Sumedang, Demokratis
Problematika mafia tanah kembali marak dan diperbincangkan sebagai isu nasional yang sangat urgen. Sampai Presiden Jokowi turun tangan dan berkomentar keras terkait problematika kejahatan mafia tanah.
Jokowi memberikan perhatian khusus terhadap fenomena mafia tanah dan meminta Polri untuk mengambil peran dalam membela hak para korban mafia tanah tersebut. Presiden mengingatkan aparat kepolisian untuk tidak membekingi kejahatan mafia tanah tersebut.
Atas dasar itu Kapolri Listyo Sigit Prabowo langsung meminta jajarannya agar tidak ragu mengusut tuntas praktik mafia tanah yang fenomenal tersebut (demokratis.co.id, 10/12/2021).
Sebagaimana diberitakan di sejumlah media masa bila praktik jahat mafia tanah telah meluas dan merajalela di mana-mana, bahkan sudah mencapai fenomena masif. Kementrian ATR/BTN menyebutnya sebagai kejahatan yang bersifat extra ordinary yang dalam penanganannya diperlukan kerja sama dengan berbagai pihak terkait.
“Perlu upaya extra ordinary secara komprehensif dari berbagai lembaga terkait untuk memberantas mafia tanah. Jangan sampai muncul stigma dari masyarakat bahwa penegak hukum lemah terhadap gurita mafia tanah ini,” ujar Pakar Hukum dan Notaris seniar DR. Titin Suhartini, SH, MH, M.KN di Jakarta (demokratis.co.id, 9/12/2021).
Akan halnya dugaan adanya praktik-praktik kotor mafia tanah itu, kini melanda di pusaran pembebasan tanah/lahan proyek nasional Bendungan Sadawarna Subang, pada lahan tanah /lahan garapan Perum Perhutanai KPH Sumedang di Desa Suriamedal dan Tanjung, Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, membuat sejumlah penggarap lahan Perum Perhutani terdampak berpotensi tidak mendapat ganti rugi dan merasa dirampas haknya serta merasa dizolimi oleh oknum mafia tanah yang harus dipertanggungjawabkan Panitia Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) Kabupaten Sumedang.
Informasi yang dihimpun dan hasil investigasi lapangan menyebutkan, indikasi adanya permainan kotor mafia tanah pembebasan lahan/tanah Bendungan Sadawarna, terletak di Desa Sadawarna, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, kedapatan sejumlah penggarap tanah/lahan Perum Perhutani KPH Sumedang yang tergabung dalam wadah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Tanjung dan Suriamedal mengeluh dan mengadukan permasalahan ganti rugi tanah ke instansi terkait.
Akibat karut marutnya pendataan para penggarap yang dilakukan Asper/KBKPH Songgom, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara di bagian hulunya, sementara di bagian hilirnya merugikan sekolompok masyarakat serta melukai rasa keadilan warga terdampak.
Sebagai testimoni belakangan mencuat saat pendataan para penggarap tanah/lahan Perhutani KPH Sumedang terdampak proyek Bendungan Sadawarna yang tergabung dalam wadah LMDH Karya Mandiri (Desa Suriamedal) dan LMDH Wana Harja (Desa Tanjung) ditemukan banyak kejanggalan.
Modusnya dengan cara merekayasa dan manipulasi data, sehingga muncul sejumlah nama atau sejumlah nama yang hilang pada lahan obyek yang tidak semestinya atau tidak sesuai kenyataan di lapangan.
Rekayasan itu mulai dari merakayasa bukti penguasaan kepemilikan garapan tanah/lahan, bangunan, tanaman dan benda lainnya yang berkaitan dengan tanah, luas tanah, status dan dokumennya, dsb.
Saat itu para penggarap ingin mendapat penjelasan ihwal karut marutnya data yang disajikan pihak Perum Perhutani dengan menggerudug menyambangi kantor Asper/KBKPH Songgom (29/6), namun sangat disesalkan pihak Asper/KBKPH tidak ada keberanian untuk secara transparan menjelaskan di hadapan para penggarap tanah/lahan Perhutani, sehingga mereka sangat kecewa tidak mendapat pelayanan semestinya.
Hingga berita tayang, awak media belum memperoleh keterangan secara resmi dari pihak Asper/KBKPH Songgom.
Adapun sejumlah kejanggalan itu diantaranya jika merujuk data P2T Kabupaten Sumedang melalui surat No.141/12-32.11/FP/VI/2022, tanggal 15 Juni 2022 jumlah penggarap ada 196 orang/bidang, namun data yang disajikan Perum Perhutani melalui surat No.20/041.4/SGM/SMD/Divre-Janten/2022, tanggal 20 Juni 2022 membengkak menjadi 340 orang/bidang.
Sementara proses penetapan kerja sama kemitraan pemanfaatan lahan/tanah garapan antara Perum Perhutani dengan para penggarap tidak ditempuh secara lazim, seperti tidak digelar musyawarah terlebih dahulu dengan melibatkan para penggarap yang disaksikan unsur pemerintah desa setempat dan instansi terkait yang dianggap perlu.
Kejanggalan berikutnya dalam Surat Pernyataan Kerjasama Kemitraan antara Perhutani dengan LMDH Karya Mandiri (Desa Suriamedal) kedapatan dugaan pemalsuan tanda tangan Ketua LMDH Karya Mandiri (Desa Suriamedal) Amin. Sementara Surat Pernyataan tertanggal Juli 2021 itu diketahui Kepala Desa Suriamedal Lili Saripudin diduga palsu, pasalnya Lili Saripudin baru dilantik dan menjabat sebagai Kepala Desa Suriamedal pada 5 Nopember 2021.
Ironisnya lagi, patut dipertanyakan ada apa di balik pendataan sejumlah nama penggarap tanah/lahan di blok Bantar Kanyere (Desa Suriamedal) atas nama Dahri Cs (+ 40 org/bidang) malah disulap/diklaim oleh oknum mafia tanah menjadi nama Endang.ST Cs (+ 25 org/bidang) sesuai Peta Bidang Tanah Nomor 5369/Sadawarna/2018, tanggal 5 Nopember 2018, blok 21, malah diusulkan kembali untuk mendapatkan ganti rugi, padahal obyek tanah/lahan tersebut sudah mendapat ganti rugi yang diterima kelompok Endang, ST Cs yang diduga sebagai kelompok fiktif senilai lebih dari Rp5 miliar dengan luasan tanah garapan 79.729 m2. Sementara kelompok Dahri Cs yang sudah menggarap tanah/lahan itu antara 20-30 tahun terpaksa harus gigit jari.
Sementara pihak Asper/KBKPH Songgom hingga berita ini tayang belum bisa dimintai keterangan.
Pentolan El-Bara Yadi Supriadi, S.Thi yang melakukan pendampingan para penggarap tanah/lahan Perum Perhutani saat dimintai tanggapan seputar kasus itu (30/6) menyebutkan, ulah oknum mafia tanah ini menurutnya bisa dianggap sebagai menggagalkan proyek yang bersifat strategis itu, lantaran proyek ini lebih bersifat untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak.
“Oleh karenanya kami minta pihak aparat penegak hukum tangani kasus ini dengan seadil-adilnya. Karena kemana lagi masyarakat mencari keadilan selain ke meja pengadilan,” tandas Yadi.
“Pihak APH janganlah bermain-main di wilayah pusaran sengkarut pembebasan lahan/tanah proyek Bendungan Sadawarna. Dudukan persoalan ini setara di mata hukum, equality before the law sehingga warga yang mencari keadilan merasa puas dalam layanan hukum,” ujarnya.
Atas kasus itu pihaknya mendesak aparat penegak hukum (APH) segera turun tangan untuk menyelidiki terendusnya dugaan pelanggaran hukum di seputar fenomena pembebasan lahan/tanah pembangunan proyek Bendungan Sadawarna.
Lebih jauh dikatakannya bahwa mafia tanah sudah merusak tatanan hukum. Dampaknya sekelompok warga terkena dampak Bendungan Sadawarna merasa diperlakukan tidak adil dan kehilangan hak-haknya.
Di bagian ahir pembicaraannya, menurut Yadi, konstitusi kita telah mengatur bahwa setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman, dan perlindungan.
“Problematika mafia tanah di pusaran proyek Bendungan Sadawarna sungguh berpotensi merugikan keuangan negara dan melukai rasa keadilan masyarakat terdampak,” pungkasnya. (Abh)