Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Perburuan Hak Tagih Negara Atas Amblasnya BLBI

  1. GN (mantan Direktur dan Komisaris PT MBG). Ia menyewa aset BPPN dengan kerugian negara Rp 60 miliar. Kasus masih dalam penyidikan dan dalam penanganan Mabes Polri. Ia melarikan diri ke Singapura.
  2. IH (mantan Direktur dan Komisaris PT MBG). IH menyewa aset BPPN dengan kerugian negara Rp 60 miliar. Kasusnya masih dalam penyidikan dan dalam penanganan Mabes Polri. Ia melarikan diri ke Singapura.
  3. SH (mantan Direktur dan Komisaris PT MBG). SH menyewa aset BPPN dengan kerugian negara Rp 60 miliar. Kasusnya masih dalam penyidikan dan dalam penanganan Mabes Polri. Ia melarikan diri ke Singapura.
  4. HH (mantan Direktur dan Komisaris PT MBG). HH menyewa aset BPPN dengan kerugian negara Rp 60 miliar. Kasusnya masih dalam penyidikan dan dalam penanganan Mabes Polri. Ia melarikan diri ke Singapura.
  5. Djoko S Tjandra, terlibat dalam kasus korupsi Cessie Bank Bali. Kasus ini merugikan negara Rp 546 miliar. Vonis PK dua tahun penjara. Djoko melarikan diri ke Singapura dan masuk dalam DPO.
  6. Gayus Tambunan, terlibat dalam korupsi/suap pajak. Ia merugikan negara sebesar Rp 24 miliar. Putusan pengadilan tujuh tahun penjara. Sempat kabur ke Singapura, tetapi berhasil dibujuk oleh Satgas Anti Mafia dan kembali ke Tanah Air.
  7. Anggoro Widjojo, kasus SKRT Dephut. Merugikan negara sebesar Rp 180 miliar. Dalam proses penyidikan ke KPK. Anggoro lari ke Singapura dan masuk dalam DPO.
  8. Nunun Nurbaeti, kasus dugaan suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. Kasus Nunun saat ini dalam tahap penyidikan di KPK. Istri Adang Daradjatun ini masuk dalam DPO. Terakhir dikabarkan ia lari ke Thailand.
  9. Robert Dale Mc Cutchen, kasus Karaha Bodas. Rugikan negara senilai Rp 50 miliar. Ia masuk dalam DPO, lari ke Amerika Serikat.
  10. Marimutu Sinivasan, kasus korupsi Bank Muamalat. Kasus ini merugikan negara Rp 20 miliar. Masuk dalam proses penyidikan Mabes Polri. Marimutu melarikan diri ke India.
  11. Nader Thaher, terlibat kasus korupsi kredit Bank Mandiri oleh PT Siak Zamrud Pusako. Diduga merugikan negara senilai Rp 35 miliar. Nader divonis di Mahkamah Agung 14 tahun penjara. Melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO.
  12. Lesmana Basuki, diduga terlibat dalam kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU). Dalam kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 209 miliar dan 105 juta Dollar Amerika. Lesmana divonis di Mahkamah Agung 14 tahun penjara. Ia melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO. ICW menyatakan tak jelas perkembangan terakhir kasus ini.
  13. Tony Suherman, diduga terlibat dalam kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU). Dalam kasus ini diduga merugikan negara sebesar Rp 209 miliar dan 105 juta Dollar Amerika. Tony divonis dua tahun penjara. Ia melarikan diri ke Singapura dan menjadi DPO. ICW menyatakan tak jelas perkembangan terakhir kasus ini.
  14. Hendra Rahardja, terlibat kasus korupsi BLBI Bank BHS. Kasus ini merugikan negara sebesar Rp 2,659 triliun. Ia divonis in absentia seumur hidup di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hendra meninggal di Australia pada 2003, dengan demikian kasus pidananya gugur.
  15. Hartawan Aluwi, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri. Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.
  16. Hendro Wiyanto, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri. Namun menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.
  17. Dewi Tantular, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri. Namun menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.
  18. Anton Tantular, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri. Namun menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.
  19. Hesyam Al-Waraq, terlibat kasus Bank Century dengan kerugian negara Rp 3,11 triliun. Ia dikabarkan kabur ke Singapura dan Inggris.
  20. Rasat Ali Rizfi, terlibat kasus Bank Century dengan kerugian negara Rp 3,11 triliun. Ia dikabarkan kabur ke Singapura dan Inggris.
  21. Adelin Lis, terlibat dalam korupsi kehutanan dengan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 119 miliar. MA memvonis delapan tahun penjara. Ia pergi ke China dan Australia, masuk dalam DPO.
  22. Atang Latief terlibat dalam korupsi BLBI Bank Indonesia Raya dengan kerugian negara Rp 155 miliar. Kasus tersebut masih dalam penyelidikan. Atang melarikan diri ke Singapura. Menurut ICW, masih berstatus terduga. Masuk daftar cekal. Proses hukum tidak jelas.
  23. Edy Tanzil, membobol Bank Bapindo Rp 1,3 triliun melalui perusahaanya PT Golden Key. Sempat mendekam di LP Cipinang namun melarikan diri pada 4 Mei 1996. Ia dikabarkan lari ke China.
  24. Hari Matalata, terlibat dalam kasus ekspor tekstil seniliai Rp 1,6 miliar. Ia divonis di MA. Ia melarikan diri ke Singapura dan masuk dalam DPO.
  25. Muhammad Nazaruddin, diduga terlibat dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet Sea Games di Palembang. Diduga negara dirugikan Rp 25 miliar. Kasus dalam proses penyidikan di KPK. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia masuk Singapura pada 23 Mei 2011, sehari sebelum Imigrasi menerbitkan surat pencekalan pada 24 Mei 2011. (catatan: sudah di Sukamiskin Bandung).
  26. KKT (Warga Negara Singapura), terlibat dalam dugaan korupsi jaringan komunikasi PT Telkom Divisi Regional Sulawesi Selatan. Ia diduga merugikan negara Rp 44,6 miliar. Kasusnya dalam penyidikan. Ia melarikan diri ke Singapura dan masuk daftar DPO.
  27. Sukanto Tanoto, terlibat dalam dugaan korupsi wesel ekspor Unibank. Ia diduga merugikan negara sebesar 230 juta Dollar Amerika. Ia lari ke Singapura. Menurut ICW, Sukanto masih terduga namun diberitakan menjadi tersangka. Proses hukum tidak jelas. (Nama Sukanto Tanoto dicabut dalam daftar ini. Kasusnya telah selesai. Baca: Sukanto Tanoto Telah Selesaikan Kewajibannya)
  28. Lidya Muchtar, terkait kasus BLBI Bank Tamara. Tak tercatat asal perusahaannya. Ia melarikan diri ke China. Kasus tersebut dalam proses penyelidikan. Ia melarikan diri ke Singapura. Menurut ICW Lidya masih terduga. Masuk daftar cekal dan proses hukum tidak jelas.
  29. Hendra Liem alias Hendra Lim, terlibat dalam kasus Bank Global. Kasus ini merugikan negara 500 ribu Dollar Amerika. Kasus ini masih penyidikan di Mabes Polri. Ia melarikan diri ke China.
  30. Hendra alias Hendra Lee, terlibat dalam kasus Bank Global. Kasus ini merugikan negara 500 ribu Dollar Amerika. Kasus ini masih penyidikan di Mabes Polri. Ia melarikan diri ke China.
  31. Budianto, terlibat dalam kasus Bank Global. Kasus ini merugikan negara 500 ribu Dollar Amerika. Kasus ini masih penyidikan di Mabes Polri. Ia melarikan diri ke China.
  32. Amri Irawan, terlibat dalam kasus Bank Global. Kasus ini merugikan negara 500 ribu Dollar Amerika. Kasus ini masih penyidikan di Mabes Polri. Ia melarikan diri ke China.
  33. Rico Santoso, terlibat dalam kasus Bank Global. Kasus ini merugikan negara 500 ribu Dollar Amerika. Kasus ini masih penyidikan di Mabes Polri. Ia melarikan diri ke Amerika Serikat.
  34. Irawan Salim, terlibat dalam kasus Bank Global. Kasus ini merugikan negara 500 ribu Dollar Amerika. Kasus ini masih penyidikan di Mabes Polri. Ia melarikan diri ke Amerika Serikat.
  35. Lisa Evijanti Santoso, terlibat dalam kasus Bank Global. Kasus ini merugikan negara 500 ribu Dollar Amerika. Kasus ini masih penyidikan di Mabes Polri. Ia melarikan diri ke China (Kompas.com: Daftar 45 Pelarian Indonesia ke Luar Negeri, 04/07/2011, 09:46WIB).

Jangan-jangan jika digambarkan dalam kurva antara anggaran operasional untuk perburuan hak tagih negara dengan hasilnya berbanding terbalik dalam kurun waktu masa tugas selama tiga tahun berdasarkan Keppres tersebut. Pemerintah juga seharusnya segera mempublikasikan hak tagih yang sebesar Rp 110, 454 triliun lebih itu atas obligor dan atau debitur siapa saja, dan mereka sekarang berada di mana, dan aset yang dimilikinya berada di mana dan nilainya berapa, sehingga kita bisa memahami itu semua. Pemerintah juga seharusnya tidak hanya memburu perburuan atas dana talangan BLBI saja, tetapi harus pada semua uang negara yang dibawa kabur para koruptor.

Jika pemerintah dalam perburuan hak tagih tersebut konsentrasinya terhadap aset semata, yang demikian mempunyai potensi kerentanan. Penilaian (revaluasi) kembali atas nilai aset menjadi persoalan yang rentan, karena sejarah dan emprik mengajarkan pada kita, bahwa dalam penilaian kembali aset atau tangible asset seringkali terjadi main mata, seringkali menjadi obyek permainan kongkalikong banyak pihak, sehingga nilai aset setelah penilain kembali menjadi fantastis, nilainya tidak wajar. Bagaimana pemerintah melakukan pengawasannya?

“Nah kalau pengusahanya benar, lurus, dia serahkan aset yang bagus-bagus, tapi ada juga yang bandel kan, dibilangnya aset ini bagus padahal belum atau aset busuk atau setengah busuk atau belum clean and clear. Misalnya tanah, padahal surat-suratnya belum jelas, tapi dimasukan sebagai aset.” (Ekonom Senior Rizal Ramli, Merah Putih.com, Sabtu, 20 Juli 2019 00:21).

Untuk itu, mampukah pemerintah untuk tidak masuk ke lubang yang sama dalam hal penilaian kembali aset jika itu menjadi pilihan kebijakannya? Dengan fakta seperti itu, juga pemerintah seharusnya tidak beda pandangan dengan negara, sehingga dalam proses hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi, majelis hakim dalam amar putusannya menjadi putusan yang “uitvoerbaar bij voorraad.” Amar putusan serta merta tersebut, harus dimaknai mensekaliguskan kesertamertaan dengan hak negara untuk melakukan sita jaminan dan atau hak atas lelang aset milik koruptor, jika koruptor tidak mau mengembalikan kerugian negara.  Artinya, secara serta merta dalam amarnya mengembalikan kerugian negara yang dikorupsi dan atau jika hal tersebut tidak dipenuhi kewajibannya, negara berhak melakukan sita jaminan untuk dilelang negara, sehingga tidak terjadi lagi seperti kasus BLBI dan kasus-kasus korupsi lainya. Karena faktanya dalam vonis sekarang terhadap para koruptor pun banyak yang tidak serta merta menjadi keharusan mengembalikan kerugian negara, sehingga jika pun koruptornya dipenjarakan, negara tetap kehilangan uangnya.

Para orang bijak mengatakan, negara perlu dengan sikap yang tegas untuk melakukan pemiskinan kepada para koruptor. Artinya, seluruh hasil korupsinya, apakah untuk foya-foya dan atau untuk bermewah-mewah bergelimang harta benda, harus dikembalikan kepada negara.

Pemerintah harus setia kepada negara, karena yang kasat mata dalam penindakan dan penegakkan kasus korupsi bagaikan benang kusut. Jika sudah bisa diurai pun benang merahnya putus diawal atau di tengah. Padahal, benang merah yang putus tersebut seharusnya bisa sambung kembali, hanya soal term saja, dan itu seharusnya menjadi hukum kausalitas sebab akibat. Yang sebab bisa mengakibat akibat dan yang akibat bisa menjadikan sebab. Ini yang terjadi, kasusnya berjalan di jalan setapak, benang merahnya putus. Padahal, setelah jalan setapak jika benang merahnya tidak terputus dan atau disambung kembali, maka akan ketemu jalan raya yang banyak cabang dan jalan tol yang bercabang-cabang. Realitasnya tidak demikian, kasus korupsi putus setelah diawal koruptornya tertangkap atau terbukti atau telah divonis bersalah. Pelokalisir masalah dan kasus korupsi. Padahal kerugian negaranya triliunan. Proses hukumnya berhenti di jalan setapak, terputus untuk tembus jalan raya dan jalan tolnya. Benang merah yang dikusut-kusutkan. Ya menjadi kusut dan dinyatakan kusut, seperti tak bisa diurai bertahun-tahun. Padahal, hanya untuk jalan pintas SP3 sebagai alasannya.

Ketidaksetiaan pemerintah terhadap negara itu, terbaca dari banyak hal, terutama dalam kasus korupsi. Yang terbaca secara semiotik adalah pemerintah hanya menargetkan yang paling minimal dari kewajibannya terhadap tugas dan amanat negara dalam nenuntaskan setiap perkara korupsi yang mata rantai dan benang merahnya bergulung-gulung denier, bukan kemaksimalannya yang dilakukan. Sangat berbeda jauh bagaikan langit dengan bumi dalam deru gelombang dan ombak yang menderas jika dibandingkan dengan orang-orang atau kelompok yang dianggap radikal atau penganut radikalisme yang kita pahamai sekarang dalam politik kekuasaan. Padahal, para koruptor kelas hiu atau paus juga harusnya dikatakan dan diklasifikasikan sebagai orang per orang atau golongan radikal dan atau penganut paham radikalisme ekonomi dan atau radakalisme politik ekonomi dan atau ekonomi politik yang disebut oligar ekonomi-politik, dan harus dimaknai sebagai teroris negara yang mengacaukan kehidupan ekonomi negara yang mengakibatkan kekacauan keselamatan kehidupan negara. Golongan atau kelompok ini pun bekerja secara sistematik, terstruktur dan masif sama dan sebangun halnya dengan politik kekuasaan memahami orang per orang dan atau kelompok yang dianggap radikal atau penganut paham radikalisme atas paham agama.

Kedua radikalisme tersebut bedanya adalah pada radikalisme yang akibat penyuntikan doktrin atas nama agama dan atau kecemburuan ketidakadilan sosial atas nama kemanusiaan dan kebenaran  adalah membuat prilaku jalan pintas menuju surga bagi penganutnya, karena tidak ada satu pun orang yang ingin masuk neraka, kemudian distigmatisasi sebagai teroris. Sebab akibat sampai pada jalan pintas tersebut indikator dan varibelnya sesungguhnya cukup banyak, salah satunya adalah akibat jihad kecemburuan sosial dalam banyak hal dalam artian yang sangat luas dan menempati ruang berbagai perspektif.

Sedangkan pada radikalisme ekonomi, salah satu indikator dan variabelnya adalah jalan pintas menuju kehidupan cepat kaya raya dengan melakukan pembabatan terhadap semua aturan, moralitas dan etik, karena tidak ada orang yang ingin hidup miskin atau menderita, dengan perkataan lain adalah menghalalkan segala cara, tetapi kekuasaan tidak menstigmatisasi dengan teroris.

Yang distigmatisasi sebagai teroris, hingga sampai lubang semut pun akan bisa tercium, terlacak dan ditangkap atau ditembak mati. Tindakan pemerintah sangat tregginas, cepat tanggap darurat. Sebaliknya, radikalisme ekonomi politik dan atau politik ekonomi (para koruptor) tidak distigmatisasi teroris, sehingga tindakan pemerintah memilih berpangku tangan, menunggu laporan masyarakat, bahkan jika mereka sembunyi pun tidak tercium apalagi terlacak apalagi jika kabur ke luar negeri yang tidak mempunyai perjanjian ekstradisi. Pemerintah menyerah dan pasrah. Mati penciuman dan mati pula indra perasanya bagaikan terpapar corona.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles