Kamis, Oktober 3, 2024

Pradoks Nilai dari Masyarakat yang Sakit

Ungkapan terbaik untuk kita dan juga untuk orang lain adalah frasa dari komunitas yang ideal, dari satu masyarakat atau komunitas berbasis tradisi. Makna ungkapan terbaik untuk kita dan orang lain, diabstraksikan dengan komunitas yang elok, santun dan penuh tegur sapa.

Makna ungkapan untuk kita dan untuk orang lain metafornya adalah masyarakat yang dinamis dan berkemajuan. Masyarakat yang bergerak dalam ide kreatif yang berorientasi pencerahan dan kesejahteraan.

Gabungan dua penggal ungkapan itu secara konsep tradisi pernah ada di masa lalu, pada masyarakat Indonesia awal. Masyarakat saling menyapa, bekerja sama dengan motto berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Sayang seribu kali sayang, tradisi itu kini telah berubah. Jauh panggang dengan api, antara harapan dan kenyataan. Hal ini dihubungkan dengan masyarakat masa kini yang berkarakter keras, tiada santun, tiada kelembutan. Bahkan muncul komunitas ganas, brutal. Masyarakat sakit menjadi femomena yang merisaukan.

Tentu saja seharusnya tidak demikian. Ini artinya ada paradoks antara fenomena kekerasan. Dengan konsep nilai elok yang mestinya tidak terjadi. Selayaknya harus kita perbaiki. Tugas kita yaitu mencari solusi mengobati masyarakat yang sakit.

Profesor Sumantri Prapto Kusumo (alm), mantan Sekjen Kementerian Sosial RI mengatakan, masyarakat Indonesia menjelma menjadi kepribadian berbentuk menyesuaikan kemauan pasar. Ia menyebut dengan istilah market personality. Satu kepribadian bebas dengan tradisi kemauan pasar. Yang mudah yang menguntungkan saja. Sumantri Prato Kusumo yang juga guru Besar Etika Sosial dari Universitas Padjadjaran Bandung itu menilai gejala itu merupakan gejala masyarakat yang tidak sehat.

Sejalan dengan pendapat Prof. Sumantri, dalam khazabah Melayu ditemukan istilah adat usually dan adat terjoly. Adat usually adalah dasar, asli, tdak berubah. Sedangkan adat terjoly adalah adat yang selalu berubah. Terhadap adat prinsip dan adat yang berubah-ubah, ada paradoks (pertentangan). Penulis berpendapat bahwa terjadi paradoks dari perubahan zaman yang keluar dari tradisi adat yang usually. Fenomena ini lantas menjelma menjadi tradisi market (pasar).

Adat usually adalah tetap, baku, berbasis pada keluhuran budi, santun, serta kebenaran. Tidak lekang karena panas dan lapuk karena hujan. Nampaknya ini gejala yang terus eksis pada komunitas pada umumnya, termasuk masyarakat Indonesia kini. Pertanyaannya apa yang bisa dilakukan. Kita coba memberi jawaban menghadapi keadaan ini seperti berikut:

Pertama, dijawab dengan pola pendidikan yang berbasis akhlak. Perilaku pendidikan harus menjadikan santun, peduli dengan orang lain. Orang baik adalah orang banyak berbuat kebaikan untuk banyak orang.

Kedua, jawabannya adalah dengan pembangunan ekonomi. Membangun manusia kerja, bertanggungjawab. Dengan kerja, kita berubah dari kemiskinan. Bila kita keluar dari kemiskinan, ekonomi kita dapat membangun banyak bidang.

Dengan dua pokok soal di atas, yakni dengan akhlak kita berubah menjadi peduli, santun. Dengan keluar dari kemiskinan kita akan punya kesempatan menjadi mandiri dalam hidup, tanpa dikendalikan oleh pasar, oleh kepribadian yang tidak sesuai.

Sebagai penutup, ungkapan terbaik untuk kita terbaik untuk orang lain sebagai ideal dari masyarakat berbudi luhur santun dan peduli akan sesama, serta dinamis berkemajuan, seyogyanya menjadi konsep tradisi yang mencerahkan. Menjadi solusi yang mengedukasi masyarakat kita yang berkemajuan. Semoga.

Jakarta, 1 November 2021

*) Penulis adalah Dosen Paskasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles