Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

PPDB di SMPN 1 Binong Berubah Menjadi “Pasar Swalayan”

Subang, Demokratis

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan tentang larangan bagi pihak sekolah menjual seragam sekolah dan alat perlengkapan sekolah serta LKS kepada para siswa tetapi tidak semua sekolah mematuhi larangan tersebut. Padahal semua jelas sudah diatur di dalam Pasal 181 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17/2010 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Aturan terkait hal itu juga tercatat dalam Permendikbud Nomor 45/2014 tentang pakaian seragam sekolah bagi peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah, Permendikbud Nomor 8/2016 tentang buku yang digunakan oleh satuan pendidikan dan Permendikbud Nomor 44/2012 tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar serta Permendikbud Nomor 75/2016 tentang komite sekolah.

Faktanya di lapangan sekolah-sekolah di Kabupaten Subang masih marak yang menjual seragam sekolah, alat perlengkapan sekolah dan LKS. Seperti yang terjadi di SMPN 1 Binong dengan berbalut koperasi lembaga pendidikan ini bermetamorfosa berubah seolah menjadi “pasar swalayan”.

Disinyalir sekolah menjual dedet (baca: paksa) pakaian seragam, perlengkapan sekolah dan LKS dengan harga cukup fantastis bila dibanding harga di pasaran. Sehingga tak sedikit orang tua/wali murid yang mengeluh, terutama bagi orangtua/wali murid tergolong miskin.

“Kita tahu peraturan tapi karena anak kami sekolah di situ, ya, kita ngikut aja. Mungkin wartawanlah yang bisa mengkritisi, agar sekolah itu menghentikan penjulan seragam, alat perlengkapan sekolah dan LKS, kan melanggar peraturan. Kalau orangtua murid yang menyampaikan kepada pihak sekolah sikonnya tidak memungkinkan,” tuturnya kepada awak media saat mengantar anaknya di sekitar sekolah pada Selasa (4/8).

Berdasarkan hasil investigasi dan keterangan sejumlah nara sumber disebutkan, kwitansi yang ditemukan awak media tertulis angka Rp 1,2 juta/siswa. Bila dikalkulasi dari sedikitnya sepuluh kelas rata-rata 40 siswa, maka jumlah fulus haram itu bila dimasukkan ke dalam empat saku baju safari yang biasa dikenakan panitia PPDB tidak akan tertampung.

Kutipan pembayaran sebesar Rp 1,2 juta/siswa diperuntukkan membayar baju seragam batik khas Subang, batik khas sekolah, baju muslim, kaos dan trening olahraga, atribut putih biru (topi, dasi, logo, sabuk, papan nama), Pramuka (topi boni, kacu, badge dll), sepatu dan kaos kaki, modul, sampul rapot, pas foto dan cetak kartu OSIS.

“Tapi yang menggelikan kwitansi pembayarannya tidak ditandatangai, melainkan hanya ditulis inisial penerima saja. Dan anehnya penerimanya tiga orang (baca: inisial). Ada apa ini? Terkesan untuk menghilangkan jejak. Sepertinya telah dirancang agar tidak memenuhi unsur administrasi keuangan. Aneh???” ujar sejumlah orangtua/wali murid yang enggan disebut namanya saat mengantar anaknya daftar ulang kepada awak media.

Tak hanya itu, di SMPN 1 Binong ini juga diduga sekolah bersama komite melakukan Pungli biaya pengayaan UNBK dan perpisahan, padahal kegiatannya tidak dilaksanakan. Bila sepuluh kelas IX rata-rata 40 siswa dikali Rp 600 ribu, maka terhimpun dana haram itu ratusan juta rupiah.

Saat awak media menyambangi SMPN 1 Binong untuk konfirmasi, diterima Asep seorang guru yang mengklaim pengurus koperasi sekolah. Pihaknya mengakui adanya penjualan baju seragam sekolah dan peralatan kelengkapan sekolah. “Pengadaan barang-barang tersebut disediakan oleh koperasi sekolah (KPRI), sudah berbadan hukum dan itu sah-sah saja,” katanya singkat.

Salah satu lembar kwitansi pungutan uang pembayaran pakaian seragam dan perlengkapan alat sekolah.

Sementara terkait pungutan biaya UNBK dan perpisahan kelas akhir sebesar Rp 600 ribu/siswa, Ketua Komite SMPN 1 Binong Endang Cahya saat dikonfirmasi via WhatsApp (25/7/2020) hanya dibaca saja, tidak berkenan menanggapi. Tetapi dikesempatan lain Endang membenarkan bila pungutan itu dilakukan atas kesepakatan hasil rapat orangtua murid dengan komite sekolah.

“Ya benar, uang sebesar Rp 600 ribu itu keperluan kegiatan murid, seperti pengayaan dan biaya perpisahan,” terang Endang sebagaimana dilansir media online KM.

Namun diketahui Ujian Nasional tahun ini ditiadakan demi mencegah penyebaran wabah Covid-19, sehingga penggunaan biaya tersebut masih dipertanyakan orangtua/wali murid.

Kepala SMPN 1 Binong Saenudin, belum berhasil dimintai keterangan kendati awak media sudah berkali-kali menyambangi sekolahnya.

Sementara Pentolan Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi–RI (GNK-RI) Kabupaten Subang Adang Sutisna SH saat dimintai tanggapan soal adanya jual beli pakaian seragam, buku maupun LKS, menyesalkan bila hal itu terjadi.

“Sepengetahun kami, sekolah maupun komite sekolah itu tidak boleh menjual pakaian seragam, buku maupun LKS, titik. Gitu, intinya itu,” tegas Adang di kantornya, Sekretariat BTN Puskopad Sukajaya, Blok A81, Kelurahan Cigadung, Kecamatan/Kabupaten Subang (10/8).

Larangan itu bukan tanpa dasar, Adang menjelaskan dalam Pasal 181 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17/2010 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 66/2010 yang menerangkan bahwa penyelenggara dan tenaga pendidik baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, perlengkapan pelajaran, bahan pelajaran serta pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan.

“Berdasarkan pasal itu sudah jelas ya. Jadi guru maupun karyawan di sekolah itu sama sekali tidak boleh menjual buku-buku, alat perlengkapan sekolah maupun seragam sekolah,” tandasnya.

Bukan hanya guru maupun karyawan sekolah, komite sekolah pun, kata Adang dilarang menjual buku maupun seragam sekolah sebagaimana diatur dalam Pasal 12a, Permendikbud Nomor 75/2016 tentang komite sekolah.

Di pasal itu tertulis, komite sekolah, baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah.

Kami akan membawa kasus ini ke ranah hukum, bila kelak sudah diketemukan fakta–fakta yuridisnya secara lengkap.

Tak sampai di situ, larangan itu juga berlaku bagi koperasi yang ada di lingkungan sekolah tersebut, yang menurut Adang pun tidak diperbolehkan menjual seragam atau buku pelajaran, LKS.

Kecuali jika koperasi itu memang dikelola secara independen atau tanpa ada keterlibatan guru, karyawan hingga para komite sekolah. Itupun juga harus disertakan keterangan bahwa siswa tidak diwajibkan untuk membeli.

“Misalnya ada koperasi yang dikelola independen. Nah, bagusnya itu ada tulisan yang tidak mewajibkan beli bagi siswa. Hanya menyediakan saja. Jadi siswa beli nggak apa-apa, tidak beli juga tidak apa-apa,” lanjutnya.

Dirinya mencontohkan, seragam batik misalnya, yang cenderung tidak tersedia di tempat lain, lantaran corak serta warna sengaja dibuat sesuai ciri sekolah masing-masing. Dikatakannya, koperasi boleh menjualnya, akan tetapi tetap tidak boleh mewajibkan para siswa untuk membelinya.

Terkait LKS, jika memang ingin menggunakan buku LKS, maka harus dibuat sendiri oleh guru bidang studi bersangkutan atau melalui musyawarah guru mata pelajaran terkait. Dana dalam aturannya dana BOS dapat dimanfaatkan untuk pembuatan buku LKS guna menunjang aktivitas belajar siswa, sehingga siswa sama sekali tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk mendapatkan buku LKS.

Seharusnya latihan-latihan itu dibuat sendiri oleh guru sebab dalam kurikulum baru, tidak ada lagi buku LKS. Kalau ada, itu sebuah kesalahan dan harus dihentikan. Penggunaan buku LKS tentu akan mengubah filosofi cara belajar siswa aktif menjadi pasif, sehingga sistem pembelajaran yang seharusnya mengutamakan diskusi antar guru dan teman di kelas tidak berjalan dengan baik.

 

Jual Beli Seragam dan Buku, LKS di Sekolah Adalah Pungli

Praktik jual beli seragam, buku pelajaran dan LKS yang dilakukan pihak sekolah disebut Adang, merupakan bagian mal administrasi, sebuah pelanggaran administrasi. Sehingga bisa dipandang sebagai tindakan pungutan liar (Pungli). Sedangkan Pungli bagian dari tindakan korupsi yang patut dikenai sanksi bagi pelakunya.

“Namun demikian, kami enggan menjelaskan lebih jauh lantaran hal itu menjadi domain/ranah penegak hukum. Sedangkan saksi adminstrasi yang dimaksud, adalah dengan melakukan mutasi hingga pencopotan jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan disiplin pegawai negeri,” tegasnya.

Terkait pungutan biaya pengayaan UNBK dan Perpisahan kelas akhir, yang diketahui tidak dilaksanakan kegiatannya itu termasuk katagori Pungli, dimana Pungli bagian dari tindakan perbuatan korupsi.

Masih kata Adang, hal itu merupakan peristiwa pidana, sehingga aparat penegak hukum (APH) tidak harus menunggu pengaduan, tetapi dapat mencokok langsung terduga pelakunya sepanjang terpenuhinya alat bukti.

“Kami akan membawa kasus ini ke ranah hukum, bila kelak sudah diketemukan fakta–fakta yuridisnya secara lengkap,” pungkasnya. (Abh/Esuh)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles