Akhir-akhir ini masalah konflik Laut Cina Selatan kian meningkat dan menimbulkan masalah bagi kawasan ASEAN. Kekompakan diperlukan. Satu kebersamaan dengan spirit baru ASEAN. Karena masyarakat Asia perlu nilai kebersamaan sosiologis. Perlukah manajemen pluralisme?
Topik ini dimaksud ingin menegaskan lagi dimensi tersebut dalam kebersamaan. Utamanya membentuk kekuatan energi baru, sinergisitas kebersamaan.
Menghubungkaan konsep sosiologi Islam untuk memahami adanya kabilah (kelompok) dalam satu kaum atau bangsa unsur utamanya memang tidak untuk pertikaian, tetapi untuk hidup bersama. Itulah masyarakat bangsa yang berkemajuan. Hanya bagaimana kemudian mewujudkan perbedaan dalam kelompok dalam kebersaamaan.
Bagi bangsa Indonesia sebagai mayoritas Islam di tahun politik kini mungkin diperlukan tata kelola yang berkepastian, yakni kebersamaan masyarakat bangsa dengan manajemen berbasis pluralisme, yaitu manajemen diversity.
Dalam hal ini, menarik ungkapan pendapat Abdel Munim Said yang mengatakan bahwa Timur Tengah memerlukan manajemen diversity, yang bisa merajut perbedaan antar kaum, etnis, agama dan ras yang pada kenyataan mereka sudah bersama dalam masa panjang. Tapi kini mereka terbelah bertikai dan berbunuhan.
Lebih jauh dengan opini Munim Said, ia mengatakan diperlukan upaya untuk menemukan cara penyelesaian. Bila tidak akan membawa akibat berlarut-larut. Masa depan yang kelam. Kehancuran.
Munim sendiri nampaknya sangat khawatir memandang keharusan mencari jalan baru. Seperti ditulisnya dalam terbitan Al Ahram edisi 30/4/2017 di bawah judul: Diversity Management in Arab World. Munim Said mengusulkan satu gagasan manajemen diversity. Kata dia, karena kita sadar bahwa teori lama semisal nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi, tak selalu sukses penerapannya.
Pada artikel sepanjang 1.200 kata, Abdel Munim Said mengungkapkan bahwa sudah tentu banyak faktor menjadikan sesuatu dapat sukses atau gagal. Ini bisa dibentangkan dalam banyak contoh lain. Yang pada intinya juga ada problema sama.
Pada pemahaman Munim Said, alasan itulah dunia Arab menjadi problematik dan kacau. Terbenam dalam situasi kegagalan. Hiruk-pikuk.
Di pihak lain, ada terdapat peluang untuk mengadakan perubahan. Pendekatan yang baru, yang disebutnya innovative theory management diversity.
Sebagai seorang intelektual Timur Tengah, tempat dia dilahirkan dan dibesarkan, gagasan Munim Said menjadi menarik. Sebab banyak teori lama gagal menyelesaikan masalah yang terjadi.
Akibat kegagalan itu inilah yang dialami sekarang. Konflik berkepanjangan, yang paling akhir Suriah dan Irak.
Penulis  dapat memahami  kegelisahan Munim Said. Terutama dalam mempelajari dan mengerti lingkungan historis bangsa dan dunia Arab.
Ambillah misal, penerapan teori nasionalime Arab. Teori ini amat populer masa enam puluhan di bawah pimpinan Gamal Abdel Naser dari Mesir. Konsep dasarnya bertumpu pada mazhab mayoritas, religious region. Bangsa Arab, Islam sebagai pandangan hidup dan sosialisme.
Nasionalisme dan sosialisme Arab memang menjadi simpul strategis. Simpul yang berkelindan yakni bangsa Arab (nationalism majority), Islam sebagai ideologi dan sosialisme sebagai pandangan kemasyarakatan modern. Inilah kemudian yang populer dengan sebutan nasionalisme Arab.
Lagi pula konsep nasionalisme Arab, cukup lama juga berkibar di altar perpolitikan Timur Tengah dan dunia Arab khususnya. Setidaknya era enam puluhan hingga tujuh puluhan. Tapi kemudian meredup kehilangan agregatnya, mulai perang Arab-Israel yang tidak dimenangkan oleh dunia Arab.
Ini menjadi persoalan serius. Ditambah lagi perpecahan antar pemimpin negara Arab sendiri yang mengakibatkan nasionalisme Arab tidak juga berakhir sukses. Gagasan ini mulai sepi dan tidak fungsional dalam perpolitikan dunia Arab.
Ada dua sebabnya. Pertama, pertikaian dalam menghadapi Israel, satu hal. Kedua, dominannya campur tangan pihak Eropa di dunia Arab. Keduanya jadi faktor penting dalam kelanjutan efektif tidaknya  nasionalisme Arab.
Bagaiman dengan sosialisme? Sebenarnya gagasan sosialisme asal muasal dari munculnya sosialisme adalah berlandaskan konsep kelas dalam masyarakat. Pada masa belakangan di dunia Arab mengadopsi pikiran ini dengan konsep keadilan.
Ini kemudian pada akhir tujuh puluhan inti konsep sosialisme dalam bentuk baru disinergikan dengan konsep nasionalisme (1960). Sebagai misal, nampak dengan amat getol pro aktif dilakukan oleh mantan Presiden Saddam Hussein. Meskipun ia termasuk orang kuat dunia Arab, namun akhirnya dia jatuh dihukum mati. Kesimpulannya tidak sukses juga.
Gagasan setelah nasionalisme dan sosialime mengalami kegagalan, muncullah gagasan ketiga yaitu demokrasi. Dunia Arab mulai mengangkat demokrasi sebagai gagasan. Menjadi aktual pada era 90-an. Mulai di Mesir, Tunisia, Aljazair, dan seterusnya.
Demokrasi di negeri asalnya di Amerika dan Eropa merupakan turunan dari liberalisme. Individual. Kebebasan menjadi sarana utama dari gerakan demokrasi.
Dalam perjalananya demokrasi tidak lancar di dunia Arab. Sebutlah misal Tunisia, Mesir, Aljazair. Di sana mengalami kegagalan. Meskipun gagasan itu tidak ditinggalkan.
Mesir sebagai negara modern Timur Tengah adalah contoh kegagalan demokrasi yang kasat mata. Setelah pemilihan umum, terpilih Presiden secara demokratis, lalu serta merta ada pihak militer yang tidak puas melakukan kudeta. Mencopot Presiden yang terpilih. Demokrasi cacat, karena telah kehilangan fungsi dan hakikatnya.
Mengakhiri tulisan ini, penulis sependapat dengan kegalauan konsep Timur Tengah atau dunia Arab adalah bagian dari kegagalan menajemen diversity. Satu kerumitan dan masalah esensial peradaban Arab modern menerapkan bingkai keislaman.
Dalam pandangan saya, kita harus punya tata kelola manajemen masyarakat yang berbasis perbedaan. Ajaran Islam yang mengharuskan ukhuwah kebersamaan, mencintai, pemaaf terkikis oleh egoisme. Merasa benar dan mau menang sendiri. Bagi kita perlu kepastian silaturahmi dalam perbedaan, yang identik dengan innovative management diversity. Semoga!
Jakarta, 2 November 2020
*) Dr Mas ud HMN adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta