Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Renungan HUT Kemerdekaan Ke-76

Oleh Masud HMN*)

Peristiwa 14 Desember 2020 di km 50 Jalan Tot Cikampek adalah peristiwa terbunuhnya enam orang anggota Front Pembela Islam (FPI) oleh polisi. Kasus tersebut terjadi delapan bulan lalu, menjadi persoalan serius sampai detik ini. Masih belum jelas penanganannya hingga kini. Artinya, masih merupakan kasus hak asasi manusia (HAM) terus bergulir.

Sebagai renungan hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 kasus HAM itu terasa mengganggu dan membawa keprihatinan. Makna kemerdekaan tergerus. Seharusnya sejalan dengan komitmen penegakan hukum dan HAM. Kemerdekaan tanpa komitmen aparatur negara menegakkan hukum dan HAM akan menjadi hambar dan tak bermakna.

Bagaimanapun sesungguhnya kita rakyat Indonesia mencita-citakan kemerdekaan dalam kehidupan bersmasyarakat dan bernegara. Sudah tentu berkaitan dengan kemampuan aparatur negara melaksanakannya. Inilah kemerdekaan yang didambakan dan yang dinantikan. Implimentasi substansi hak asasi manusia.

Sesungguhnya, Indonesia pada tahun 2005 telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang perlindungan hak sipil dan politik. Sebelumnya pada tahun 1999 setelah bergulirnya reformasi, juga telah disahkan amandemen Undang-undang Dasar (UUD) yang mencantumkan penghormatan HAM pada Pasal 28 UUD yang diamandemen. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi HAM. Disusul pula pembentukan Pengadilan HAM berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000.

Komisi HAM adalah lembaga yang bertugas mengawasi implementasi HAM di Indonesia. Artinya, adanya pelanggaran penanganannya adalah melalui lembaga tesebut. Termasuk adanya pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Pengadilan HAM.

Dengan perangkat ini tersirat tekad kita sebagai bangsa Indonesia untuk merdeka. Secara hakikat tidak bisa dipungkiri HAM itu sebagai hak dasar manusia yang harus dihormati. Hak yang dimiliki sejak lahir.

Presiden Sukarno dalam pidatonya 17 Agustus 1959 menyatakan rakyat di mana saja di muka bumi menuntut kebebasan. Menuntut hak mengeluarkan pendapat dan hak lainnya.

Relevan juga kita mengutip pidatonya dalam Indonesia Menggugat. Sukarno menyampaikan bahwa kemerdekaanlah yang membawa manusia bermartabat. “Manusia jajahan merupakan manusia hak asasinya tercabut diperlakukan semena-mena diingkari martabatnya dinistakan harkatnya,” kata Sukarno.

Dengan paparan di atas kesimpulan kita adalah persoalan kasus terbunuhnya enam anggota Front Pembela Islam (FPI) kasus HAM yang serius belum tertangani tuntas. Hal itu menggantung jadi tak menentu. Kedepan hal itu tetap menjadi tantangan penegakan hukum kita.

Apa jadinya jika ada masalah bagaikan duri dalam daging. Menjadi infeksi yang mengendap tanpa kejelasan atau kepastian. Negara yang kuat memerlukan kejelasan dan kepastian. Negara tanpa kepastian hukum atau unlawpull killing apa kabar?

Akhirnya, para penegak hukum bersama para politisi dan masyarakat harus menyadari. Kita harus berusaha menegakkan hukum dengan transparan dan adil. Membangun hukum sesuai filosofi Pancasila yang kita anut.

Meskipun hak asasi tidak mudah melaksanakannya kita sadari bersama, yang jelas kita tak boleh mundur, atau berhenti memperjuangkannya. Sebabnya bila kita mundur, atau berpangku tangan maka masyarakat bisa menjadi putus asa. Padahal berputus asa adalah dosa. Tentu tak kita inginkan.

Jakarta, 13 Agustus 2021

*) DR Masud HMN adalah Dosen Pascsarjana Universitas Muhammmadiaah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles