Beda Pandangan
Jika negara dengan pemerintah (yang direpresentasikan oleh aparat penegak hukum; penyidik, penuntut/JPU dan majelis hakim) beda pandangan atas kebenaran dan keadilan baik memahami dan atau memaknai atas kebenaran dan keadilan formil maupun atas kebenaran dan keadilan material, akan menjadi sulit untuk bisa menyelesaikan dana BLBI yang amblas atau hilang dan atau negara akan tetap kehilangan hak tagihnya atas dana talangan BLBI kepada obligor atau debitur.
Negara berpandangan dalam melindungi segenap tumpah darah secara kontitusional adalah bahwa hukum keputusannya haruslah berketuhan, karena Tuhan tak pernah berbohong atau berdusta. Hukum haruslah melahirkan kemanusiaan yang beradab, bukan berasas hasrat kekuasaan. Hukum haruslah tidak melahirkan keakraban antarwarga negara-pinjam istilah Rocky Gerung, dan tidak melahirkan ketidakterbelahan warga bangsa, agar dendam dan kebencian tidak bersayam dalam jiwa dan pandangannya, karena menyingkirkan kemanusiaan, keberadaban dan keadilan sebagaimana mestinya. Hukum haruslah melahirkan kesamaan martabat untuk tidak melukai keakraban antarwarga bangsa. Hukum haruslah melahirkan keadilan sosial bagi segenap tumpah darah. Hukum dan kepastian hukum haruslah tidak melahirkan kecemburuan sosial dan dan kesumat, karena logika dan akal waras bisa merasionalisasikan keputusan dari produk kepastian hukum yang digelar di meja hijau, bukan di papan rolet perjudian.
Negara dalam pendangan hukum tidak mengacu dan atau tidak atas kehendak kekuasaan. pandangan negara atas hukum tidak didasarkan pada keyakinan atas dirinya yang berselimut subyektivitas, ketidakjujuran dan ketidakyakinannya pada kebenaran itu sendiri. Tetapi, keyakinan atas dirinya yang tidak bisa dipengaruhi atau yang disebut indepensi, maka berdasarkan keniscayaan kebenaran yang nyata-nyata menjadi bahan pertimbangan logika dan akal waras. Bukan berdasarkan pandangan kiri kanan, depan belakang dan atas bawah.
Pandangan negara tersebut, ternyata acapkali berbeda dengan pemerintah atas penegakkan hukum yang terjadi di negeri ini. Kita kerap kali dipertontonkan pengertian hukum dan hakiki hukum menurut pandangan negara dengan pemerintah bagaikan langit dengan bumi. Kita terkadang tercengang, tapi juga menjadi lucu bahkan bagaikan sebuah lelucon. Misalnya, kita bisa melihat mulai dari pandangan yang seringkali berbeda bagi APH itu sendiri dan atau sesama APH sendiri. Jika berbeda pandangan, tafsir dan pemaknaannya dengan publik, menjadi hal yang logis, memang biasanya juga beda pandangannya sangat kontras, seperti kita berada dalam gelap dan terang.
Hal seperti itu bisa kita lihat sebagai tontonan seperti pada saat penjeratan pasal-pasal dalam satu hal perkara yang sama, yaitu mengenai apa itu kerugian negara atau perekonomian negara, apa itu sistemik, terstruktur atau tidak untuk masuk dalam definisi melakukan tindakan bersama-sama, bukan tindakan perbuatan hukum secara tunggal. Bagaimana korupsi itu bisa terjadi? Bagaimana dan sejauhmana multiplier efek ekonomi dari kerugian negara tersebut? Siapa saja yang menikmatinya dan siapa saja yang disengsarakannya atau yang menderita atau menjadi persoalan dan implikasi sosial atas korupsi tersebut?
Pada tingkat penuntutan, kita bisa lihat pandangan negara berbeda dengan pemerintah yang direpresentasikan pandangannya oleh para penegak hukum dalam penuntutan yang dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum), mulai dari penuntutan yang rendah atau sangat ringan (jika dibandingkan dengan pencuri ayam yang seharga lima puluh ribu rupiah atau nenek yang dinyatakan mencuri buah randu atau kakek yang dianggap mencuri kayu bakar yang ia rasa miliknya sendiri), sedang dan berat.
Bayangkan korupsi uang miliaran, di atas Rp 5 miliaran ternyata hanya dituntut 18 bulan, tidak harus mengembalikan uang negara yang ditelannya. Ada yang berpuluh-puluh miliar korupsinya, padahal itu yang cuma terkuak OTT KPK misalnya, Â dan atau dari hasil proses di luar OTT, ternyata hanya dituntut, dua tahun atau empat tahun saja dan denda yang dikenakan pun ringan dan atau subsidernya juga ringan. Atau disesuaikan untuk memenuhi pasal yang paling minimal tuntutan dan atau paling sedikit (ringan) atas hukumannya.
Pandangan JPU sangat berbeda dengan pandangan dan prinsip negara sebagai negara hukum. Persoalan tersebut terus berlanjut di tangan para hakim (majelis hakim) di meja hijau sebagai pemutus kebenaran dan keadilan hukum, seringkali meja hijaunya menjadi abu-abu, kehitam-hitaman dan bahkan menjadi meja hitam dan benar-benar menjadi sangat hitam.
Mulai dari tuntutan ringan, sedang dan berat, karena berbeda pandangan dan atas nama berdasarkan keyakinannya sendiri, ada yang pada tingkat pertama dengan keputusan hukumnya onslag van alle rechtsvervolging, ada yang ringan dan ada yang sedang-sedang saja. Kebenaran dan keadilannya tidak bisa dirasionalisasikan logika dan akal waras. Perasaan majelis hakimlah yang menentukan itu semua hingga sampai pada paling tinggi secara konsitusional, yaitu PK, apakah proses hukumnya tersebut dibalut kekotoran atau tidak, menjadi tidak penting. Pokoknya final dan mengikat, mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pada tingkat banding pun juga serupa, untuk kebulatan pandangan dan tafsir menjadi sangat sulit. Pada puncaknya, di tingkat kasasi dan PK juga sama, dissenting opinion dalam pengertian yang lebih luas. Pada putusan kasasi pada umumnya tidak bertambah, hanya menguatkan putusan pada tingkat banding atau pertama. Bahkan dalam satu gedung pun bisa menghasilkan produk hukum yang berbeda-beda pula. Jika menjadi riuh, kemudian cukup dengan pernyataan publik, semoga preseden buruk itu tidak terulang lagi. Misalnya, pada tingkat kasasi diputus sekian tahun, lantas naik ke PK, hukumannya bisa berkurang atau bisa bertambah (sangat jarang sekali terjadi). Pada PK yang kedua kemudian diperingan lagi, sangat sedikit pada tingkat PK hukumannya diperberat, kecuali dalam catatan sejarah hukum di negeri ini ketika di MA masih hidup Artidjo Alkostar. Bahkan ketika Artidjo Alkostar pensiun, para koruptor kelas hiu dan paus berbondong-bondong mengajukan PK. Ada apa tentunya?
Dalam gedung MA dan MK pun ada fakta data statistik terjaring OTT baik langsung mapun tidak langsung; dari hasil pengembangan penyidikan perkara. Bahkan dalam statistik ada kecenderungan naik. Artinya, bukan tidak ada yang kemudian diperberat hukumannya mulai dari tingkat pertama ke kedua, tingkat banding ke tingkat kasasi, dari kasasi ke PK dan dari PK ke PK. Ada tapi secara statistik tidak bisa merepresentasikan sebagai pandangan dan prinsip negara dalam pemaknaan hukum, kebenaran dan keadilan itu sendiri.
Maka kemudian kita kenal, wah JPU-nya sadis, lho! Wah majelis hakimnya malaikat, lho! Akan tetapi yang sangat terkenal dan kita kenalnya adalah wah JPU-nya kerupuk, dan wah gawat bin celaka, karena majelis hakimnya seperti aspal jalanan yang lumer di bawah terik matahari dan atau aspalnya tersingkap, mengelupas berantakan tersapu hujan semalam. Begitulah, wajah hukum  di negeri ini, dan begitulah potret APH kita untuk sementara ini yang menjadi ingatan kolektif masyarakat, sekalipun kemudian pasti disoal dan dibantah, masyarakat yang mana? Berapologi dengan menjungkirbalikan logika dan akal waras. Kata jamak untuk mengidentifikasi sosial akan diserang dan dikeroyok oleh para penghamba kekuasaan, bahkan tidak segan-segan disematkan makna atau tafsir ujaran kebencian, pencemaran nama baik dan memprovokasi atau membuat kegaduhan dan seterusnya.
Publik Mulai Bertanya?
Publik bukan tidak percaya dengan Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mulai bekerja semenjak 6 April 2021 sampai dengan 31 Desember 2023 dengan payung hukum Keppres tersebut. Publik mulai bertanya-tanya pula, dan bahkan pertanyaannya pun sangat liar. Ketidakyakinan tersebut bukan hal yang tanpa dasar logika dan akal waras. Realitas empirik sebagai fakta di banyak hal berbeda pandangan negara dengan pemerintah menjadi ingatan kolektif publik dan hingga kini masih terus dipertontonkan, sehingga menggerus public trust, terutama mengenai penanganan dan pencegahan pemberantasan korupsi yang dikatakan bahwa korupsi sebagai musuh negara dan musuh kita bersama, korupsi merupakan extra ordinary crime.
Publik hampir selalu dipertontonkan dengan pernyataan-pernyataan dan narasi-narasi agung yang dipajang di depan gedung dengan tulisan zona integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK), zona Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM), zona bebas KKN dan zona bebas Markus (Makelar Kasus). Tetapi, pada realitasnya menjadi seperti dunia terbalik, dunia lain sebagaiman mustinya. Kreatif dan inovatif bikin idea yang puitis. Kata-kata sedemikian rupa dipuitisasikan dan didramatisasikan, yang seolah-olah penghuninya para malaikat.
Kita pun hingga kini selalu dipertontonkan banyaknya Satgas-satgas diberbagai bidang dengan menelan anggaran yang tidak kecil. Akan tetapi, outcome-nya kita tidak bisa ukur untuk menggambarkan ke dalam kurvanya. Benefitnya tidak terukur dalam statistik publik. Pertanyaan kolektif yang sekaligus menjadi ingatan kolektif publik itu pun menghantui tanda tanya besar akan keefektivitasan dan keberhasilan Satgas Hak Tagih Negara dalam melakukan perburuan amblasnya dana BLBI yang berdasarkan catatan data pemerintah sendiri masih Rp 110,454 triliunan lebih.
Pertanyaannya adalah bagaimana melakukan perburuan dana BLBI jika yang ada hanya asetnya saja, tetapi orangnya sudah kabur ke luar negeri dan atau sudah menjadi warga negara asing? Sebab berdasarkan data kasus masih ada sebanyak 45 obligor atau yang terkait dengan kasus BLBI dan kasus lainnya seperti Century dan atau lainnya mereka kabur ke luar negeri. Mereka tidak bisa dieksatradisi, karena kita tidak punya perjajian ekstradisi dengan negara yang menjadi persembunyian mereka.
Pada tahun 2011 berdasarkan data media, masih ada 45 koruptor yang kabur ke luar negeri. Singapura adalah tujuan favorit karena Indonesia belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara itu. Dari Singapura, beberapa di antara lalu pergi ke negara-negara lain. Berikut daftar 45 orang yang terjerat hukum Indonesia dan melarikan diri ke luar negeri, yaitu:
- Sjamsul Nursalim dan Itih Nursalim-BDNI, terlibat kasus korupsi BLBI. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 6,9 triliun dan 96,7 juta Dollar Amerika. Kasus Sjamsul masih dalam proses penyidikan. Namun kasusnya dihentikan, KPK menerbitkan SP3.
- Bambang Sutrisno, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Surya. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun. Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bambang lari ke Singapura dan Hongkong. Pengadilan memvonis Bambang in absentia.
- Andrian Kiki Ariawan, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Surya. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 1,5 triliun. Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Andrian kabur ke Singapura dan Australia. Pengadilan kemudian memutuskan melakukan vonis in absentia.
- Eko Adi Putranto, terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS. Kasus korupsi Eko ini diduga merugikan negara mencapai Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara.
- Sherny Konjongiang, terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS bersama Eko Adi Putranto dan diduga merugikan negara sebesar Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Pengadilan menjatuhkan vonis 20 tahun penjara, in absentia.
- David Nusa Wijaya, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Servitia. Ia diduga merugikan negara sebesar Rp 1,29 triliun. Sedang dalam proses kasasi. David melarikan diri ke Singapura dan Amerika Serikat. Namun, ia tertangkap oleh Tim Pemburu Koruptor di Amerika.
- Samadikun Hartono, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Modern. Dalam kasus ini ia diperkirakan merugikan negara sebesar Rp169 miliar. Kasus Samadikun dalam proses kasasi. Ia melarikan diri ke Singapura.
- Agus Anwar, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Pelita. Dalam kasus ini ia diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 1,9 triliun. Kasusnya saat itu masih dalam proses penyidikan. Saat melarikan diri ke Singapura, ia diberitakan mengganti kewarganegaraan Singapura. Proses selanjutnya tidak jelas.
- Sujiono Timan, kasus korupsi BPUI. Sujiono diduga merugikan negara 126 juta Dollar Amerika. Proses hukum kasasi. Ia melarikan diri ke Singapura.
- Maria Pauline, kasus pembobolan BNI. Diperkirakan kerugian negara mencapai Rp 1,7 triliun. Proses hukumnya masih dalam penyidikan dan ditangani Mabes Polri. Maria kabur ke Singapura dan Belanda.