Sabtu, Desember 27, 2025

Refleksi Akhir Tahun 2025 Forum Senja AMKI Pusat: Ekonomi dan Layanan Birokrasi dalam Jaringan Laba-Laba Digital yang Rapuh (1)

Oleh: Mohammad Nasir, Wartawan Harian Kompas (1989-2018)

PENGANTAR REDAKSI: Forum Senja bekerja sama dengan Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat, menggelar diskusi refleksi akhir tahun 2025. Pemikiran dan gagasan para narasumber diterbitkan di media anggota AMKI dan Catatan Forum Senja, mulai 27 – 31 Desember 2025.

Para narasumber antara lain Dr. M. Harry Mulya Zein (Pakar lmu Pemerintahan, Pengajar Ilmu Pemerintahan IPDN dan UI, Dewan Pakar AMKI Pusat), Muhammad Sarwani (wartawan senior dan mantan Redaktur Ekonomi Makro Harian Bisnis Indonesia), Yanto Soegiarto (mantan Pemimpin Redaksi RCTI, Managing Editor Majalah Globe Asia dan kolumnis Jakarta Globe), Tundra Meliala (Ketua Umum AMKI Pusat), Sudarno Wiwoho (pemerhati pendidikan dan kebudayaan), Dr Zarman Syah (Wakil Ketua Umum Dewan Nasional untuk Kesejahteraan Sosial/DNIKS), Dr Suprapto Sastro Atmojo (Ketua Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Jurnalisme Berkualitas, dan Mohammad Nasir (wartawan senior Harian Kompas (1989-2018).

***

GONJANG-GANJING ekonomi, dinamika politik global, nasional dan lokal  berjalan seiring dan saling mempengaruhi maju-mundurnya ekonomi dan tingkat kesejahteraan rakyat.

Ketika politik semakin kisruh, pertumbuhan ekonomi semakin tertekan. Bahkan perkembangan ekonomi sering kali diperparah dengan layanan birokrasi di daerah-daerah, terutama perizinan berinvestasi, dan berbagai urusan penunjang ekonomi.

Pelayanan melalui digitalisasi yang katanya untuk mempermudah layanan publik di lingkup pemerintah daerah (pemda) justru menghambat, karena tidak dilakukan sepenuhnya. Jaringan laba-laba digital terputus, akhirnya digitalisasi hanya menjadi simbol modernitas.

Dr M. Harry Mulya Zein, Pakar Ilmu Pemerintahan, pengajar Ilmu Pemerintahan Universitas Indonesia mengemukakan, digitalisasi selama ini sering dipromosikan sebagai bagian dari modernisasi birokrasi.

Janjinya menggiurkan, layanan lebih cepat, transparan, ringkas, dan mudah dijangkau warga. Namun, kata Harry, dalam praktiknya, digitalisasi justru menghadirkan paradoks.

“Di banyak daerah, teknologi yang diperkenalkan tidak sepenuhnya menjawab persoalan mendasar. Alih-alih memudahkan, sebagian layanan justru memperlihatkan jarak antara visi reformasi birokrasi dan realitas pelaksanaan di lapangan,” tutur Harry.

Penyebabnya, antara lain pertama, infrastruktur digital yang belum merata menjadi hambatan paling nyata. Pemda meluncurkan berbagai aplikasi layanan, namun di banyak wilayah jaringan internet masih lemah, perangkat tidak memadai, dan ruang server kerap tidak siap. Akhirnya, inovasi hanya menjadi etalase modernisasi tanpa kekuatan operasional.

Kedua, layanan digital berjalan dalam pola yang terfragmentasi. Banyak pemda mengembangkan puluhan aplikasi tanpa integrasi data. “Warga harus berkali-kali membuat akun, mengunggah dokumen serupa, dan berpindah aplikasi hanya untuk satu urusan dasar pemerintahan. Digitalisasi menjadi birokrasi baru yang melelahkan,” kata Harry.

Pelambatan layanan birokrasi identik  memperlemah usaha masyarakat di bidang banyak hal, termasuk ekonomi.

Itu lah benang merah yang mengemuka dalam diskusi Forum Senja via online pada pertengahan Desember 2025. Diskusi Forum Senja bekerja sama dengan AMKI Pusat.

Narasumber Muhammad Sarwani, Wartawan Senior, Mantan Redaktur Ekonomi Makro Harian Bisnis Indonesia melihat angka pertumbuhan ekonomi tahun depan masih menjadi ajang tarik- menarik antara ekonom dan sejumlah lembaga kajian dengan pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.

Menkeu menyakini angkanya akan mencapai 6 persen, jauh di atas konsensus para ahli ekonomi yang memperkirakan paling banter di 5,4 persen. Bahkan ada yang memprediksi hanya di level 5,2 persen saja.

Purbaya boleh saja optimistis ekonomi akan tumbuh tinggi tahun depan, tetapi perhitungannya harus tetap berpijak pada realitas di lapangan yang masih labil, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Beberapa variabel seperti stabilitas politik, reformasi struktural, efektivitas kebijakan fiskal dan moneter akan turut mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi.

Perkiraan mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan ini belum memasukkan dampak bencana yang dialami Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terhadap ekonomi nasional.

Para ekonom, kata Sarwani, baru menghitung kerugian yang ditimbulkan bencana tersebut sebesar Rp 68 triliun, belum sampai kepada dampak dari terhentinya kegiatan ekonomi karena putusnya jembatan, jalan, rusaknya fasilitas umum, pabrik, dan infrastruktur lain.

Menurut Sarwani, Indonesia akan terdampak perlambatan ekonomi global terutama yang berasal dari Amerika Serikat dan China sebagai penggerak ekonomi dunia terbesar.

Di sisi lain, inflasi diprediksi akan meningkat sebagai reaksi atas kebijakan pro pertumbuhan di kisaran 2-2,5 persen, sama dengan level tahun ini. Inflasi sebesar ini masih memberikan napas kepada BI untuk tetap akomodatif.

Iklim positif justru akan menaungi pasar keuangan Indonesia pada tahun depan menyusul perkiraan pelemahan bertahap dolar AS dan berkurangnya imbal hasil US Treasury yang akan menarik modal global kembali masuk ke Indonesia dan negara berkembang lain.

Sekalipun outlook pasar keuangan akan lebih positif, jika pertumbuhan ekonomi tidak sesuai dengan ekspektasi pemerintah maka hal itu akan menjadi sinyal bahwa tahun depan akan menjadi era yang penuh tantangan.

***

Realitas yang saling mempengaruhi antara politik global, nasional, dan lokal, serta layanan birokrasi, juga dikemukakan Profesor Shalendra D. Sharma dari Departemen Politik University San Francisco dalam bukunya berjudul “A Political Economy of the United States, China, and India: Prosperity with Inequality”(2018).

Prof Shalendra D Sharma membandingkan pertumbuhan ekonomi dan ketidaksetaraan di tiga negara terpadat di dunia—China, India, dan Amerika Serikat—dan kemudian menghubungkannya dengan globalisasi dan politik domestik.

Ia merangkum sejumlah besar penelitian ilmiah dalam bukunya. Politik lokal membentuk ketidaksetaraan. Di Amerika Serikat, sumbangan kampanye membantu menentukan siapa yang terpilih dan kebijakan apa yang mereka terapkan.

Politik lokal juga memainkan peran besar di Tiongkok yang otoriter dan India yang demokratis, di mana koneksi politik dan suap terang-terangan turut menentukan kebijakan. ***

Related Articles

Latest Articles