Jakarta, Demokratis
Rapat Panja Revisi Kehutanan yang digelar oleh Badan Legislasi yang membahas RUU Cipta Kerja yang berlangsung Rabu, 23 September 2020 di Gedung DPR Jakarta, kembali muncul tudingan Revisi UU Kehutanan disebut sebagai pesanan pelaku pengrusakan hutan yang selama ini belum banyak tersentuh alias masih bebas melenggang.
Muncul dua model dalam perdebatan dalam rapat di Baleg, yakni mengatur sanksi adaministratif denda Rp 1 miliar dari Rp 25 miliar yang diatur dalam UU yang lama atau hukuman pidana.
Wacana lain yang muncul supaya dibuatkan pengaturan pejabat yang memperlambat perizinan berusaha di kehutanan agar diberikan sanksi berat dalam UU Kehutanan yang baru.
“RUU Cipta Kerja ditujukan untuk mengundang investor dengan tujuan untuk membuka lapangan kerja baru. Di sisi lain terbitnya perizinan sampai waktu bertahun-tahun. Saya mempertanyakan sanksi bagi pejabat yang memperlambat terbitnya izin, sanksinya apa? Sedangkan UU Cipta Kerja memberi sanksi berat bagi pengusaha yang tidak berizin,” kata anggota Baleg Darmadi Durianto dari Fraksi PDI Perjuangan.
“Selain itu, saya minta sanksi denda dikembalikan ke UU yang lama bahkan lebih besar seharusnya oleh pengusaha kartel. Bukan malah turun jadi Rp 1 miliar dalam rancangan UU yang baru. Tampak di sini RUU ini pesanan pengusaha,” ungkap Darmadi wakil rakyat dari wilayah Jakarta Utara-Barat.
Yang menarik dalam rapat Baleg berlangsung perdebatan filosofis tentang sanksi. Anggota Baleg ikut terbelah antara kubu pemidanaan atau kubu sanksi administratif sebagai bagian restorative justice yang dianut oleh banyak negara.
Sanksi administratif dijadikan pasal baru karena UU Kehutanan yang lama yang mengatur pidana berat tidak aplikatif sejak berlakunya. Sedang yang mempertahankan sanksi pidana berat berargumen bahwa sanksi administratif atau perbuatan adalah sama-sama perbuatan pidana juga.
Ali Taher dari Fraksi PAN lebih lugas mengatakan, hukum dibuat untuk mengatur sanksi agar hukum ditegakkan. Hukum ditegakkan dengan cara berkeadilan. Jangan karena menghukum pelaku pencuri dua batang kayu dipenjara bagi masarakat yang bertempat tinggal di kawasan hutan, sementara pengusaha tanpa izin cuma diberi sanksi ringan, ini tidak adil.
Abdul Wahid dari Fraksi PKB membedah dan mencontohkan hutan di Riau seluas 1 juta hektar dikuasai secara ilegal oleh pengusaha tanpa berizin atau melampaui izin yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan.
“Sementara masyarakat kesulitan mencari kayu untuk pesta adat Pacu Jalur di Kuantan Sengingi, Riau, karena hutan sudah bukan hutan adat lagi,” tegasnya. (Erwin Kurai)