Jika kita melakukan pembacaan dan rujukannya kepada yang namanya SKL BLI (Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuidasi Bank Indonesia), tentu hak tagih negara kepada obligor Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dan atau BDNI adalah sudah tidak bisa lagi. Negara tidak punya hak tagih. Mengapa demikian? Ada tiga alasan pokok, yaitu, pertama, karena Kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) Syafruddin Arsyad Tumenggung telah mengeluarkan SKL BLI, yang berarti dalam akun piutang pada neraca BPPN dan atau Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 4,58 triliun sudah didelet, karena telah dilunasi atau telah dibayar dengan lunas atas kewajiban hutangnya pada negara. BPPN dan BI sebagai representasi negara secara de jure dan de facto telah menetapkan kebijakan untuk penghapusan piutang BDNI. Sesungguhnya tidak benar dengan pengertian tersebut, salah kaprah.
Jika dikatakan penghapusan piutang, akun penghapusan piutang berasal dari akun cadangan piutang tak tertagih (piutang ragu-ragu) dan kemudian menjadi piutang tak tertagih dan diputuskan tidak bisa tertagih lagi dan atau sudah tidak mungkin bisa tertagih lagi, maka muncul akun penghapusan piutang (tak tertagih). Yang berarti negara menderita kerugian dan atau hak tagihnya telah tiada.
Dengan diterbitkannya SKL BLBI tersebut, berarti negara telah menghapus akun piutang atas nama Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sebagai obligor dan atau sebagai kewajiban BDNI. Akun piutang BDNI sudah tidak ada pada BPPN maupun BI, karena telah dilakukan kebijakan penghapusan piutang, sekalipun nyata-nyata menurut hasil audit investigatif BPK ditemukan penyelewengan dana BLBI yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.
Kedua, karena adanya putusan kasasi MA atas Syafruddin Arsyad Tumenggung yang onslag van alle rechtsvervolging. Yang kemudian ditafsirkan oleh KPK sebagai rangkaian melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama tidak terbukti. Diartikan dan atau dimaknai oleh KPK, bersama itu dengan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalaim pemilik BDNI, sebagai argumentasi yuridisnya atas terbitnya SP3 KPK.
Yang ketiga, jika negara masih mempunyai hak tagih atas obligor Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dan atau BDNI, maka harus dibuktikan kebenarannya, apakah SKL BLBI itu terbit setelah adanya hasil audit investigatif BPK? Jika seperti itu, berarti SKL BLBI harus dianggap benar. Maka, negara kehilangan hak tagihnya. Tetapi, jika SKL BLBI itu terbit sebelum BPK melakukan audit investigatif, maka SKL BLBI harus dianggap tidak benar, rekayasa dan atau manipulatif untuk mengelabui pembuktian formil secara hukum. Bukti formil atau bukti eksternal yang dipakai BDNI berupa SKL BLBI dan atau bukti oleh BPPN dan atau BI, secara akunting belum bisa dikatakan itu benar adanya.
Oleh sebab itu, jika negara tidak mau kehilangan hak tagihnya kepada obligor Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dan atau BDNI, maka negara tidak bisa melakukan pembuktiannya menggunakan hukum formil pidana. Artinya, karena sudah ada bukti formil hitam putih berupa SKL BLBI di atas kertas BPPN lengkap dengan logonya.
Tidak bisa juga pembuktian kebenarannya dari hukum administrasi negara, karena sudah diterbitkan SKL BLBI, dan juga tidak bisa pembuktiannya bersandar pada hukum perdata, karena sudah dilakukan penghapusan piutang dengan bukti terbitnya SKL BLBI.
Negara harus menguji pembuktian atas kebenarannya dengan hukum akunting dan atau dengan perlakuan akunting mengenai SKL BLBI itu sendiri untuk menjawab SKL BLBI, karena SKL BLBI sebagai dasar untuk bisa telah dilakukannya penghapusan catatan piutang obligor Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dan atau BDNI oleh BPPN dan atau BI.
SKL (Surat Keterangan Lunas) berbeda pengertian dan maknanya dengan penghapusan piutang. SKL BLBI berarti obligor Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dan atau BDNI telah benar-benar dan atau nyata-nyata telah melunasi atau membayar tagihan negara atas BLBI kepada BPPN atau BI. Pengertian penghapusan piutang berarti BPPN telah melakukan kebijakan dengan dasar tagihan negara kepada obligor nyata-nyata tidak akan bisa ditagih lagi. Jadi BPPN dan atau negara telah mengambil kebijakan dengan menghapus tagihannya kepada obligor, dalam hal ini tagihannya kepada BDNI, sehingga akan terbaca atau muncul penghapusan piutang pada piutang BDNI.
Dalam Keppres, berupa upaya hukum dan/atau upaya lainnya di dalam atau di luar negeri, baik terhadap debitur, obligor, pemilik perusahaan serta ahli warisnya maupun pihak-pihak lain yang bekerja sama dengannya, maka obligor-obligor atau debitur-debitur yang kabur ke luar negeri dan atau yang masih ada di negeri ini, jika mereka tidak mau menyelesaikan hutangnya kepada negara atas dana talangan BLBI tersebut, maka tindakan negara yang paling efektif dan efisien adalah menggunakan hukum sita jaminan asset dan hak lelang negara atas aset yang dimilikinya, apakah asetnya ada di dalam negari atau di luar negeri. Itu soal teknis adaminitratif semata. Jika ternyata aset di dalam negeri, tetapi jika aset mereka sudah tidak ada, tetapi di luar negeri masih ada, maka tindakan tersebut tetap bisa dilakukan atas haknya. Negara harus bisa memaksa penyerahan hak aset.
Misalnya, Sjamsul Nursalin dan Itjih Nursalim, tidak bisa diadili, tetapi aset di dalam negerinya masih ada dan lebih dari cukup untuk menyelesaikan kewajiban hutangnya atas catatan piutang negara yang harus diselesaikan sebesar Rp 4,58 triliun, jika SKL BLBI yang diterbitkan BPPN cacat hukum dan atau batal demi hukum. Pemilik BDNI memiliki kekayaan pada tahun 2020 sebesar 775 juta dollar AS atau setara Rp 11,25 triliun dengan kurs Rp 14.525.00 (Kompas.com, Jum’at, 2/4/2021.00.00 WIB). Begitu juga untuk menyelesaikan obligor atau debitur nakal lainnya.
Tentu, jika negara tidak menggunakan cara pandang dan tafsir hukum perdata, karena dalam hal hutang piutang, tidak bisa memaksa harus klir. Artinya, penyelesaian kewajibannya menurut kesanggupan membayar hutang, boleh diselesaikan secara bertahap atau dicicil (angsur) sesuai kemampuannya. Celah ini yang bisa dipakai oleh para obligor atau debitur nakal, tetapi, negara seharusnya bisa mengabaikan asas hukum perdata, denga mendasarkan pada argumentasi pokok hukum lainnya untuk kepastian hukum dan keadilan hukum itu sendiri. Yang paling efektif adalah dengan proses hukum tindak pidana korupsi, di mana putusan Majelis Hakim dalam amar putusannya adalah dengan menyatakan secara tegas sebagai putusan “serta merta mengembalikan aset senilai kerugian uang negara” dalam penjatuhan vonis.