Konsep ungkapan musyawarah dalam Islam sering disamakan maknanya dengan ungkapan demokrasi. Hingga pencampuran ungkapan tersebut menimbulkan masalah. Apa esensi musyawarah dan apa pula esensi demokrasi.
Esensinya atau hakikat demokrasi itu kita kawal baik-baik. Kita berdemokrasi yang baik. Menjauhkan hakikat demokrasi yang buruk.
Perbedaannya musyawarah dari segi bahasa jelas yaitu bahasa Arab yang berarti mufakat. Satu bolehnya makna berbeda pendapat berasal dari bahasa Yunani Kuno democratie. Dalam praktek maksudnya kelihatannya memang sama.
Demikianlah kini masalah musyawarah dan demokrasi dengan perspektif pemilihan umum (pemilu). Ada anak haram demokrasi dan menghindarkan diktator. Demokrasi dan musyawarah mengandung laknat (buruk) dan rahmat (baik).
Kita tak bahas baiknya karena hal itu pasti kita terima. Tetapi yang buruknyalah yang kita fokuskan. Apa keburukan demokrasi?
Untuk itu kita harus mengerti proses demokrasi itu. Sebab kalau tidak mengerti proses (pelaksanaan) demokrasi kita tak akan memahami demokrasi itu. Untuk itu mari bernilai kita tarik perspektif demokrasi.
Kita mencoba memahami demokrasi dalam hubungan moral dan etika. Kedua kata itu adalah bahwa demokrasi itu bermoral dan etika. Maksudnya sepakat dan bernilai baik.
Jadi demokrasi itu adalah harus kesepakatan dan bertujuannya baik. Meski demokrasi itu boleh berbeda pendapat, tapi harus arahnya baik. Demokrasi yang tidak sepakat dan tidak baik itu berarti demokrasi yang cacat.
Demokrasi yang cacat itulah yang menjadi masalah kini. Karena prosesnya cacat pelaksanaan. Karena cacatnya adalah manipulatif (penipuan). Yang penipuan itu terstruktur, masif, tersistem pula. Adanya dari terstruktur, bersistem dan masif itulah terjadi macam-macam di antaranya munculnya anak haram demokrasi dsbnya.
Maka demokrasi tidak lagi orisinil baik, karena cacat pelaksanaannya, maka tujuan demokrasi beralih pula. Karena pelaksananaan yang harus kita perbaiki. Ketimbang kita dalam kemelut karena proses demokrasi yang tidak baik itu.
Tujuan kita Indonesia yang berkemajuan. Kita perlu menghilangkan pelaksanaan demokrasi yang cacat. Semoga!
Jakarta, 5 April 2024
*) Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta