Subang, Demokratis
Sejumlah petani yang bercocok tanam sereh wangi, singkong, pisang di atas tanah diduga lahan tidur PG Rajawali Rayon Manyingsal, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, belakangan resah. Pasalnya, tanaman mereka yang sudah nyaris bisa dipanen dibajak dengan menggunakan traktor hingga rata dengan tanah. Pelakunya dituding pihak PG Rajawali Rayon Manyingsal.
Atas insiden itu mereka merugi puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah. Selain itu mereka meminta perlindungan hukum ke aparat penegak hukum. Di antaranya surat yang dilayangkan petani sereh jenis ‘Maha Panggiri’ di Blok Manyingsal Timur Ade Wahyu Wikarta kepada Kapolres Subang.
Dalam suratnya Ade meminta perlindungan hukum atas pengrusakan tanamannya yang diduga dilakukan oleh pihak PG Rajawali sekaligus melaporkan atas peristiwa itu, agar pihak aparat penegak hukum menindak tegas terhadap oknum pelanggar hukum yang telah merugikan dirinya dan merampas hak-haknya sebagai warga negara yang berhak untuk mencari penghidupan di negerinya sendiri.
Ade mengaku tanamannya yang ditanam di araeal seluas satu hektaran sudah berumur dua tahuan dan akan segera dipanen menghabiskan biaya Rp50 jutaan. Selain Ade diketahui Samsul petani sereh yang menggarap lahan seluas 5 ha menghabiskan biaya dan merugi Rp250 jutaan. Sudin (petani singkong) merugi Rp10 jutaan, Sadam (petani singkong) merugi Rp 8 jutaan, Suharya (petani pisang), keseluruhan tanamannya habis dibajak dan rata dengan tanah.
Menurut saksi mata Asep Jebrod, pembajakan tanaman para penggarap lahan tidur PG Rajawali Rayon Manyingsal diduga dilakukan atas instruksi Rohadi selaku SKW PG Rajawali Rayon Manyingsal. “Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bila pembajakan itu berlangsung brutal tanpa menghiraukan hak-hak para petani yang sudah susah payah menghabiskan biaya dan tenaga selama bertahun-tahun, saat tinggal memetik hasilnya malah dibajak tanpa ampun,” tandasnya.
Rohadi selaku SKW PG Rajawali Rayon Manyingsal saat dikonfirmasi sejumlah awak media membantah bila pihaknya yang membajak tanaman para petani itu. Dijelaskannya, lahan-lahan yang dibajak itu adalah lahan yang telah disewa oleh pihak Dinas Pertanian Kabupaten Subang bekerja sama dengan kelompok tani (kelota) dalam pelaksanaan program kebun bidang datar (KBD) tanaman tebu.
Pihaknya malah mengarahkan, agar awak media konfirmasi langsung dengan kelota-kelota peserta program atau dengan instansi yang berkompeten agar mengatahui duduk permasalahannya.
Padahal jika merujuk surat yang diterbitkan pihak PG Rajawali Rayon Manyingsal tertanggal 21 April 2022 perihal okupasi areal HGU Rayon Manyingsal sangat kontradiksi. Dimana pihak PG Rajawali mneginformasikan bila para petani tidak lagi melanjutkan garapan lahannya setelah panen terakhir. Sementara tanaman belum dipanen, tetapi malah dibajak dengan dalih akan segera dilakukan okupasi areal.
Kuasa hukum para petani selaku korban dari kantor Advokat Subaryono, SH & Rekan, di kantornya saat dihubungi (18/5/2022) membenarkan bila tanaman kliennya dirusak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga kliennya resah dan merugi hingga puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Mas Bar panggilan akrabnya Subaryono mengaku atas nama kliennya akan melayangkan pengaduan ke aparat penegak hukum guna mencari keadilan dan memperjuangkan hak-hak kliennya. “Pelaporan dan pengaduan segera dilayangkan, hanya tinggal melengkapi dokumen yang dianggap perlu,” ujarnya.
Pihaknya juga menyesalkan atas tindakan oknum yang merusak tanaman kliennya tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga menimbulkan keresahan dan merugikan para petani yang sedang mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Selain itu menurut Mas Bar tindakan oknum itu bisa dikatakan tidak mendukung program ketahanan pangan yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah.
Berbicara persoalan pangan, lanjut Mas Bar, adalah berbicara masalah hajat hidup orang banyak, sebagaimana pernah dikatakan Soekarno (Bung Karno) Presiden Pertama RI dalam sebuah pidatao peletakan batu pertama pendirian kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 27 April 1957, bahwa “Urusan pangan adalah soal hidup dan matinya sebuah bangsa,“ maka untuk memenuhi kebutuhan pangan diperlukan usaha besar-besaran, radikal dan revolusioner.
Menurutnya, kini kehidupan petani selalu merasa tidak aman menggarap lahan untuk menghasilkan produksi tanaman pangan. Dihantui ketakutan dan intimidasi tanah-tanah yang sedang digarap, direbut mafia tanah dan pemodal besar kapan saja. Maka dampaknya rencana Presiden Jokowi untuk mengembangkan sektor pertanian guna mewujudkan kemandirian pangan dan kedaulatan pangan akan gagal di tengah jalan.
“Indonesia mengalami krisis pangan akan tidak bisa dihindari, rakyat pun dilanda kelaparan akibat tidak aman dalam pengadaan kebutuhan pangan,” ujarnya.
Selain membahas fenomena pangan, dalam wawancara di kesempatan itu advokat senior ini mempertanyakan keabsahan HGU yang dimiliki PG Rajawali dengan SK Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Subang No.30/HGU/BPN/2002, tertanggal 17 Mei 2004, seluas 11.674.70 M2, berlaku 2004-2027 dan ditandatangani Drs. Ir. Happyanto.
Hal itu ditanyakan karena meragukan, ihwal sejauhmana kewenangan pejabat Ka Kantor Pertanahan Kabupaten. Pasalanya dalam PP No. 2 Tahun 2013 Jo Pasal 8 dijelaskan bahwa Ka Kanwil BPN memberi keputusan mengenai pemberian HGU atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000.000 m2 (dua juta meter pesegi). “Jadi apakah bisa atau legal secara yuridis formal pejabat setingkat di bawahnya Ka Kanwil BPN dalam hal ini Ka Kantor Pertanahan Kabupaten kewenangannya melampaui pejabat selevel di atasnya,” tandasnya. (Abh)