Sibolga, Demokratis
Bila sebagian kecil masyarakat Sibolga menilai kehadiran kapal pukat trawl bisa membawa rezeki, namun situasi itu justru berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan nelayan tradisional di kota tersebut. Dampak negatif kehadiran pukat trawl bagi nelayan tradisional cukup besar yakni penghasilan menjadi anjlok. Akibatnya, sebahagian besar nelayan tradisional terpaksa beralih profesi menjadi penarik becak.
Ironisnya, situasi ini terus berlangsung secara bebas di tengah larangan penggunaan alat tangkap ikan haram itu. Hal itu juga ditegaskan lewat hasil kajian tindak lanjut Menteri KP Nomor B.717/MEN-KP/11/2019 tentang Kajian Terhadap Peraturan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Taslim Siregar, warga Jalan Midin, Kelurahan Aek Habil, Sibolga, yang kini berstatus sebagai mantan nelayan tradisional mengisahkan, pukat trawl sering beroperasi di perairan Sibolga pada malam hari sekitar pukul 00.00 WIB. Kerap beroperasi tengah malam, membuat masyarakat tidak yakin bahwa hingga kini pukat trawl masih bebas beraktivitas.
“Kami yang tau seperti apa kondisinya di laut. Bahkan pada saat itu, sampai ke belakang Poncan pun mereka menarik. Karena dulu banyak ikan dan udang kelong di belakang Poncan,” ucap Taslim.
Oleh karena itu pula, pria 55 tahun itu memutuskan beralih profesi menjadi penarik becak. Jika ia terus memaksakan untuk terus kerja di laut, hasilnya dipastikannya jauh dari kata cukup. Hasil yang diperoleh paling banter dapat Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu saja. Sementara beban hidup semakin tinggi.
“Biaya sekolah anak-anak semakin meningkat,” tukasnya.
Dipaparkannya, sebelum kehadiran pukat trawl penghasilan nelayan tradisional bisa dikatakan sangat lumayan. Hanya dengan memancing dengan hitungan lima hari, pemenuhan kebutuhan pokok rumah tangga tidak perlu dikhawatirkan.
“Istilahnya tak terancamlah anak istri di rumah. Namun dengan adanya pukat harimau, disikatnyalah semuanya, karang-karang dihajar habis,” imbuhnya.
Karena kondisi dapur yang terancam tak lagi mengepul, ia pun memilih menarik becak yang hasilnya lebih menjanjikan di banding melaut. Taslim mengibaratkan kehadiran pukat trawl seperti padi yang diinjak kerbau. Selain merusak ekosistem laut, ikan tidak akan dapat berkembang biak. Telur-telur ikan akan hancur akibat tarikan trawl.
“Sawah kalau terus diinjak kerbau, jangankan padi yang tumbuh rumput pun tak mau hidup. Jadi seperti itulah laut, terus dihajar diambil hasilnya sampai-sampai merusak ekosistem,” jelasnya.
Ia juga tidak sependapat dengan anekdot “kalau tidak ada pukat trawl pengangguran banyak”. Jika dikalkulasi, kehadiran pukat trawl akan menambah penganguran. Sebuah pukat cincin akan bisa membawa tenaga kerja sekitar 40 orang, sementara pukat trawl hanya membawa 15 orang.
“Jadi kalau ada masyarakat yang bilang kalau tidak ada pukat trawl banyak pengangguran, itu bohong. Justru malah sebaliknya. Coba lihat saja pukat cincin itu, berapa anggotanya sekali berangkat mencapai 40 orang kan. Sementara pukat trawl paling banyak yang berangkat hanya 15 orang. Masyarakat juga sudah bisa menilai itu,” pungkasnya. (MH)