Sabtu, Juni 7, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Petrus, Sapu Suharto Untuk Membersihkan Preman

Di masa rejim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto tidak ada tempat bagi preman dan perampok serta penjahat maupun sejenisnya. Semua mereka dibabat habis. Mereka tewas dihabisi. Mayatnya dibuang begitu saja di tempat-tempat umum, seperti semak-semak, emperan toko, hingga bantaran kali.

Pada tahun 1980-an, angka kejahatan di Indonesia memang begitu tinggi, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Tengah. Pemerintah Orde Baru pada saat itu melakukan operasi rahasia agar kasus kejahatan diturunkan. Mereka menangkap dan membunuh para preman maupun penjahat atau orang-orang yang dianggap mengganggu ketentraman di tengah-tengah masyarakat.

Sempat mendapat penghargaan dari Presiden Soeharto karena terbukti efektif dalam menurunkan kasus kejahatan, operasi ini menciptakan kontroversi karena banyak pelaku yang mati ditembak.

Awalnya operasi itu dimulai di Yogyakarta pada Maret 1983. Dalam pelaksanaannya, Kodam Jaya langsung berada di bawah komando Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkomkantip) Soedomo mulai menindak pelaku kejahatan, sembari menginventarisir nama pelaku. Para korban pun berjatuhan.

Narasi kekerasan dengan “main hakim” sendiri itu semakin menguat karena mendapatkan restu langsung dari pemimpin Orde Baru, Soeharto. Hal tersebut dilakukan untuk menebar ancaman bagi siapapun yang hendak mencoba berbuat kejahatan yang merugikan masyarakat.

“Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak.”

“Lalu mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya,” kata Soeharto sebagaimana ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).

Meski begitu, operasi petrus awalnya dilakukan secara rahasia, tapi sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga. Penegakan keadilan ala Orde Baru langsung memunculkan pro dan kontra di kalangan rakyat Indonesia.

Soeharto tetap pada pendiriannya bahwa petrus sengaja disiapkan karena rakyat kecil semakin rentan menjadi korban kriminal. Ia berkelakar pemerintah tak pernah sembarang dalam meringkus penjahat atau preman dengan senjata api. Mereka yang melawan baru ditembak. Tapi kenyataan justru sebaliknya.

Orang-orang yang bertato –sebagaimana diwartakan banyak media massa—sudah cukup menjadi bukti jikalau orang bertato diidentifikasi sebagai penjahat, sehingga layak ditembak. Peristiwa itu kemudian jadi awal mula stigma orang bertato dianggap sebagai kriminal, yang setidaknya masih bertahan hingga hari ini.

“Ia (Soeharto) sangat lihai membungkus ambisi dengan menonjolkan citranya sebagai anak desa, pakai kaus oblong di rumah, mudah senyum, suka beternak dan memancing. Namun, di balik senyumnya itu ia mengetahui pembunuhan ribuan orang jalanan yang ditembak petrus (pembunuh misterius) yakni pénembakan terhadap para preman atau residivis kriminal yang mayatnya ditaruh di tempat umum antara tahun 1983-1985 yang jumlah mencapai 5.000 jiwa. Mereka yang terbunuh mempunyai ciri umum yaitu memiliki tato di tubuhnya,” tulis Asvi Warman Adam dalam buku Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi dan Pelaku (2009).

Aksi Petrus dianggap telah melanggar Hak Asasi Manusia, karena telah membunuh seseorang tanpa diadili melalui jalur hukum. Amnesti Internasional juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia.  Pada akhirnya, Petrus diakhiri pada 1985, karena banyak mendapat perdebatan pendapat dan tekanan dari internasional. ***

 

Related Articles

Latest Articles