Subang, Demokratis
Maraknya tudingan miring yang ditujukan kepada sejumlah oknum Jaksa di Kejari Subang, Provinsi Jawa Barat belakangan ini nampaknya bukan tanpa sebab. Jika kedapatan sejumlah terdakwa mengaku telah diperas dan kemudian buka mulut, itu merupakan indikasi jika perbuatan tercela itu patut diduga memang ada benarnya.
Kegelisahan masyarakat terhadap tindak tanduk sejumlah oknum Jaksa Kejari Subang yang muncul bak Robin Hood sungguh meresahkan dan makin ganas.
Bedanya, jika Robin Hood merampok dan memeras demi membela kaum miskin. Sedangkan Robin Hood ala Kejari Subang merampok dan memeras mangsanya (baca: korban) demi memperkaya diri sendiri.
Seperti belakangan ini keluhan yang disampaikan oleh sejumlah keluarga tersangka dugaan tindak pidana umum kepada Raja Lembaga Adat Karatwan (LAK) Galuh Pakuan. Dengan nada menjerit mereka mengaku telah dikemplang (baca: dimintai uang) puluhan juta hingga ratusan juta oleh oknum jaksa yang menangani perkara terdakwa.
“Dalihnya, uang sebesar itu bukan untuk dirinya oknum saja melainkan juga untuk pimpinan dan menjual nama Kejati sebagai instansi yang berwenang membuat Rentut (Rencana Tuntutan). Jika sudah begini, biasanya korban yang umumnya bersalah – tak dapat berbuat apa-apa lagi, kecuali menerima tawaran Robin Hood,” ujar pentolan Raja LAK Galuh Pakuan Evi Silviadi SB saat ditemui awak media di kediamannya, baru-baru ini.
Menurut Evi Silviadi SB, banyak laporan keluarga terdakwa yang tengah berperkara di Kejari Subang dan mengadu kepadanya terkait dugaan pemerasan yang dilakukan oknum Jaksa terhadap sejumlah terdakwa.
Evi menyebut, jurus yang dilancarkan untuk memperdaya terdakwa oknum Jaksa tersebut dalihnya untuk meringankan tuntutan di Pengadilan ketika persidangan berlangsung kelak.
“Modus operandi yang diterapkan oknum sejumlah Jaksa tersebut dengan menerapkan standar ganda terkait tuntutan lamanya masa hukuman, bukannya mempertimbangkan materi hukum,” ujar Evi.
Evi menjelaskan, pengaduan dari keluarga korban, hingga saat ini sudah tercatat sebanyak 11 orang. “Terkait nominal uang yang diminta oknum Jaksa, baik berapa nilainya, siapa itu oknum jaksanya, semuanya ada di kantong saya,” terang Evi.
Dia menambahkan, ihwal semua pengaduan sudah dikomunikasikan dengan pihak Jamwas Kejagung RI.
Pihaknya mendesak agar Kejari Subang yang baru menjabat DR. Amal Kodrat, SH. M.Hum untuk menertibkan oknum Jaksa yang berbuat culas dan menghianati doktrin ‘Tri Krama Adhiyaksa’. “Agar penegakkan hukum di Kabupaten Subang tidak menajdi preseden buruk,” tandasnya.
Terpisah, seperti dilansir Porosjabar.com Kasi Intelkam Kejari Subang Ahmad Adi menanggapi, jika memang faktanya ada, dirinya mempersilahkan korban untuk melapor ke Kejari Subang. “Kalau ada bukti, silahkan laporkan ke kami oknum Jaksa dimaksud,” ujarnya melalui pesan singkat.
Aktivis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi-RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang U. Samsudin saat dimintai tanggapan sehubungan maraknya tudingan miring yang disampaikan sejumlah kalangan masyarakat di Kabupaten Subang terhadap institusi Kejaksaan setempat menyesalkan jika benar kedapatan oknum Jaksa yang culas itu.
“Bagaimana mungkin supremasi hukum bisa ditegakkan bila dianalogikan membersihkan lantai dengan sapu yang kotor,” tandasnya.
Jika kita sepakat di hadapan hukum semua warga bangsa berada pada posisi yang setara (equal) maka tinggal kepatuhan terhadap hukumlah yang diperlukan.
Menurutnya, selama ini orang beranggapan bahwa penegakkan hukum hanyalah kewajiban bagai aparat pemerintahan saja. Akibat anggapan yang sudah terlanjur salah kaprah itu, akhirnya kekuasaan seperti memiliki kewenangan untuk memperlakukan hukum sesuai dengan perspektifnya sendiri.
Padahal, lanjut Samsudin, dengan adanya hak publik, semestinya masyarakat pun memiliki kewenangan yang sama untuk menegakan hukum dan menunjukan saksi hukum yang mesti diterima bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran tak terkecuali oknum jaksa selaku penegak hukum.
“Dengan melakukan pengawasan dan penegakan hukum, yang dilakukan para aktivis seperti LAK Galuh ini maka peluang terjadinya manipulasi hukum akan bisa diminimalisir,” ungkapnya.
Dia mengungkapkan bahwa merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar bagi seorang Jaksa untuk memahami dan mengamalkan Doktrin Kejaksanaan “Tri Krama Adhyaksa”.
Diuraikannya, (1) SATYA : Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur. Baik terhadap Tuhan YME, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia (2). ADHI : Kesempurnaan dalam bertugas dan pemilikan rasa tanggung jawab yakni bertanggung baik terhadap Tuhan YME, terhadap keluarga dan terhadap sesame manusia (3). WICAKSANA : Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangannya. (Abh)