) kab.Subang yang sampai di meja Redaksi SKU Demokratis Biro Subang.
Menurut pentolan GNPK-RI kab.Subang Adang Sutisna, B.BA memaparkan bila Kemendikbud telah menerbitkan regulasi baru tentang pengadaan buku pelajaran yang direkomendasikan bagi sekolah. Sedangkan penggunaan lembar Kerja Siswa (LKS) tidak diperbolehkan lagi seperti tertuang di Permendikbud No.8 tahun 2016.
“ LKS tidak diperlukan lagi, karena seharusnya latihan-latihan itu dibuat sendiri oleh guru. Sebab dalam kurikulum baru tidak ada lagi LKS. Kalau ada, itu kesalahan dan harus dihentikan. Penggunaan buku LKS tentu akan mengubah filosofi cara belajar siswa aktif menjadi pasif, sehingga sistim pembelajaran yang harusnya mengutamakan diskusi antar guru dan teman di kelas tidak berjalan dengan baik,” ujar Adang.
Masih kata Adang jual beli buku LKS di lingkungan sekolah itu dilarang, sesuai PP No.17 tahun 2010, tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dimana Psl 181 disebutkan “Pendidik dan tenaga kependidikan baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, dan pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan.
“ Yang diperbolehkan adalah LKS itu dibuat oleh guru atau melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) terkait untuk tingkat SLTP dan Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk SD. Kemudian dalam regulasinya dana BOS juga dapat dimanfaatkan untuk membuat LKS guna menunjang aktivitas belajar siswa, sehingga siswa sama sekali tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun terkait LKS itu,” tandasnya.
Larangan jual beli LKS itu juga mengacu pada Permendiknas No.2 tahun 2008, tentang Buku Jo Psl 11, Permendikbud RI No.75 tahun 2016, tentang Komite Sekolah Jo Psl 198 sangat jelas melarang buku LKS, sehingga tidak ada alasan bagi sekolah untuk menggunakan buku LKS serta SE No.303/420.DP/TK.SD/2012 terkait larangan pungutan dan penjualan LKS, ditegaskan bahwa guru tidak dibenarkan memperjualbelikan serta tidak menjadikan LKS sebagai materi utama dalam pembelajaran dan bahan pekerjaan rumah (PR) siswa.
Larangan itu tak hanya berhenti pada guru, karyawan dan komiye sekolah, tetapi berlaku juga bagi koperasi yang berada di lingkungan sekolah. Kecuali jika koperasi itu memang dikelola secara independen atau tanpa ada keterlibatan guru, karyawan dan komite sekolah. Itupun, harus disertakan keterangan bahwa siswa tidak diwajibkan untuk membeli.
Siapakah yang menikmati keuntungan haram dari bisnis ilegal ini? sejumlah sumber yang mengetahui seluk beluk hal ini, kepada awak media membeberkan biasanya setiap awal tahun ajaran baru atau awal semester seluruh wali kelas mewanti-wanti kepada para siswa masing-masing agar memberitahu para orang tuanya untuk menyediakan uang secukupnya untuk belanja buku LKS dari penerbit tertentu yang telah disediakan sekolah.
Di pihak lain ada sekumpulan “ Predator” yang memanfaatkan momentum ini untuk mencari mangsanya. Siapa saja mereka ini? Ada pihak distributor yang bersimbiosis mutualisme dengan oknum Kepala Sekolah dan guru lainnya. Distributor sebagai kaki tangan penerbit dengan piawai mendekati Kepala Sekolah, menawarkan sejumlah fee dan potongan rabat atau yang sering dilakukan dengan menentukan harga modal. Kepala Sekolah dengan kewenangannya melakukan kalkulasi dan melihat ada sejumlah keuntungan dari modus bisnis haram ini dengan senang hati menjadikan sekolahnya sebagai “ Toko Bukunya” para distributor.
Sungguh ironi memang, kaum intelektual yang lazim disebut pahlawan tanpa tanda jasa itu harus rela menggandaikan harga dirinya dan mengesampingkan hati nuraninya demi seonggok “Fulus”.
Masih kata sumber praktik jual beli seragam, buku pelajaran dan LKS yang dilakukan pihak sekolah merupakan tindakan mal administrasi, sebuah pelanggaran administrasi. Hingga bisa dikatakan sebagai tindakan pungutan liar (pungli),yang patut dikenai sanksi bagi pelakunya sesuai PP Nomor 52 tahun 2010 tentang Displin PNS.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab.Subang Tatang Komara, S.Pd.M.Si ketika dikonfirmasi melalui WhatsApp (6/2) Pkl.14.00 WIB terkesan terperanjat, dimana locusnya, siapa pelakunya, seperti apa bentuk kerjasamanya antara distributor dan Kepsek. Ujarnya bertanya.
Setelah diinformasikan awak media, pihaknya berjanji akan mengecek terlebih dulu di locus kejadian. “ Disana banyak kawan-kawan saya, nanti akan dilakukan monitoring dan pengecekan di sekolah yang diduga melakukan pelanggaran Permendiknas dimaksud. Apabila benar diketemukan pelanggaran, segera akan diberikan sanksi sesuai ketentuan berlaku,” tandasnya. (Abh/Esuh)