Jumat, September 20, 2024

Petani Penggarap di Blok Bantarkanyere Terdampak Bendung Sadawarna Mengeluh Tidak Mendapat Ganti Rugi Lantaran Lahannya Diduga Diklaim Mafia Tanah

Sumedang, Demokratis

Polemik pembangunan bendungan Sadawarna yang berada di wilayah tiga kabupaten yakni Kabupaten Subang, Indramayu dan Sumedang, terletak di Desa Sadawarna, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, saat ini tengah berlangsung, namun masih ada persoalan yang harus diselesaikan proyek strtegis nasional (PSN) ini.

Salah satunya masih karut sengkarut proses pembayaran ganti rugi lahan yang dianggap tidak sesuai, selain itu muncul dugaan adanya kejangalan-kejanggalan dan manipulasi data, sehingga menimbulkan kerugian keuangan para pihak, baik pihak pemilik dan atau penggarap tanah/lahan dan lebih jauhnya kerugian keuangan negara.

Pembangunan Bendungan Sadawarna sendiri yang diawali dengan membangun bendungan di areal eks lahan milik PT Dahana yang sudah dibebaskan dan dibayar.

Namun bagi para petani penggarap warga Desa Suriamedal, Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang yang arealnya akan tergenangi, terletak di blok Bantarkanyere hingga kini masih belum mendapat ganti rugi.

Sedikitnya kedapatan 40 bidang lahan/tanah garapan warga di Blok Bantarkanyere yang digarap oleh atas nama Dahri Cs. Kini mereka resah dan terpaksa harus gigit jari, pasalnya mereka tidak mendapatkan ganti rugi garapan lahan yang sudah dikelola selama 20 hingga 30 tahunan, karena diduga dicaplok (baca : dikalim) mafia tanah.

Padahal sebelumnya mereka oleh Satgas panitia pembebasan tanah/lahan telah dimintai photo copy Kartu Tanda Garapn (KTG), KTP, KK dsb sebagai persyaratan administrasi untuk ganti rugi lahan mereka, tetapi nama-nama mereka malah tidak muncul alias tidak terdaftar.

Hal itu mengemuka saat para petani penggarap lahan/tanah di Blok Bantarkanyere menyampaikan keluhan yang disampaikan perwakilannya Dahri dan Kasna kepada fungsionaris tingkat pusat, Korwil dan Korda Indramayu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Djalapaksi berlangsung di salah satu warung lesehan Desa Mekarwaru-Indramayu.

Di hadapan fungsionaris LBH Djalapaksi tersebut Dahri menyampaikan kronologi penggarapan lahan/tanah di Blok Bantarkanyere dari mulai membuka lahan (babak-babak-Red) hingga saat ini mereka masih menggarap lahan/tanahnya masing-masing.

Suasana penyampaian keluhan para petani penggarap lahan/tanah di Blok Bantarkanyere kepada LBH Djalapaksi di salah satu warung lesehan di Desa Mekarwaru-Indramayu.

Pihaknya (Dahri dkk-Red) mengaku hingga saat ini belum pernah merasa mengalihkan lahangarapannya serta belum pernah merasa menerima ganti rugi dari pihak manapun. Seraya memperlihatkan surat pernyataan ke 40 penggarap di atas kertas bermeterai Rp10.000. Namun pihaknya mengaku memang pernah menerima uang sebesar Rp40 jutaan dari pihak yang mengatasnamakan Satgas Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten Subang, namun Dahri Cs tidak paham uang sebesar itu uang apa, bila itu uang ganti rugi mereka menganggap tidak sebanding dengan luas lahan yang ada.

Masih kata Dahri penyerahan uang sejumlah Rp40 juta itu diserahkan oleh Satgas Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten Subang di antaranya Tata Ruhant, H Tarsono, Endang. ST (alm), dengan disaksikan Kadus Sarwiru Kaler Rasim, Poldes Lili Saripudin (kini Kepala Desa Suriamedal) dan mantan Kades Sadawarna Acil Samsudin, berlangsung di Komplek Wisata JPP ’40 Perhutani- Balaraja.

Mereka berharap lahan garapannya yang terkena dampak bendungan bisa memperoleh ganti rugi sesuai garapan dan haknya masing-masing.

“Kami tetap berharap, bila uang ganti rugi dibayarkan sesuai dengan luas garapan masing-masing, karena kami merasa sudah banyak berkorban baik materi dan tenaga ketika sejak awal memnggarap/membuka (babak-babak-Red) mengelola lahan tersebut,” ujarnya.

Pengakuan ke-40 penggarap lahan di Blok Bantarkanyere, atau lazim mereka menyebutnya Blok Gugumuk, lanjut Dahri dikuatkan oleh Kades Suriamedal Narta (kini sudah tidak menjabat-Red) seperti tertuang dalam Surat Keterangan Nomor: 494/425/Ds.Srmd/VIII/2021, intinya menjelaskan bila ke-40 warganya benar telah menggarap lahan di Blok Bantarkanyere/Gugumuk selama 20 hingga 30 tahunan dan hingga kini belum pernah mengalihkan lahan garapannya ke pihak lain serta belum pernah menerima uang ganti rugi dari pihak manapun.

Komisaris DPP LBH Djalapaksi Drs. Aripin, ST., M.Mc., S.PH didampingi Fungsionaris Korwil LBH Djalapaksi Firman Sobarosa, S.PH dan Yadi Supriadi, S.Thi di kesempatan itu mengapresiasi keluhan para penggarap lahan/tanah di Blok Bantarkanyere.

Pihaknya menyesalkan bila memang kedapatan proses pembebasan lahan/tanah itu datanya dimanipulasi atau direkayasa. Karena eksesnya akan ada pihak-pihak yang dirugikan dan lebih jauhnya lagi berpotensi merugikan keuangan negara jika benar terjadi adanya mafia tanah di pusaran proyek bendungan Sadawarna.

Selanjutnya Aripin mengarahkan agar para penggarap segera melengkapi dokumen yang dipandang perlu sebagai prasarat untuk menindaklanjuti kasus tersebut.

Pihaknya berjanji akan menelusuri kasus itu hingga ditemukan fakta-fakta yuridis. Jika sudah diperoleh akan membawanya ke ranah hukum.

Pimpinan Pusat LBH Djalapaksi Drs. Aripin, ST., M.Sc., S.PH (kiri) didamingi fungsionaris Ka Korwil LBH Djalapaksi Firman Sobarosa, S.PH (kanan) sedang memberikan arahan kepada para penggarap lahan/tanah di Blok Bantarkanuere.

Terkait klaim ganti rugi tanah terdampak pembangunan Bendung Sadawarna yang diduga dilakukan mafia tanah, Arifin menyarankan sebaiknya pihak instansi berkompeten segera meninjau kembali, apabila memang diketemukan data yuridis yang menguatkan adanya pihak yang mengklaim bukan yang berhak mendapat ganti rugi.

Sebelumnya diberitakan di media ini, Kades (mantan) Suriamedal Narta saat ditemui di ruang kerjanya, mengutarakan bila areal/locus lahan di blok Bantar Kanyere/Gugumuk masuk wilayah/teritorial Desa Suriamedal, namun karena sudah ada kesepakatan antara Panitia Pembebasan tanah/BPN Sumedang dan BPN Subang, penanganan administrasi dan teknis pembebasannya diserahkan ke Panitia/BPN Subang.

Pihaknya mengaku ihwal itu sudah dikomunikasikan ke pihak Satgas Panitia Pembebasan tanah/lahan kabupaten Subang, namun hingga saat ini mereka tidak mendapat ganti rugi.

“Kami sangat berharap uang ganti rugi itu diberikan kepada yang lebih berhak (ke-40 penggarap), bukan jatuh ke tangan-tangan oknum yang tidak bertanggungjawab, kasihan mereka yang sudah susah payah mengelola lahan tersebut sejak lama,” tandasnya.

Indikasi adanya garapan tanah/lahan di bBlok Bantar Kanyere yang diklaim pihak lain, seperti kesaksian/pengakuan Endang ST (anggota Satgas A) saat ditemui di kediamannya (20/5/2021). Menurut Endang ST tanah timbul di Blok Bantar Kanyere seluas 13.390 m2 atas nama Tata Ruhanta yang sudah ada SPPT NOP 32.15.060.002..021.0095.0 seluas 9.260 selebihnya dapat beli (pindah garapan-Red) dari Ny. Sutinah (almh).

“Sepengetahuan saya tanah yang diklaim Tata Ruhanta seluas 13.390 m2, sebagian berasal beli garapan dari Ny. Sutinah (almh) dan sebagiannya lagi merupakan tanah timbul,” ujarnya.

Di kesempatan terpisah, panitia pengadaan/pembebasan lahan proyek bendung Sadawarna/BPN kabupaten Subang Yadi saat ditemui di ruang kerjanya (12/8) menanggapi kasus pembebasan tanah/lahan di blok Bantar Kanyere mengutarakan, bila proses penetapan bidang tanah dan daftar nominatif yang dibuat panitia pengadaan/pembebasan tanah sudah melalui tahapan dan sesuai diatur dalam standar operating prosedur (SOP).

“Apalagi berkasnya sudah ditandatangani Kepala Desa, itu dinilai sudah memenuhi aspek normatif dan adminstratif,” kata Yadi.

jika kedapatan obyek yang memang benar-benar belum terdaftar bisa diusulkan melalui PPK selanjutnya disampaikan ke Panitia pengadaan/pembebasan tanah/lahan.

Perwakilan para penggarap lahan/tanah di Blok Bantarkanyere Dahri (kanan) dan Kusna (kiri), berfoto seusai menyampaikan keluhan.

Disinggung dalam penentuan peta bidang dan luas, lanjut Yadi itu ditentukan hasil pengukuran yang ditunjukan oleh saksi-saksi di lapangan dengan menunjuk tapal batas bidang. “Untuk menentukan luas ditentukan dari penunjukkan tapal batas bidang. Jangankan tanah yang masih belum bersertfikat, yang sudah bersertifikatpun bisa tidak sama luasnya,” ujarnya.

Tak hanya itu, bila kedapatan dugaan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan pengadaan tanah yang bersifat kasuistik dapat mengajukan gugatan kepada aparat penegak hukum (APH) dan atau intansi berkompeten.

“Dalam hal kedapatan adanya pihak-pihak yang keberatan, bisa melakukan gugatan dan itu ada salurannya,” tandas Yadi.

Mengomentari fenomena ini praktisi hukum yang juga Para Legal Korwil LBH Djalapaksi Yadi Supriadi, S.Thi bila benar adanya dugaan mafia tanah yang mencuri hak orang lain demi memperkaya diri sendiri dan atau kelompoknya dengan modus memanipulasi, memalsukan dan atau merekayasa data, oknum itu bisa dijerat KUHP Pasal 263, ayat (1) dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.

Yadi lalu mengutip statemen Kanit 5 Dittipidum 2 Badan Reserse Kriminal Polri AKBP Kristinatara Wahyuningrum menegaskan, bahwa pegawai BPN, Camat hingga lurah/Kades yang terlibat mafia tanah akan langsung dibui. Menurut dia, jangankan yang terlibat kegiatan ilegal, mereka yang melakukan kesalahan tidak sengajapun akan dikenakan sanksi pidana.

“Tidak ada lagi alasan salah prosedur, cacat administrasi. Kami tegaskan, bila BPN ikut dalam praktek atau mendukung mafia tanah, langsung akan dipidana,” kata Kristina dalam diskusi virtual (12/03/2021) seperti dilansir Kompas.com.

Ketentuan pidana tersebut tertuang dalam Pasal 56 KUHP yang menyebutkan bahwa mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan dan mereka yang sengaja memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan, maka dapat dipidana sebagai pembantu kejahatan.

“Selanjutnya, Pasal 55 KUHP juga menyebutkan bahwa mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan dapat dipidana sebagai pelaku tindak pidana ditindaklanjuti,” pungkasnya. (Abh)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles