Kita telah menundjukan keberanian untuk setjara djantan merobek-robek seluruh perdjandjian Komperensi Medja Bundar(KMB). Kita dengan itu telah mendjalankan satu revolusionaire daad, satu tindakan revolusioner. Tetapi djangan kita sekarang mandek!. Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani konsisten bertindak revolusioner, dalam menampung segala akibat-akibat nja. Djangan setengah-setengah, djangan ragu-ragu, djangan mandek di setengah djalan. Benar, memang djangan kita main sembrono, bertindak zonder perhitungan, tetapi ketidak sembronoan dan perhitungan mateng, djanganlah diartikan “Alon-alon, asal kelakon”.
Rakjat sudah tidak sabar lagi !, kita boleh bersabar satu bulan, dua bulan, ja satu-dua tahun pun masih mungkin dapat kita bersabar, tetapi sekali-kali djanganlah mentjoba meminta kesabaran rakjat 350 tahun lagi!. Apa jang segera di kehendaki oleh si Dadap, si Waru, si Polan, si Badu, si Kromo?. Apa jang dikehendaki oleh seluruh rakjat, terutama sekali oleh si Tani?. Jang dikehendaki oleh mereka segera ialah makanan, pakaian, perumahan, dan bagi si Tani ini berarti Tanah, tanah untuk menaruh perumahan diatasnya.
Ini, inilah tiga masalah pokok jang mengisi pikiran rakjat sehari-hari. Bagaimana periuk supaja berisi, bagaimana pakaian dapat berganti, bagaimana mempunjai rumah untuk berteduh diri?. “Sandang Pangan Panggon”. Bagi si tani, persoalannja ialah, bagaimana bisa mempunjai tanah dan untuk ketiga-tiga hal itu?. Si tani? Ja, siapapun itu, puluhan djuta manusia jang berdujun-dujun ketempat pemungutan suara dalam pemilihan umum?. Siapa itu laki-laki jang antri di terik matahari, siapa pula itu wanita jang menggendong anak di guyur hujan lebat?. Mereka adalah si tani, dan dimuka mereka berdiri pula si tani, dan di belakang mereka djuga si tani.
Mereka datang mengeluarkan suaranja tentu dengan harapan di dalam kalbunja, bukan untuk sekedar memilih sadja. Harapan mereka itu, kebutuhan di dalam negara kita ini harus segera di penuhi. Indonesia sekarang bukan lagi indonesia djadjahan, indonesia sekarang adalah indonesia jang telah merdeka dan berdaulat, dan indonesia sekarang adalah indonesia jang demokratis, indonesia jang berkerakjatan.
Alangkah baiknja djika parlemen kita sekarang, parlemen jang di pilih oleh rakjat, si lelaki jang antri di terik matahari itu, dan oleh si emak-emak jang menggendong anak itu. Alangkah baiknja djika parlemen kita sekarang ini, mampu menanggulangi opgave ini dengan selekas-lekasnja?. Dan Bukan parlemen sadja, semua kita harus menanggulangi opgave ini. Semua kita, baik parlemen maupun pemerintah, serta partai-partai, dan bukan menanggulanginja dengan “mempersoalkan” melulu opgave itu. Melainkan menanggulanginja dengan penjelesaian jang kongkrit njata. Dengan bitjara sadja kita tak dapat membangun negara dan masjarakat. “Met praten alleen bouwt men geen land ! “.
Kita berpolitik bebas. Tetapi berulang telah kita katakan, bahwa kebebasan tidak berarti kenetralan. Kita tidak netral dalam menghadapi baik dan buruk. Kita tidak netral dalam menghadapi pendjadjahan. Kita tidak netral dalam menentukan sikap terhadap rakjat, rakjat jang berdjoeang untuk kemerdekaan. Kita pasti memihak kepada rakjat atau bangsa apapun jang berdjoeang untuk kemerdekaan. Kita tidak netral dalam menghadapi pilihan idiologi. Kita pasti memihak kepada ajaran pantjasila.
Kita tidak berwarna, kita tidak kleurloos, kita mempunjai warna sendiri, warna nja pantjasila. Kita berpolitik bebas, tetapi politik kita bukan politik jang tidak mempunjai moral. Politik kita adalah satu politik jang di pimpin oleh kepertjajaan kepada tuhan jang maha esa, jang mendjudjung tinggi rasa perikemanusiaan, jang menghormati rasa kebangsaan, jang mempraktekan kedaulatan rakjat, jang melaksanakan tjita-tjita keadilan sosial. Jika tidak, maka politik jang demikian itu, satu politik jang tak mempunjai moral ?. Bukan sadja kita tidak bermoral, kita pun tidak berichtiar. Kita djangan menonton dunia sambil diam ungkang-ungkang di atas pagar. Kita tidak afzijdig dari segala kedjadian dunia sambil Duduk tenguk tenguk. We are not sitting on the fence. Demikian kataku saat di luar negeri tempo hari. Kita berichtiar, kita berusaha kekanan dan ke kiri, kita keluar djuga dengan rame hing gawe, kita aktif, aktif menudju kepada perdamaian. Kita menjetudjui azas hidup berdampingan setjara damai, tidak saling serang menjerang, tidak mentjampuri urusan dalam negeri masing masing. Mengakui persamaan deradjat antara negara besar dan kecil, kerja sama saling menguntungkan.
Perhatikanlah, siapa jang pantas memperhatikan!. Azas hidup berdampingan setjara damai itu, djanganlah hanja memberi kenikmatan dan keuntungan kepada negara negara raksasa sadja, tetapi harus memberi nikmat dan keuntungan kepada negara kecil djuga. Kepada semua negara, bangsa bangsa, dan seluruh umat manusia di bumi. Alangkah baiknja djika manusia sekarang ini, lebih banjak melihat kedalam hati nurani nja masing masing, Mendjalankan intropeksi. Terlebih untuk setiap para pemimpin negara dan bangsa, intropeksilah untuk apa sebenarnja kita ada dan hidup di dunia ini?, toh tidak untuk mengabdi kepada batu?, emas, sendjata, kekuasaan?, ja.. Tidak pula mengabdi kepada manusia, tidak..!. Kita ada dan hidup untuk mengabdi kepada pentjipta kita, kepada tuhan rabbullalamin. Lalu dapatkah kita mengabdi kepada tuhan rabbullalamin, kalau kita tidak mempunjai moral hidup terhadap sesama machluk, sesama jang “kemerlip” di alam ini?. Pengabdian kepada sang pentjipta mengandung makna, hidup rukun, damai, antara sesama manusia dan bangsa. Karena itu kita tjantumkan dalam pantjasila, pada sila prikemanusiaan. Kita tidak mau masuk ke sesuatu persekutuan militer. Karena itu kita menentang pemergunaan atom dan nuklir untuk tudjuan tudjuan kebinasaan. Hal itu, karena hikmah pengabdian kepada tuhan rabbullalamin. Kita harus mengadjak semua manusia, untuk hidup rukun,damai dan bekerdja sama, saling bantu,bmengangkat dradjat hidup bersama, ke dradjat hidup jang lebih tinggi, lebih baik jang setinggi tingginja, jang sebaik baiknja baik wadag maupun batin, djasmani dan rohani. Ini lah jang di namakan hidup dan arah hidup, levensinhoud dan livensrchting. Bangsa jang tidak mempunjai itu, adalah bangsa jang hidupnja tidak dalam, dangkal dan tjetek. Bangsa jang sama sekali tidak mempunjai livensdiepte, ia bangsa penggemar kepalsuan, emas sepuhan,dan bukan penggemar hakikat, emasnja batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril, ia menjembah berhala kemasjhuran, bukan menjembah tuhan. Ia tjinta kepada gebjarnja fisik, bukan tjinta kepada cahaya kebenaran dan keadilan. Ia kadang terlihat kuat, tetapi kuatnja sebatas kulit, sesungguhnya kosong melompong isinja. Bangsa ini tidak ingin seperti itu, harus tetap konsisten pada sifat asalnja. Sebelas tahun kita telah merdeka, setjara politis dan ekonomis harus selalu di sempurnakan. Tetapi kesempurnaan politis ekonomis tidak akan hidup djika tidak disertai isi, dan arah hidup, dan tidak akan membawa kebahagiaan hidup sedjati.
Satu tahun jang lalu saja berkata “ketahuilah pantja darma, adalah sekedar darma, kewajiban jang harus di penuhi, dan belum sjarat mutlak untuk kelandjutan hidup suatu bangsa. Sjarat mutlak untuk kelandjutan hidup, ialah kemauan hidup, levenswill-levendrang. National levenswill, national levensdrang, bangsa jang tidak mempunjai api hidup nasional ini, api kramat jang menghikmati semua warga bangsanja, dari agama apapun, lapisan sosial apapun, ethnologi apapun, ideologi politik apapun. Bangsa jang kolbunja tidak berkobar kobar api kramat, “feu sacre” ini, lambat laun akan gogrok dan bujar menjadi bangsa ketjil, atau gogrok dan bujar menjadi kelompok kelompokan manusia belaka,atau tenggelam lenjap, musnah sama sekali.
Hidup barulah sedjati life wortwhiel living, djika bukan hidup kosong melompong, isi lah, beri richting dan inhoud itu. Disamping livenswil arus ada levensrichting, harus ada levensinhoud, levenszin. Karenanja hidup hidupkanlah dalam dadamu laksana api, jang membakar djiwa, national levensrichting, levensdiepte, levensinhoud, levenszin. Kobarkan lah api semangat pantjasila, karena pantjasila mampu memenuhi kebutuhan itu. Karena pantja sila memang intisarinja djiwa indonesia. Sebelas tahun kini usianja prokklamasi dan dengan itu pula, sebelas tahun sudah kini usianja republik.
17 agustus 1945 memang bukan sadja hari lahirnja proklamasi, namun djuga hari lahirnja republik. Kini memasuki tahun jang ke 12, empat dharma dari pantja darma masih menunggu penjelesaian, maka selesaikanlah!. Satu pesan lagi dari saja kepada saudara saudara semua. Kita telah memilih konstituante, dewan penjusun UUD insjaallah achir bulan oktober saja akan lantik konstituante itu, sepulang saja dari perlawatan ke Rusia, Austria, Jugoslavia, Checoslovakia dan RRT. Insjaallah saja akan gembira dapat berkata kepada sidang konstituante. “Bentuklah satu UUD bagi RI,republik kesatuan, berwilayah dari sabang sampai merauke. Berdaulat penuh, lepas bebas dari tiap ikatan jang mengurangi kedaulatannja. Bentuklah satu UUD bagi RI. Bukan KMB, tetapi republik proklamasi!.”.
Dengan demikian maka dharma jang saja pesankan kepada saudara saudara, untuk di selenggarakan dalam tahun jang akan datang mendjadi lima. Empat dharma sisa tahun jang lalu, satu dharma babaran tahun sekarang. Maka pantja dharma baru, saja minta saudara persembahkan tahun ini diatas persadanja ibu pertiwi. Jaitu, Pertama, gemblenglah terus persatuan. Kedua, keamanan. Ketiga, perhebatlah pembangunan. Ke empat, perhebatlah perdjoeangan irian barat diatas segalanja, agar lekas masuk de facto kedalam republik. Ke lima, tentukanlah isi, arah, dasar hidup republik dalam konstitusi, jang mampu mendjamin hidup gemilang bagi republik. Terimalah lima pesan ini menjadi ” pantja dharma baru”. Jang menghikmati seluruh lapisan rakjat. Kerdjakanlah pantja darma baru itu, dengan gegap gempitanja dinamik djiwa jang berkobar kobar,jang tak mau patah. Terutama sekali dari jiwa kaum intelaktual dan kaum pemuda, saja berharap djiwa jang demikian itu. Mereka sebenarnja motornja penggerak rakjat , mereka sebenarnja pengarah geraknja rakjat. Tetapi ada diantara mereka jang berdjiwa melempem, dan jang karena putus asa, lantas njeleweng dari pendirian dan prinsip demokratis dan progressif dari pada revolusi. Lantas mengikuti prinsip jang kwasi-revolusioner, tetapi sebenarnja njeleweng tujuan asli revolusi.
Setialah kepada pendirian demokratis dan progressif dari pada revolusi kita itu, dan djanganlah tergendam oleh gebjarnja kwasi revolusi kita itu, dan djanganlah tergendam oleh njeleweng, karena sudah sebelas tahun kok, masih begini sadja ?. Tahun lalu saja berkata “adakah jang berputus asa di antara kita ?, adakah jang berpatah semangat, karena melihat jalan masih djauh ?. Menolehlah ke belakang sebentar!, sepuluh tahun kita berdjalan,sepuluh tahun kita berdjoeang, sepuluh tahun pula kita sering sering menderita, berkorban, terkadang merasa remuk segalanja. Tetapi tidak lebih sepuluh detik pun kita remuk dalam Semangat,dan berpatah tekad”.
Ja memang, kini sebelas tahun bukan waktu jang sebentar. Memang banjak diantara kita jang tidak puas, dan saja pun tidak. Tetapi itu bukan alasan untuk dus, lantas putus asa terhadap rail jang sudah. Bukan alasan dus untuk meninggalkan pendirian asli dari pada revolusi, jaitu pendirian demokratis dan progressif. Bukan pula alasan untuk dus njeleweng. Bukan pula alasan dus membiarkan diri hanjut dalam aliran kwasi revolusionerisme. Semestinja kita lebih membanting tulang dan memeras keringar diatas rail asli itu.lebih demokratis dinamic dan lebih progressif dinamis, lebih mengembangkan tenaga,dan potensi rakjat, sehidup semati, setindak setanduk dengan rakjat. Menggembleng dan di gembleng, menggodok dan di godok rakjat. Lebih massisch dan bukan golongan intelektuil atau pemuda jang banjak berhubungan dengan rakjat, tetapi kwasi revolusioner!. Benar kita adalah satu bangsa dalam perdjoeangan, satu fighting nation jang tak kenal berhenti, Tak mengenal journey’s end.tetapi kita juga adalah satu demokrasi jang berdjoeang, satu fighting demokracy jang harus setia kepada semua isme isme dan tjara tjaranja kerakjatan itu. Sebab suatu isme dan suatu tjara hidup ,barulah memjadi satu kenjataan jang hidup, djikalau kita berkesetaian kepadanja.
Dihadapanku sekarang ini, berdirilah satu lautan manusia dengan hati jang berkobar kobar, dan djiwa jang berdentam dentam. Semua mereka itu adalah sebenarnja wakil dari seluruh rakjat indonesia, dan semua mereka itu adalah wakil dari satu kenang kenangan, satu cita-cita, satu tekad, satu ide, yakni ide kemerdekaan oleh rakjat. Semua mereka itu berkehendak memegang tetap nasib sendiri, dalam genggaman tangan sendiri, dan tidak mau mereka nasibnja oleh orang intlektuil, pemimpin, pemuda atau siapa pun djuga. Ide kemerdekaan oleh rakjat, untuk rakjat. Itulah dimasa lampau berdjiwa laksana ndaru, ide itulah jang membuat mereka berdjiwa laksana malaekat. Djiwa dinamit, djiwa petir dan halilintar. Mereka rakjat jelata jang berpuluh puluh djuta, jang di kota kota dan di desa, jang ada di gubug gubug pinggir sungai. Merekalah rakjat djelata dari sabang sampai merauke, sebagai pembuat revolusi. Merekalah motor revolusi, merekalah Kaum. revolusioner itu. Untuk mereka revolusi tak akan gagal, dengan mereka revolusi pasti menang!…