Kemelut partai menjelang penetapan siapa calon presiden dan wakil presiden belakangan ini semakin ramai saja. Intern partai sisi dalam atau antar partai sama saja. Berkaitan pada orang atau figur ada yang dicalonkan tapi disingkirkan (Adi Pengamat Politik Universitas Islam Syarif Hidayatullah Ciputat, 18 September 2022).
Persoalannya partai yang mengusung dan pendukung calon tersebut berkaitan dengan elektabilitas, dan pendukung selain partai yang mencalonkan. Dua hal ini penting dianalisis.
Katakanlah andainya calon ada elektablitas cukup tinggi, pertanyaan berikutnya ada dukungan partai yang lolos presidential threshold 20 persen. Lalu ada berapa finansial yang tersedia untuk proyek tersebut. Karena tidak akan terlepas dari dana.
Gubenur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dari PDIP digadang-gadang sebagai calon. Bahkan menjadi yang cukup tinggi elektebilitasnya oleh survei Charta Politika di samping Prabowo dan Anis Baswedan. Namun belum tentu jadi calon presiden.
“Survei tidak menjadi ukuran bagi pencalonan,” kata Bambang Wuryanto sebagai bentuk ketidakketuannya. Ketua bagian pemenangan pemilu dari partai PDIP itu berucap ketika ditanya. Satu pertanda tidak setuju meskipun sama-sama satu partai PDIP.
Sebagian juga kita ketahui bahwa survei Charta Politika menempatkan elektabiltas 31 persen yang lebih tinggi dari suara Prabowo Subianto 26 persen dan 20 persen untuk Anis Baswedan. Simpulan ini menyebabkan apa sesungguhnya yang menjadi kreteria calon presiden Indonesia yang akan datang.
PDIP sendiri sudah menyatakan menyerahkan pada ketua umumnya Megawati Sukarnoputri. Partai Nasdem kriterianya harus dari hasil rapat pimpinan (rapimnas) dan koalisi dan begitu juga dengan Gerindra mensyaratkan ketua umum partai via keputusan kongres itulah menjadi calon.
Partai-partai menghadapi persoalan menjadikan calon presidennya untuk tahun 2024. Masih lama tapi harus dimulai sekarang kalau tidak mau ketinggalan. Demikian juga partai lain seperti Golkar, PPP, PKS, PKB serta PAN.
Ada soal penting lainnya yaitu dana pemilihan umum. Memang telah disediakan lewat anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terbatas jumlahnya. Menjadikan partai pusing kepala.
Kita pada awal analisa ini mengistilahkan prahara partai-partai. Dalam hal itu pengamatan kita ada dua problem, yaitu (1) calon dan (2) soal dana. Bagaimana mengatasi dua soal itu. Pusing soal calon dan pusing soal dana.
Di sinilah dana menjadi solusi prahara tadi. Dengan uang semua beres. Di Malaysia disebut Cash is King (uang tunai adalah raja). Kita menyamakan dengan politik uang (politik dengan uang).
Solusi ini menciptakan oligarki duit cukong-cukong.
Yang bisa memberi solusi tidak terlalu penting siapa presiden. Pokoknya yang patuh pada perintah cukong.
Paling akhir, konsep di atas amat sederhana tidak elok dana enak didengar. Tradisi konsep itu sudah lama ada. Kita masih tradisi itu dan akan berulang.
Jakarta, 25 September 2022
*) Masud HMN adalah Dosen Paskasarjana Universitas Muhammadiah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta