Jakarta, Demokratis
Pada tahun 1990-an, akhirnya salah satu anak Bung Karno memilih menjadi anggota partai politik pada era orde baru yang menggulingkan Presiden Soekarno lewat kudeta merangkak tahun 1967.
Meski sebelumnya anak-anak Bung Karno telah membuat kesepakatan untuk berdiri pada semua partai politik, tak lama setelah Guntur Soekarno calon anggota DPR dari Partai Nasional Indonesia (PNI) gagal terpilih pada pemilu 1971 yang digelar pertama kali oleh Presiden Suharto yang penuh kecurangan lewat penggalangan yang sistematis.
Adalah sosok Alex Asmasoebrata satu-satunya politisi muda yang kemudian berhasil menaklukkan dan melantik Megawati sebagai anggota PDI di DPC di Jakarta Selatan.
Mega sebelumnya hanya cuma ibu rumah tangga biasa yang mengurus suaminya Taufik Kiemas almarhum. Tapi sesekali Megawati acap muncul dengan istri-istri pejuang 45 dan pernah mengunjungi Perpustakaan Idayu di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta. Idayu adalah nama neneknya Mega, atau Ibunya Soekarno yang pernah bermukim di Mojokerto, Surabaya dan berpulang di kediamannya di Blitar, Jawa Timur.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) adalah gabungan dari lima partai yakni Partai Murba dan PNI yang terancam akan dibubarkan oleh kalangan orde baru tapi sangat ditentang oleh Presiden Suharto. Tiga partai lainnya adalah Partai Katolik, Partai Parkindo dan Partai IPKI.
Pada saat Mega bergabung dangan PDI suasana aura peta politik sudah mulai diwarnai kebangkitan kembali pengikut Soekarnoisme yang saat itu membawa simbol warna merah menyala dan banteng hidup pada saat saat kampanye terbuka di Lapangan Parkir Timur-Senayan, Jakarta.
Hal tersebut pun mampu menggetarkan politik kemapanan versus dukungan kekuatan sandal jepit minus ongkos politik mahal seperti sekarang yang dilelang jelang Pemilu setelah reformasi.
Paling tidak Alex pernah mengejutkan suhu politik ibukota saat berhasil memerahkan Jakarta pertama kali di Pemilu ke IV di era orde baru pada tahun 1992 yang berkonvergensi dengan figur serta terpilihnya Megawati sebagai angota DPR pertama kali dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Sehingga sempat sampai muncul jargon : Bapak ABRI, Ibu Korpri, anak PDI. Mirip bunyi rima ala pantun Melayu yang menjadi yel-yel baru oleh anak-anak muda pendukung orde baru saat itu yang mulai kepincut dengan dinamika di PDI yang kembali tampil sebagai partai pergerakan rakyat minus Jenderal.
Tak lama setelah Mega terpilih menjadi anggota DPR dari Fraksi PDI pertama kali. Di kemudian harinya, Megawati acap sesumbar bahwa SK pelantikan dirinya sebagai anggota DPR yang tanda tangan adalah Presiden Suharto.
Suharto adalah aktor yang menggulung PNI kedalam PDI tahun 1974, tidak lama setelah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada bulan Maret tahun 1996. Yang dilanjutkan dengan pengakhiran riwayat politisi lama yang pernah bersinggungan dengan PKI yang membunuh tujuh Jenderal Angkatan Darat.
Selanjutnya jejak tapak politik Mega semakin kinclong menanjak seiring dengan meningkatnya perolehan suara PDI dari Pemilu ke Pemilu. Dimulai dari Ketua Umum PDI De Fakto pada Kongres PDI di Surabaya, dan De Jure kemudian sesudah dilegalkan alias disahkan oleh orde baru.
Semua proses itu tak bisa dilepaskan dari tangan dingin Alex Asmasubrata yang jadi pimpinan Sidang Kongres PDI yang digelar di Asrama Haji Sukolilo di Surabaya.
Seperti yang diduga sebelumnya, sejumlah Jenderal orde baru pada akhirnya kembali tidak bisa begitu saja membiarkan trah Soekarno masuk terlalu dalam ke politik formal orde baru.
Puncaknya meledak konflik baru di partai banteng sebelum Pemilu 1997. Posisi Megawati sebagai Ketua Umum PDI didelegetimasi dengan digelarnya Kongres Medan untuk menggusur Megawati sebagai Ketua Umum PDI yang akan menyusun calon anggota DPR pada Pemilu 1997.
Maka sejak itulah Megawati hanya duduk menjadi Ketua PDI ilegal yang tidak bisa menyusun calon anggota DPR di Pemilu 1997 kepada Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang difilter oleh pemerintah dan Bakorstanas pengganti Pangkokamtib yang saat itu menjadi malaikat pencabut nyawa para politisi kritis.
Dan mulai sejak tempo itu pula sejurusnya jadi gagal dan berakhirnya riwayat Mega dalam politik formal era orde baru.
Posisi Alex saat itu sebagai Ketua PDI DKI Jakarta adalah termasuk yang menolak Kongres Medan, sampai sempat terjadi saling lempar batu untuk bisa menuju arena Kongres. Hingga menyebabkan kepalanya bocor akibat lemparan batu oleh pendukung Kongres Medan yang memilih Soerjadi sebagai Ketua PDI kembali atau yang kedua kalinya.
Tak hanya sampai di situ, Panitia Kongres Butu Hutapea yang kemudian jadi Sekjen PDI, juga ikut dauber-uber oleh peserta Kongres yang tidak bisa masuk ke dalam arena Kongres.
Sampai hingga timbul kejar-kejaran antar mobil peserta pro dan kontra Kongres di Jalanan Kota Medan.
Beruntung saja Butu Hutapea yang lebih paham peta jalan jalan di Kota Medan. Kemudian bisa berhasil menyelinapkan mobil yang dibawanya masuk ke dalam rumah dinas Pangdam Bukit Barisan Mayjen Sedaryanto yang sedang kosong. Sehingga selamatlah Butu Hutapea dari kejar-kejaran oleh peserta Kongres yang anti Soerjadi.
Setelah PDI terbelah jadi dua yakni PDI Soerjadi dan PDI Pro Mega yang ilegal karena tidak diakui kembali oleh pemerintahan Suharto saat itu.
Alex lalu kemudian mengantarkan Mega menjadi Ketua PDI Perjuangan sempalan PDI setelah digelar Kongres di Bali tahun 1999, yang didahului dengan Munas PDI di Bumi Wiyata Hotel Depok, Jawa Barat, setelah Presiden Suharto menyatakan berhenti di Istana Negara, Jakarta.
Tak butuh waktu yang lama, setelah itu nama Alex ikut hilang dari jagat politik PDI dan PDI P tanpa alasan yang jelas sampai beliau wafat.
Baru pada tahun 2004, nama Alex Asmasoebrata alumni GMNI tiba-tiba muncul bersama dengan SBY yang alumni GSNI wadah kader pelajar PNI ketika itu. Yang melahirkan Partai Demokrat dan terpilih jadi Presiden menggantikan Presiden Megawati saat digelar pemilihan langsung pertama kali.
Setelah berhasil mengantarkan SBY jadi Presiden orang nomor satu. Alex membentuk Angkatan Muda Demokrat yang berkantor di Jalan Cikajang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang sebelumnya pernah dijadikan tempat pengasingan kader PDI Edy Sakirman cs saat terjadi konflik di PDI Jakarta.
Alex Asmasoebrata muncul kembali dalam pergerakan ekstra parlementer pada dua tahun lalu saat terjadi demo besar waspada Komunis di depan gedung DPR.
Alex ikut serta turun ke jalan sambil berhujan-hujanan dengan jeans biru berkaus golf Polo. Dan minta supaya diabadikan lewat foto android dengan latar belakang gedung DPR dan Rizieq yang sedang berorasi di mobil komando dengan sesekali menyambut dengan takbir: Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.
Menariknya saat itu bersamaan dengan Letnan Jenderal Syarwan Hamid yang disebut-sebut pro Soerjadi dahulu, dan lalu meminta Presiden Suharto mundur setelah berkuasa belum genap 100 hari. Syarwan ikut berdemo juga dari dalam gedung DPR, namun antar keduanya tak sempat bertemu wajah dengan Alex saat Presiden Jokowi yang kader PDI P jadi Presiden.
Selama menjadi politisi Alex Asmasoebrata meski pernah menjabat Ketua PDI Jakarta yang pernah memerahkan Jakarta pertama kali. Alex adalah politisi pengusaha borjuis nasional tidak pernah berniat menjadi calon anggota legislatif dan minta-minta jabatan pada petinggi partai.
Bung Alex jauh dari gegap gempita sebagai politisi job seeker atau politisi yang mengejar gaji dan honor. Kawan-kawannya mengenalnya sebagai pembaharu yang bukan imitasi. Beristirahatlah dengan tenang bertemu Sang Maha Kuasa di keabadian.
Alex Asmasoebrata (70 tahun) pada hari Sabtu (2/1/2021) tengah malam di RSCM Jakarta, meninggal dunia setelah dirawat karena menderita penyakit kanker pankreas dan hati. (Erwin Kurai Bogori)