Senin, November 25, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Pers Sebagai Juru Bicara

Oleh O’ushj.dialambaqa*)

 

Kebanyakan masyarakat -bangsa- kita termasuk gampang melupakan sesuatu–sekalipun peristiwanya teramat tragis. Kecenderungan mudah melupakan diri terhadap sesuatu peristiwa, menyebabkan sejarah terus berulang. Keberulangan sejarah terhadap peristiwa yang sejenis, serupa dan bahkan sama persis secara substansial, tetap tidak membuat kita belajar dari pelajaran sejarah (yang buruk) tersebut.

Melupakan diri, amatlah berbeda dengan posisi diri sebagai pelupa. Melupakan diri bisa karena adanya faktor spiritualitas hasrat untuk berkuasa dalam kehendak bebas, domain kepentingan dalam dirinya dan atau dalam interaksi eksternalisasi dengan dirinya -aku-idiologis-. Penyebab lainnya, adalah ketidakmampuannya dalam mempertahankan diri dari ketegangan -tekanan- eksternalisasi, di mana ia seharusnya menjadi dirinya sendiri sebagai manusia yang berkehendak dari rasa aman dan nyaman. Akan tetapi, sebagai “pelupa” ia berada dalam ruang kosong yang menyelimuti memori dirinya –pita ingatannya yang rentan konsleting-. Yang menyebabkan dirinya sebagai “pelupa” lantaran faktor genetika, gizi buruk, ketidakteraturan dalam hukum kuadratika terhadap kebutuhan organ tubuh, dan kejutan –ketegangan-  internalisasi maupun eksternalisasi yang tak kuasa dibendungnya –pertahanan diri yang rapuh-.

Kedua tipologis di muka menjadi sebuah karakteristik, di mana pun, akan domain kepetingan, di mana kekuasaan menjadi sebuah panglima. Model pertama, orientasi dan paradigmanya amat sederhana, karena ini merupakan idiologi materialistik. Tetapi untuk memahami model –tipologis- yang kedua, menjadi kesulitan tersendiri –menjengkelkan-.

 

Potret Kelam Pers Kita

Ranah persilangan dua kutub dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melahirkan potret kelam pers kita sejak tahun 1950-an hingga tumbangnya Soekarno –sebuah rezim Orde Lama (Orla)- menajam karenanya terjadi konfrontasi dua kutub kebudayaan.

Dua kutub yang saling bersilangan tersebut bahwa paham politik adalah primer, dengan perkataan lain, bahwa politik adalah panglima dan adalah segala-galanya, dan estetika adalah persoalan skunder. Kelompok ini mengklaim dirinya sebagai seniman progresif – revolusioner, realisme sosialis. Kutub ini merupakan para pendukung Soekarnoism dengan Manipol Usdeknya, yaitu Pramudia Ananta Toer, Sitor Situmorang, Bakri Siregar, Joebar Ajoeb, Sorbon Aidit dkk, yang dikenal dengan LEKRA-nya (Lembaga Kebudayaan Rakyat).

Kutub yang satunya adalah Manifes Kebudayaan, yang dikawal oleh Wiratmo Sukito, D.S. Muljanto, Taufik Ismail, HB. Yassin, Hamka, Trisno Sumardjo, Gunawan Mohamad, Usmar Ismail, Asrul Sani, Bur Rasuanto, Sutan Takdir Alihsahbana, B. Sularto, Mochtar Lubis, WS. Rendra dkk, dengan Humanisme Universal-nya.

Para penyokong konsepsi Bung Karno dengan Manipol Usdeknya pada dekade ’50 – ’65-an menjadikan konstelasi politik sangat represif dan mencekam. Kekuasaan politik diberhalakan; politik sebagai panglima. Kemudian media massa menjadi corong dan algojo untuk menghabisi pemikiran yang berseberangan dengan konsepsi Bung Karno -Manipol Usdek-, seperti (yang domain dalam kepentingan) Harian Rakyat, Bintang Timur, Suluh Indonesia, Suara Tani, Warta Bhakti, Warta Dunia, Harian Rakyat dan Kebudayaan Baru. Media massa yang tidak menyokong –patuh dan tunduk- pada konsepsi politik Bung Karno, seperti Indonesia Raya, Sastra dan beberapa media massa lainnya mendapat teror dan dibrangus [O’ushj.dialambaqa: Seniman (Kekuasaan) Politik dan Gerakan Kebudayaan, 2004].

Tumbangnya Soekarno, Manipol Usdek dengan LEKRA sebagai pilar utamanya, atas peristiwa sejarah pers yang kelam dan bahkan kehidupan sosial, sebagai masyarakat, rakyat dan bangsa yang terpasung dalam politik, yang dampak tragiknya adalah dalam persoalan perekonomian dan hubungan sosial, tidak menjadi pengalaman yang berharga. Kita gampang melupakan diri dan atau memposisikan dirinya sebagai pelupa, sehingga masa lalu yang kelam dan tragis tidak terekam dalam ingatan. Lantas agar kita dikenal sebagai bangsa yang santun, semua peristiwa berdarah-darah dan tragik dimaafkannya, melebihi otoritas kemahapemurahan dan kemahapengampunannya Tuhan –Allah SWT-.

Hal ini terbukti dengan bertahtanya Soeharto selama 32 tahun sebagai sebuah rezim, karena kita melupakan diri dan atau sebagai pelupa atas peristiwa sejarah di zaman rezim Soekarno dengan konsepsi Manipol Usdeknya.

Pada rezim Soeharto, banyak pers yang dibredel –dibrangus- karena dianggap tidak mendukung kebijakan politik rezim Orde Baru (Orba) -Soeharto-. SIUP (Surat Ijin Usaha Perusahaan) dijadikan senjata untuk mendikte dan mencocok hidung pers -insan pers-, sehingga pers harus hadir sebagai keledai dalam ruang publik. Media massa yang dibredel pada masa rezim Orba antara lain, Prioritas, Sinar Harapan, Tempo. Soehartoisme juga penganut idiologi kekuasaan -politik- sebagai panglima, yang disantunkan dari heroisme Soekarno yang kiri –tanpa kaum komunis, revolusi Indonesia TAK AKAN BISA SELESAI!, dengan model konsepsi politik dalam kemasan rezim Soeharto yaitu (demi) pembangunan.

Atas nama (model) pembangunan, Soeharto bersama Orbanya leluasa melakukan intimidasi, pemasungan dan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), dengan memainkan opini publik dalam ruang publik terhadap domain kepentingan dengan pers sebagai juru bicara. Sejarah terus berulang, dan kita berkutat dan berkubang dalam persoalan yang sama.

 

Peran Pers

Dalam UU No. 40/1999 Tentang Pers, pasal 3 mengatakan, bahwa peran dan fungsi  pers adalah sebagai media Informasi, Pendidikan, Hiburan dan Kontrol Sosial. Sebagai media informasi, ruang publik harus mendapatkan informasi yang akurat, terpercaya, obyektif, jujur dan tidak manipulatif dalam pemberitaan. Pers tidak bisa melakukan window dressing dalam memuat fakta dan realitas, tidak seperti BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan pembangunan) yang jika mentalitas auditornya bobrok dan atau bobrok secara institusional, pastilah akan melakukan window dressing, sehingga mengumbar pemberian opini dengan WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dan WDP (Wajar Dengan Pengecualian) sekalupun akhirnya terjaring OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dari obyek yang diperiksanya.

Sebagai media pendidikan, ruang publik harus mendapatkan sesuatu yang bersifat mendidik -kebaikan- dan pers bisa sebagai sarana pesan pendidikan, baik secara implisit (tersirat) maupun eksplisit (tersurat). Sebagai media hiburan, pers harus tidak terjebak pada hiburan semata atau dengan kata lain, harus hadir sebagai hiburan dalam “H” bukan “h”. Pers hadir dalam ruang publik dalam definisi hiburan dengan “H”. Pers sebagai media kontrol sosial, pers harus memposisikan dirinya sebagai komunitas kritis, yang mempunyai tanggungjawab moral untuk melakukan kontrol sosial terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan atau kekuasaan, siapapun orangnya yang bertahta dalam kekuasaan, sehingga kekuasaan dan atau politik tidak menjadi  panglima, meredam oligarki, otoriterisme dan atau lainnya yang memasung literasi intelektual, pemikiran –argumentasi-argumentasi logika dan akal waras.

Peran dan fungsi pers yang luhur tersebut kini dinodai banyak media, terutama bermunculannya berbagai media lokal, telah mengabaikan dan mencederai peran dan fungsi pers, sehingga kehadirannya lebih utama pada domain kepentingan, memposisikan dirinya sebagai Juru Bicara Politik, Juru Bicara Kekuasaan, di mana politik dan kekuasaan -kekuasaan politik- menjadi panglima dan diberhalakan, yang mempunyai otoritas (absolute) untuk menentukan suatu kondisi sosial masyarakatnya melalui opini dalam ruang publik, sehingga pemberitaannya menjadi manipulatif. Kalaupun tidak manipulatif, maka pemberitaannya menutup ruang publik demi kepentingan politik dalam ruang publik.

Sebagai pers sadar atau tidak (baca: sangat disadari) seperti apa yang dikatakan Peter L. Berger, telah masuk pada tafsir sosial atas kenyataan yang bukan kenyataan sosial. Sehingga sebagai fungsi informasi, informasi yang diberikan ke ruang publik adalah informasi yang menyesatkan. Sebagai fungsi kontrol, justru melenyapkan peran dan fungsi kontrolnya terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai peran dan fungsi pendidikan, justru mendidik kebohongan.

Pilihan menjadi corong, kaki tangan atau juru bicara politis dalam ruang publik, bukan pilihan tanpa resiko, tetapi bila kita menilik dari pemaknaan, maka peran dan fungsinya sebagai juru bicara –politis- dalam ruang publik. Menggunakan “Logika Identitas” dengan hukum identitas, yaitu apa saja adalah (sama dengan) dirinya sendiri dan “Silogisme Kategoris” dengan pengandaian jika A = B, B = C, maka A = C. dengan prtinsip premis mayor (pernyataan umum), premis minor (pernyataan tengah) dan kesimpulan (pernyataan khusus), padahal apa yang dikatakan Jacques Derrida adalah menjadi keniscayaan, bahwa hukum identitas: Apa saja belum tentu sama dengn dirinya sendiri, dan hukum kontradiski: Suatu hal, mungkin benar dan salah sekaligus pada saat yang sama.

Pilihan induktif (kesimpulan dari hal-hal khusus ke umum), memperjelas posisi pilihan pers dalam kekinian politik kekuasaaan, menjadi juru bicara kelompok kepentingan yang tengah berkuasa, di mana politik –kekuasaan- menjadi sebuah panglima. Kelompok-kelompok kepentingan memainkan peran dalam ranah domain ruang publik, sehingga pencapaian minimalnya adalah  memagiskan tafsir sosial atas kenyataan menjadi terbalik –fatamorgana atas kenyataan sosial. Kemudian para jurnalisnya akan megatakan, semua orang punya kesalahan atau kelemahan, sehingga kita tidak bisa menyalahkannya. Kebenaran relatif menjadi madzhabnya, bahkan yang bersemayam dalam jiwanya adalah seperti apa yang dikatakan Jurgen Habermas dalam teori kebenaran konsesus. Hal yang demikian mudah kita kenali dari sisi pemberitaan dan mentalitas para jurnalisnya.

Untuk sementara waktu dalam masyarakat yang sakit, hal ini menjadi efektif dan mampu mengawal dan mengamankan pencitraan penguasa yang tengah berkuasa, yang kini tengah membangun konstruk kelanggengan kekuasaan yang berakar pada mentalitas pager doyong apa gebraki (bergantung pada kekuatan arus besar; dalam tafsir konstruk sosial Indramayu), sebagai kultul dominan masyarakat sakit yang bisa dimainkan secara strategis untuk kebutuhan tersebut.

Dalam pemberitaan yang menjadi pilihan seringkali menyuguhkan fakta kehadiran metafisik (istilah Derrida), termasuk nara sumbernya dengan metode wawancara imajener, merasa tidak berkomentar, tetapi nara sumber tersebut tidak melakukan sanggahan atau hak jawab untuk meluruskan statemennya, sehingga berdasarkan tafsir sosial atas kenyataan, nara sumber tersebut setuju dengan pemberitaan tersebut apalagi yang dipajang sebagai nara sumbernya adalah para akademisi yang oleh konstruk sosial kita akan selalu dianggap benar pernyataan-pernyataannya.

Moralitas politik yang baik adalah belajar dari pengetahuan yang sarat dengan masa lampau. Buahnya adalah kerendahan hati  dan cinta kasih. Sejarah adalah aliran darah, di belakang kita, menghanyutkan kita. Zaman menampung darah itu dalam kantong-kantong plastik dan menyimpannya, di luar penglihatan, untuk diperoleh kembali secara elektronis. Ada suatu kewajiban untuk mengenangkan, tidak dalam sel-sel ingatan komputer, melainkan dalam keibaan hari yang dalam (Peter L. Berger: Piramida Kurban Manusia –Etika Politik dan Perubahan Sosial, 1974).

Apakah sejarah akan terus berulang? Akankah kita belajar dari pengalaman sejarah yang buruk? Ruang dan waktu yang akan mengujinya. Kita tunggu. Aku hanya berharap bahwa orang-orang memiliki kemampuan tak terbatas untuk melakukan keburukan, sehingga mereka mungkin juga akan memiliki kemampuan tak terbatas untuk melakukan kebaikan, yang menjadi sesuatu yang luar biasa jika benar-benar demikian (Plato +/- 428-347 S.M).

Kita sangat yakin, jika para jurnalis berangkat dari keterpanggilan moralitas, maka mereka bisa menjaga peran pers sebagai juru bicara dalam fungsi yang kita sebutkan di muka, tanpa kecuali (terutama) adalah para pemilik media massa. Akan tetapi, jika kita yang ada dalam dunia pers baik pemilik maupun para jurnalisnya berpandangan bahwa media sebagai sumber yang paling gampang untuk mencari uang atau untuk bisa cepat memperkaya diri yang orientasinya adalah dari sumber pemberitaan, maka pers akan menjadi juru bicara kepentingan kekuasaan dan akan berkubang dalam lumpur pemberitaan. Pers akan tergelincir ke dalam Hoax News dan atau Fake News. ***

 

*)Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Desa Singaraja. HP/WA: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles