Jakarta, Demokratis
PT. First Pacific Mining yang berkedudukan di Lippo St Moritz Office Tower Unit 0805, Kembangan Selatan, Jakarta Barat, bergerak di bidang penambangan dan pengolahan bijih nikel melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap lima karyawannya pada 1 September 2023 lalu.
Kini, kelima karyawan tersebut yakni Martin, Angelina, Tri Haryanto, dan Johnny Antonius Pranata, serta Ahmad Saleh harus gigit jari. Pasalnya, mereka tidak mendapatkan pesangon melainkan hanya gaji satu bulan saja dan itu pun dipotong oleh pihak perusahaan.
Angelina salah satu karyawan yang ikut di-PHK mengatakan, awalnya dirinya menerima surat pemberitahuan dari perusahaan tentang menurunnya permintaan dan produksi perusahaan yang berdampak pada kondisi keuangan perusahaan sehingga untuk sementara waktu dirinya diliburkan sampai dengan ada pemberitahuan selanjutnya dari perusahaan.
“PT. First Pacific Mining tidak memiliki alasan yang cukup untuk memotong gaji karyawan yang harus dibayar pada bulan September 2023 di antaranya gaji saya (Angelina) mengalami pemotongan senilai Rp2.166.667 dan gaji Tri Haryanto pemotongan senilai Rp2.000.000,” katanya.
PT. First Pacific Mining, menurut Angelina, tiba-tiba mengirimkan surat kepada dirinya, dan Martin, dan Tri Haryanto tanpa memberitahu bahwa perusahaan akan menghentikan produksi mulai tanggal 1 Oktober 2023 dan akan membayar gaji karyawan untuk satu bulannya sebesar Rp 5.000.000 (lima juta rupiah), sedangkan Johnny Antonius P dibayar senilai Rp11.000.000 dan Ahmad Saleh sebesar Rp3.600.000.
“Pada tanggal 31 Oktober 2023, gaji yang diterima masing-masing karyawan, Johnny Antonius P menerima sebesar Rp 9.574.000, saya (Angelina) menerima sebesar Rp4.667.850, Martin menerima sebesar Rp4.624.000, Tri Haryanto menerima sebesar Rp4.700.000, dan Ahmad Saleh menerima sebesar Rp3.400.000,” jelasnya.
Padahal sebelumnya, PT. First Pacific Mining pada tanggal 1 April 2022 membuat Surat Kontrak Kerja ditandatangani masing-masing oleh Angelina, Tri Haryanto, Martin, Johnny Antonius P dan Ahmad Saleh. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ketentuan Umum Ke-2 menyebutkan “Apabila tidak terjadi pelanggaran oleh pihak kedua, maka pihak pertama tidak boleh menghentikan pembayaran upah atau mengurangi upah pihak kedua dalam bentuk apapun dan/atau dengan alasan apapun.” Sebagaimana lampiran Pasal 1 Ketentuan Umum PP Nomor 35 Tahun 2021.
Lebih jauh dikatakan bahwa sebagaimana ketentuan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK) menyebutkan pemberitahuan PHK itu dibuat dalam bentuk surat dan disampaikan secara sah dan patut oleh pengusaha kepada buruh dan/atau serikat buruh paling lama 14 hari kerja sebelum PHK. Untuk buruh dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 hari kerja sebelum PHK.
“Bahwa dalam proses pemberhentian sementara secara sepihak ini dilakukan tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya, dan surat pemberhentian sementara secara sepihak ini tidak diberikan 14 hari sebelumnya,” kata Angelina.
Oleh karena itu, semua pekerja tidak menerima pemberhentian sementara sepihak tersebut, namun perusahaan tidak memberikan ruang dan kesempatan guna melakukan perundingan bipartit untuk menyelesaikan persoalan ini.
Padahal seharusnya pemberitahuan PHK oleh pengusaha itu tidak diperlukan untuk 4 hal saja, yaitu: Pertama, buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Kedua, PHK karena berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Ketiga, mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB). Keempat, buruh meninggal dunia.
“Bahwa sejak adanya surat pemberhentian sementara (dirumahkan) yang dilakukan oleh Perusahaan tidak mempunyai itikad baik untuk mengajak para karyawan untuk berdiskusi atau menyelesaikan masalah ini baik dalam bemtuk surat panggilan maupun mengajak pertemuan bipartite,” jelasnya.
Sehingga pemberhentian sementara secara sepihak sangatlah merugikan para pekerja sebab telah mengurangi upah karyawan tanpa alasan yang jelas dan tanpa dasar hukum.
“Bahwa kami bekerja ditugaskan langsung untuk membantu keperluan komisaris perusahaan sebagai pemegang saham sesuai dengan jabatan kami masing masing yang memang sangat diperlukan oleh komisaris tersebut,” tegasnya.
Lebih mirisnya lagi, jelas Angelina, bahwa pemberhentian sementara secara sepihak ini dilakukan oleh Tenaga Kerja Asing (TKA) yang tidak boleh mengurusi tentang kepegawaian sehingga batal demi hukum.
“Pemberitahuan pemberhentian semetara maupun ketentuan hanya membayar gaji pokok tidak relevan karena tidak ada yang bertanggung jawab dan menandatangani Surat Keputusan Bertindak selaku HRD atau Personalia Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 Ayat (1) dan Ayat (2) UU-RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan yang menyebutkan: Ayat (1) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatanjabatan ter tentu. Ayat (2) Jabatan-jabatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri,” pungkasnya. (Tholib)