Oleh Serosa Putra
Faktor ketidakpercayaan antara negara Asia Tenggara meningkat terhadap China, tetapi mereka enggan untuk menyampaikan secara terbuka. Ketidakpercayaan dan faktor negatif ini jauh diperburuk dengan menyebarnya Covid-19 dari Wuhan, China.
Kecerobohan China dalam menyelesaikan pandemi, menunjukkan karakteristik fatal negara China apalagi dengan tidak memberitahukan dunia terkait Covid-19 tersebut, telah menciptakan krisis kesehatan yang gawat sejak Influenza Spanyol tahun 1918-1920. Pandemi berasal dari China secara cepat menyebar di Asia Tenggara. Tercatat kematian dari Covid-19 di luar China adalah di Filipina awal Februari 2020. Korban melakukan perjalanan ke Filipina setelah terjangkit virus di Wuhan, China.
Asal pandemi di China dan upaya China untuk menyembunyikan fakta berhubungan dengan kelalaian dan situasi yang ceroboh dari sistem administrasi dan politiknya, yang telah berkontribusi secara besar kepada penyebaran di dunia sehingga mengarahkan ketidakpercayaan kepada citra China secara global. Di Asia Tenggara, Covid-19 telah membangkitkan memori terkait wabah flu burung tahun 1997 dan epidemi SARS tahun 2002-2003, yang mana keduanya berasal dari China dan menyebar di kawasan tersebut. Amerika telah menuduh China menutupi dan menyesatkan komunitas internasional selama tahap awal dari wabah di China sehingga memungkinkan tersebarnya virus tersebar di seluruh dunia.
Berdasarkan survei negara Asia Tenggara, kebanyakan orang memiliki sedikit atau bahkan tidak ada keyakinan bahwa China akan berupaya untuk berkontribusi terhadap perdamaian global, keamanan, kesejahteraan, dan tata kelola dunia. Banyak orang di negara Asia Tenggara memandang China sebagai negara komunis yang memiliki niat untuk menjadi kapitalis dan berniat untuk mengubah pengaruh lingkungan Asia Tenggara. Mereka percaya bahwa citra China yang buruk akan meningkat jika Beijing berhasil menyelesaikan sengketa pada kawasan dan kelautan dengan beberapa negara regional secara damai berdasarkan hukum internasional. Mereka akan mau mengurangi ketidakseimbangan ekonomi, berharap China akan mengimpor lebih dari negara Asia Tenggara.
Ketidakpercayaan China meningkat ketika Beijing mengaku bahwa kekuataan bersenjatanya tidak terpengaruh Covid-19. Hal ini menjadi bukti bahwa PLA telah secara ekstensif dibantu oleh pihak berwenang dengan menerapkan berbagai lockdown di kota-kota di China pada tahap awal wabah.
Ketidaktergantungan terhadap kekhawatiran kesehatan dunia khususnya terhadap penderitaan dan kekhawatiran serius selama pandemi, Beijing melanjutkan kegiatan menggertak untuk menegaskan tuntutan kawasan dan yurisdiksinya di Lautan China Selatan.
Pada tanggal 2 April 2020, armada Penjaga Pantai China (PPC) menabrak dan menenggelamkan kapal ikan Vietnam sekitar Paracels dan dua minggu setelahnya Haiyang Dizhi 8, sebuah kapal pengawas yang muncul di perairan Vietnam sebelum pindah ke Kawasan Ekonomi Eksklusif (KKE) Malaysia, yang mengejar kapal pengeboran yang disewa oleh Malaysia. Haiyang Dizhi 8 ditemani oleh armada milik Militer Maritim China dan PPC. Pada tanggal 8 April 2020, pemerintah China mengumumkan terbentuknya dua unit administrasi yang akan menjalankan Paracels dan Spratlys pada hari berikutnya, yang diterbitkan nama standar untuk fitur geografis di Lautan China Selatan. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk memberikan pengaruh di Laut China Selatan, tetapi juga untuk menjaga agar negara di kawasan tersebut terlibat secara mental dan fisik, sehingga mereka menyerah kepada China dalam kegiatannya di Laut China Selatan.
Peristiwa ini tentu meningkatkan ketegangan antara China dan dengan negara yang menuntut di kawasan tersebut. Vietnam protes terhadap tenggelamnya kapal ikan dan dibangunnya dua unit administratif di Laut China Selatan sebagai hal yang menyimpangi kedaulatan Vietnam. Peristiwa ditabraknya kapal ikan juga menyebabkan teguran yang jarang dilakukan kepada China dari Administrasi Duterte yang menyebut PPC melakukan tindakan provokatif. Filipina juga protes bahwa pembentukan dua unit administrasi oleh China dimaksud, sebagai peristiwa mencurigakan dimana kapal perang China telah menyalakan radar kendali senjatanya di daerah armada angkatan laut Filipina.
Mengingat adanya Covid-19, pembicaraan antara ASEAN dan China terhadap konsep kedua dari Code of Conduct (CoC) di Lautan China Selatan, telah ditangguhkan. Kegiatan terkini China di Lautan China Selatan hanya memperburuk citranya di Asia Tenggara, khususnya ketika Beijing menyatakan tuntutannya di Lautan China Selatan, sedangkan negara lain menuntut sedang fokus dengan segala upaya untuk menyelesaikan permasalahan pandemi ini.
IMF meramalkan bahwa krisis Covid-19 akan memicu resesi ekonomi terburuk di dunia. Di Asia Tenggara, ekonomi di kebanyakan negara akan buruk, pengangguran akan meningkat dan begitu pula dengan tingkat hutang yang akan makin tinggi. Di tengah kesuraman ini, pandemi ini akan memperkuat China, tren ekonomi yang diharapkan di kawasan Asia Tenggara. Prakarsa China satu sabuk satu jalan tengah menghadapi masalah di Asia Tenggara termasuk beberapa proyek besar yang mengalami penundaan, menumbuhkan seleksi ketat terhadap Bank Negara China untuk membiayai proyek dimaksud dan kekhawatiran kemampuan negara tuan rumah untuk memberikan pelayanan terhadap hutang untuk prakarsa dimaksud. Pandemi ini memperburuk permasalahan yang sudah ada di negara Asia Tenggara, dimana akhirnya memaksa untuk mulai memikirkan kembali keamanan kawasan dan ancaman yang berasal dari China. Laos dan Kamboja, telah mempertanyakan mengenai sejumlah hutang eksternal yang makin tinggi, yang sepertinya akan lebih menggantungkan kepada China. Hal ini sama dengan negara di regional tersebut, jika mereka tidak menanggapi situasi ini dengan ketegasan dan pemikiran yang lebih jauh ke depan.
Covid-19 menyapu bersih dunia dengan membinasakan kesehatan ratusan ribu manusia. Namun dengan dampak kesehatan yang besar dari Covid-19 ini, ratusan juta orang yang akan merasakan dampak ekonomi. Semua orang di seluruh dunia telah diperintahkan untuk melakukan jaga jarak secara sosial dan tetap berada di rumah, seluruh industri telah hancur. Walaupun ekonomi nasional telah mulai membaik, perbaikan penuh merupakan proses yang sangat lama.
Ketika negara-negara di dunia mulai menerapkan kelonggaran terhadap lockdown, koordinasi dibutuhkan untuk meminimalisir risiko kejadian dan mempercepat pemulihan ekonomi. Negara-negara yang telah menderita kehilangan banyak nyawa, menghadapi permasalahan kesehatan, ketidakpastian dan gangguan ekonomi akut. Produksi industri akan menderita, permasalahan tenaga kerja akan meningkat seiring dengan permasalahan lainnya.
Inilah waktunya berpikir bahwa China telah memberikan kepada dunia, sebuah ketakutan yang tidak diketahui? Dengan banyaknya nyawa yang telah direnggut, akankah China dapat memitigasi derita dari banyak orang yang telah kehilangan orang tersayang? Akankah kemanusiaan dapat memaafkan China dari kelalaiannya sepenuhnya? Daripada merasa bersalah, China akan heran kepada negara lainnya dan menunjukkan ulahnya untuk sengaja memulai perang. ***