Oleh DR Mas ud HMN*)
Di antara peristiwa sejarah penting perlu dan relevan untuk dikaji adalah peristiwa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Di kampung penulis, ingat PRRI, orang ingat Kapten Fadillah perwira muda dan simpatik yang gugur dalam finishing touch pertempuran Lubuk Jambi. Ini ingatan masyarakat Riau.
Ia gugur menjelang operasi militer selesai. Pada tanggal 3 Maret 1958, Kapten Fadillah Komandan Kompi A Riders Resimen Penggempur Angkatan Darat (RPKAD) -kini berubah menjadi Kopassus– tewas di Lubuk Jambi dalam kontak senjata dengan pasukan PRRI. Kejadian ini membangkitkan semangat juang anak buahnya. Lalu Lubuk Jambi dikuasai pasukan APRI dari Pusat.
Kejadian ini merupakan bagian akhir dari seluruh Riau jatuh ke tangan APRI Pusat pada 14 Maret 1958 dan PRRI dikalahkan. Banyak korban jiwa dan harta benda karena pertempuran selalu didahului bombardir Angakatan Udara.
Memang pemberontakan Pemerintah Revolusiner Republik Indonesia (PRRI) noda hitam sejarah, tapi selesai. Karena ada kebijakan pemerintah menyudahinya dengan berdamai kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pemimpin PRRI. Ya sudah.
Hanya saja kemelut dalam hal PRRI di Sumatera Tengah atau lebih khusus di Riau belum banyak ditulis apa dan bagaimana sesungguhnya sejarah itu terjadi. Bayangkan baru 13 ahun Indonesia merdeka, usia republik sangat muda, ada perpecahan bersenjata. PRRI di Sumatera dan di Sulawesi ada Permesta.
Episode itu tidak sederhana. Stigma PRRI untuk Sumatera yang antara lain pemuda Sumatera terhalang menjadi militer, karena terkena label anak orang pemberontak. Di masa itu pula banyak anak Sumatera berganti nama dengan nama suku Jawa karena mau menghilangkan kecurigaan seperti Bambang, Irianto dan sebagainya.
Inilah dampak psikologisnya merupakan pembelajaran krusial sejarah yang terus bisa digali dan diselesaikan. Tanpa itu akan ada saja masalah laten. Jangan lagi ada kecurigaan di atara kita.
Artinya dari dua poin di atas, yakni soal stigma pemberontak, lalu soal kecurigaan etnis Sumatera dan Jawa adalah krusial sejarah atau kemelut sejarah masih ada harus hilang.
Selanjutnya juga dua simpulan di atas terkait pada peristiwa pertempuran Lubuk Jambi PRRI dan pemerintah pusat atau APRI tahun 1958 (AB Lapian dkk Terminologi Sejarah Depdiknud 1996). Karena peristiwa tersebut tidak dapat hilang dari memori dan opini masyarakat. Yaitu apa hakikatnya secara ontologis adanya PRRI. Jika dibuat analog, mengapa melawan Belanda kita bisa berhasil bersatu sementara di alam kemerdekaan kita bertengkar dan berperang.
Doktor Anhar Gonggong sejarawan menyampaikan hal menarik. Ia mengatakan bahwa sejarah kita menyisakan social justice. Memang kita merdeka tapi cita-cita kemerdekaan belum semua diwujudkan. Ini persoalan yang harus diselesaikan seperti mengentaskan kemiskinan rakyat. Demikian Anhar Gongong.
Saya kira pendapat itu benar. Hemat saya pemberontakan PRRI dan Permesta basis persoalannya tidak lain ketimpangan sosial di Jawa dan di luar Jawa masa itu. Maka inilah terminology ontologis hakikat adanya pemberontakan PRRI dan Permesta. Syukurlah terhadap esensi masalah sekarang ada otonomi daerah meski belum menjawab persoalan menyeluruh.
Akhirnya cita-cita kemerdekaan yaitu keadilan sosial beban sejarah bangsa untuk dilaksanankan sungguh-sungguh. Menyepelekan atau mengkhianati cita-cita keadilan sosial adalah dosa besar tidak berampun. Salah pada orang kita dapat minta maaf kepada yang bersangkutan. Tetapi mengkhainat pada bangsa kemana dan kepada siapa minta maaf?
Jakarta, 28 Juni 2020
*)Penulis adalah Doktor Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta