Politik identitas yang menyatukan (unity) serta mencerahkan (enlighten) dan politik identitas untuk memecah belah (difference) perlu dipahami secara jelas. Hal ini mengingat politik menyatukan adalah baik saja. Tetapi jika itu memecah belah, konflik adalah buruk.
Adanya stigma mempersepsikan semua politik identitas adalah momok buruk jangan dipakai dan harus dihentikan dan dibuang jauh. Meski begitu masih muncul saja jadi perdebatan. Dibenci tapi diperlukan. Bukankah semua manusia ingin ada identitas yang membedakan satu dengan lainnya. Baik itu berasal dari suku, ras, agama tertentu. Ambillah misal kasus Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang mempertarungkan antara Ahok dan Anis Baswedan. Terpilihnya Anis adalah satu bentuk politik identitas.
Tak bisa dibantah sesungguhnya itulah politik identitas yang sejatinya berakar pada politik berdasar agama, berdasar ras dan suku. Tapi dalam demokrasi modern politik identitas dicela, dijelekkan bahkan dikategorikan adalah aibnya demokrasi. Kalau ada politik dengan membawa-bawa suku, ras, agama, itu rasis namanya. Atau radikal ekstrim yang berujung intoleransi. Lalu apa sebenarnya yang salah dari politik identitas itu?
John Keane dalam bukunya The Life and Death Democracy mencoba membentangkan hal ihwal akar dari demokrasi dari mana berawal, bagaimana bertumbuh serta apa penyebab kematian demokrasi. John Keane dalam bukunya setebal 992 halaman itu menetapkam proses logikanya bahwa tidak dapat dielakkan ada masa lahir, tumbuh besar, kemudian wafat. Yang terkhir itu betul-betul tidak dikehendaki. Adanya wabah menghinggapi suara rakyat itu harus ditemukan. Jangan sampai menjadi polemik berkepanjangan.
Sebagai orang yang berkebangsaan Inggris dan John Keane tentu meletakkan cinta demokrasi yang tinggi. Ia ingin demokrasi itu berumur panjang dan lestari sepanjang jaman. Bukankah demokrasi produk unggulan lahir dari rahimnya bangsa Eropa yang harus eksis. Demokrasi yang sehat sepanjang masa.
Dalam perjalanan waktu, politik identitas dengan pelbagai sebab membuat tidak sehatnya politik identitas malahan jadi penyakit demokrasi itu sendiri. Dapat terurai kedalam rumpun ras yaitu bangsa, lalu suku yaitu kelompok dan agama atau kepercayaan.
Sejarahnya seperti politik demokrasi Yunani sebelum Masehi. Berakar pada politik Athena komunitas kota. Satu kesatuan penduduk dengan himpunan satu kepentingan yang sama politik kota menjadi model awal politik bangsa Yunani kuno.
Beberapa abad kemudian lahir model politik demokrasi Mesopotomia berasal dari unsur regional komunitas geografis. Lalu ini pula menjadi penandaan identitas sebagai ciri dalam menghadirkan keberadaan. Kreteria yang bersumber dari nilai lokal menjadi pembeda antara yang satu dengan yang lain.
Dari dua bentuk identitas politik di atas penelusur sejarah politik menemukan kemiripan meski tak sama persis. Ia adalah Agnes Heller. Yang ada kemiripan itu kata Agnes Heller (Adillah S Ubeid dalam 2002 Politik Pergulatan Tanpa Identitas. Yayasan Obor Indonesia Magelang) menjelaskan politik identitas penandaan kriteria perbedaan.
Dia memunculkan contoh politik identitas dari model demokrasi India berakar multi etnis dengan penandaan identitas politik normatif intuitif. Yang banyak terkait dengan nilai Hinduisme.
Perjalanan proses sejarah perpolitikan identitas ditampilkan dunia Arab. Satu model politik identitas demokrasi politik Islam dengan berakar agama dari kabila dan suku yang hidup dan berkembang di era modern. Sebuah perpaduan filosofis dan agama. Ini berbasis pada ideologi Islam yang muncul dari Islam modern di Timur Tengah.
Dari tiga bentuk polarisasi di atas, dapat disingkat hanya dua esensi penting, yaitu, di dalamnya  berbentuk perbedaan dan persamaan. Identitas sebagai penandaan dan identitas sebagai  difference atau perbedaan.
Penulis berpendapat politik identitas beragam bentuknya dalam sejarah perpolitikan. Masing-masing punya akar berbeda ada ras, suku, ada intuitif regional atau kesamaan asal usul dan ada ideologi pandangan berbasis spiritual.
Terhadap perkembangan sekarang harus kita merujuk pada politik identitas supremasi white colour yakni kulit putih mendominasi Amerika yang menyatukan, mencerahkan dan yang mensejahterakan Amerika. Kita tolak politik identitas differential konflik seperti Arab Spring Timur Tengah dengan konfliknya yang tak berujung dan kita ganti dengan membangun unity identitas politik dengan persatuan kebangsaan berkemajuan. Semoga!
Jakarta, 27 Januari 2021
*) Penulis adalah Doktor Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta