Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Rocky Gerung Dilarang Berbicara Seumur Hidup

Bagian 2 dari 5 Tulisan

Lawan. lawanlah! sebelum langit bersimbah darah. diam atau berpangku tangan adalah bencana dan kematian  di mana-mana. angin akan mengabarkan ke seluruh benua dan samodra. burung-burung camar singgah di geladak kapal yang berlabuh. tafakur dalam senyap.

Lawan. lawanlah! itu artinya kita berikhtiar dari bencana dan kesesatan. sebab cerdik pandai dan kaum inteletual telah melacurkan diri di mana-mana. Langit jingga menjelma menjadi gelap gulita.  matanya gerhana dan pandangannya berkunang-kunang.

Lawan. lawanlah! angin yang menderu-deru dan ombak dan gelombang yang berbuncah-buncah. akan datang silih berganti dari musim ke musim. lawan. lawanlah! sebelum kekuasaan menjadi berhala. sebelum bencana menjemput takdir sosial.

Lawan. lawanlah! karena tuhan tidak akan menjelma menjadi hantu apalagi mematung dalam ar-robbnya. lonceng kematian akan menjemput ajalnya. matahari akan menyala di atas ubun ubun. jika kita tegak lurus memandangnya.

Singaraja, 26.7.2023.

(0’ushj.dialambaqa-Pusisi: NEGERI ADAKADABRA)

 

Panggung Sensasi Perkomhan

Untuk menggapai panggung sensasional tidak hanya dilakukan ADT (Advokat David Tobing) dkk, ternyata untuk bisa menggapai panggung sensasional juga dilakukan oleh Perhimpunan Pejuang Pembela Korban Mafia Hukum dan Ketidakadilan (Perkomhan) melakukan gugatan perdata ke PN. Cibinong Bogor, Kamis (10/8/2023).

Gugatan dengan klasifikasi perbuatan melawan hukum (PMH), dengan nomor perkara: 271/Pdt.G/2023/PN Cbi. Gugstan digelar Rabu, 30/8/2023 di PN Cibinong. Para penggugat adalah Ketua Umum Perkomhan Priyanto, Wasekjen Perkomhan Berman Sahat, Anggota Bantuan Hukum Perkomhan Yupiter Yopi Soselisa, dan Ketua Humas Perkomhan Supartono.

Argumentasinya, Presiden merupakan lembaga tinggi negara yang menjalankan fungsi eksekutif. Dalam hukum perdata, subyek hukum Presiden ada dua, yaitu orang secara biologis (natuurlijk person), dan badan hukum (recht person) yang kedudukannya sama seperti manusia yang mempunyai hak dan kewajiban.

Sebagai lembaga tinggi negara, Presiden termasuk badan hukum publik, secara perdata sama seperti manusia mempunyai hak dan kewajiban, harus dihormati, tidak boleh dihina. Menghina dan melecehkan Presiden sama dengan melecehkan lembaga tinggi negara.

Oleh Perkomhan, RG dinilai telah menyampaikan kalimat provokatif dan tidak patut di hadapan buruh pada acara Konsolidasai Akbar Aliansi Aksi Sejuta Buruh di Bekasi tanggal 29 Juli 20123. RG dinilai telah mengeluarkan pernyataan yang tidak benar atau bohong yang dapat menimbulkan keonaran di masyarakat terkait dengan pemilu yang sebentar lagi akan dilaksanakan.

Perkomhan, menyebut telah mengeluarkan biaya dalam proses perjuangan untuk menegakkan hukum, membela kehormatan dan martabat Presiden melalui jalur hukum yang benar. Kerugian materiilnya sebesar Rp 25 juta dan kerugian imateriil Rp 2 miliar.

Petitumnya sebagai berikut:

»Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan. hukum’

»Menghukum tergugat untuk meminta maaf atas perkataannya kepada masyarakat Indonesia secara terbuka disaksikan oleh penggugat dalam waktu 1×24 jam sejak putusan ini memperoleh kekuatan hukum tetap.

»Menghukum tergugat untuk menarik perkataannya yang menyatakan Presiden Jokowi bajingan tolol dalam waktu 1×24 jam setelah perkara ini memiliki kekuatan hukum tetap.

»Menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 25.000.000.
»Menghukum tergugat membayar kerugian imateriil sebesar Rp 2.000.000.000 (dua miliar)
»Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat Pengadilan. Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain, PENGGUGAT mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Jika kita membaca gugatan dan petitumnya cukup meggelikan. Mereka orang hukum dan advokat lagi. Mustinya paham yang mereka jelaskan sendiri bahwa Presiden sebagai natuurlijk person dan recht person, tetapi yang melakukan gugatan adalah dirinya, bukan Jkw sebagai Presiden. Jika kata-kata RG dikatakannya menghina Presiden, mengapa yang terhina dirinya. Lucu bin menggelikan.

Perkomhan mendalilkan sesuatu, tetapi mereka sendiri tidak mengerti apa sesuatu itu apalagi mau paham. Aneh tapi nyata. Bayangkan, jika Presiden itu merupakan lembaga publik dan atau badan hukum lantas dipersonifikasi sebagai manusia (ber-ruh), bukan benda dan atau barang mati, seharusnya yang melakukan gugatan adalah manusia yang dipersonifikasikan sebagai badan hukum publik, bukan Perkomhan yang menggugat.

Sebagai badan publik atau badan hukum publik, dimana pejabat publik ada di dalamnya, tentu, hak publiknya adalah publik berhak menuntut dan atau melakukan gugatan jika dianggap kebijakannya melanggar konstitusi dan atau regulasi, bukan pejabat publik yang ada di dalamnya menuntut publik yang mengkritik dan atau yang (dianggap) menghina karena kebijakannya buruk.

Sebagai Lembaga Negara yang mereka maknai dengan sebutan badan hukum publik, tidak bernyawa, tidak punya perasaan apa-apa jika ada yang menghina dan atau mengkritik. Tidak akan tersinggung, karena itu barang dan atau sesuatu yang tak punya rasa-perasaan. Tidak bisa melakukan gugatan atau menuntut, karena tak punya mata, tak punya telinga dan tak punya organ hati ataupun otak. Tidak seperti para penggugat dari Perkomhan.

Presiden sebagai lambaga negara adalah benda dan atau barng mati, tidak punya perasaan dan tidak punya ruh untuk bisa berlogika dan berakal waras. Jika lembaga Presiden dianggap-dijadikan sebagai person, maka Jkw-lah sebagai Presiden yang harus melakukan gugatan, bukan Perkomhan. Jungkir balik amat logika dan akal warasnya.

Yang aneh tapi nyata, alasan bahwa Perkomhan sudah banyak mengeluarkan biaya, sebesar Rp 25 juta untuk memperjuangkannya, yang kemudian didalilkan untuk menjadi gugatan materiil. Jika Perkomhan telah mengeluarkan banyak biaya, siapa yang menyuruhnya?

Jika Perkomhan punya logika dan akal waras, tentu, minta biaya pengganti pengeluaran sebesar Rp 25 juta itu kepada yang menyuruhnya. Misalnya, jika atas order apakah Kakak Pembina dan atau Presiden, mintalah sama mereka, bukan RG yang harus mengganti biaya pengeluaran tersebut. .Jika atas inisiatifnnya sendiri sebagai pejuang, kok sebagai pahlawan minta ganti ongkos-biaya pengeluaran. Yang benar saja. Dalam kamus pejuang, tidak ada pamrih dalam perjuangannya, kecuali pejuang gadungan atau yang mengklaim sebagai pejuang.

Mintalah ganti rugi kepada Presiden dan atau yang menyuruh karena telah berjuang dan atau memperjuangkan harkat dan martartabat Jkw sebagai Presiden dan atau Istana. Supaya tidak menjadi bahan tertawaan yang menjijikkan dan olok-olok publik yang punya logika dan akal waras. Kok nuntut ganti biaya pengeluaran sebesar Rp 25 juta sama RG. Memangnya RG yang menyuruh atau sedang bersandiwara dengan Perkomhan. Naif betul.

Perkomhan juga rupanya tengah mengigau-bermimpi di siang bolong dalam cuaca perubahan iklim yang sangat menggerahkan banyak orang. Igauan dan atau mimpinya menjadi milyader dadakan dan atau menjadi Orang Kaya Baru dengan ongkang-ongkang saja, maka satu-satunya cara yang ditempuhnya adalah mengajukan gugatan imateriil senilai Rp 2 milyar. Sungguh menjijikkan amat atas kenaifan tersebut.

Ini benar-benar seperti acara tv dalam “Dunia Lain”. Rp 2 miliar tersebut sebagai harta karun. Padahal, untuk mendapatkan harta karun saja dalam dunia lain harus lulus uji nyali. Seharusnya  Perkomhan mendatangani Perdukunan Penggandaan Uang, bukan mendatangi PN. Cibinong-Bogor. Salah alamat. Apa hendak dikata, itu realitas konkretnya, karena katak Sudah Menjadi Harimau. Lantas, akankah Majelis Hakim sebodoh itu dan atau sedungu itu mau mengabulkan gugatannya?

 

Panggung Sensasional-DPP. TMP-PDIP

Hal yang serupa juga dilakukan Advokat Rolas Sitinjak di bawah payung DPP. Taruna Merah Putih (DPP. TMP) juga melakukan gugatan perdata di PN. Jakarta Pusat (PN Jak-Pus), dengan nomor perkara: 512/Pdt.G/2023/PN Jkt.Pst. DPP. TMP merupakan sayap dari PDIP. Begitu pengakuannya di media. DPP.TMP adalah sayap PDIP, begitu pengakuannya di media.

Sebagai Tergugat 1 adalah RG. Gugatannya sama dengan gugatan perdata ADT. Tergugat II adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sidang pertama digelar Rabu, 23/8/2023, sidang lanjutan digelar 6/9/2023 di PN. Jak-Pust.

Dalam pokok perkara disebutkannya sebagai berikut:

»Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

»Menghukum Tergugat untuk tidak mengucapkan hinaan kepada Kepala Negara Republik Indonesia sebagai representasi Penggugat selaku Warga Negara Indonesia;

»Menghukum Tergugat untuk tidak menjadi pembicara, narasumber, wawancara baik monolog maupun dialog di berbagai acara yang diselenggarakan di suatu tempat, televisi, radio, seminar-seminar, universitas dan melalui media elektronik YouTube, Instagram, Treads, TikTok, Twitter, Facebook, Zoom, Google Meet, Microsoft Teams, dan sejenisnya selama seumur hidup;

»Menghukum Tergugat untuk membayar uang meterai Rp 10.000,- (sepuluh ribu);

»Menghukum Tergugat II supaya mengeluarkan keputusan untuk melarang Tergugat untuk tidak menjadi pembicara, narasumber, wawancara baik monolog maupun dialog di berbagai acara yang diselenggarakan di suatu tempat, televisi, radio, seminar-seminar, universitas dan melalui media elektronik YouTube, Instagram, Treads, TikTok, Twitter, Facebook, Zoom, Google Meet, Miscrosoft Teams, dan sejenisnya selama seumur hidup;

»Membebankan biaya perkara kepada Tergugat.

Ini juga aneh tapi nyata. DPP.TMP meminta Pengadilan Negeri melarang seseoran (RG) berbicara di muka umum, seminar, kampus, media dan seterusnya. Padahal mereka ngomong soal demokrasi dan Pancasila. Apakah para Hakim akan setolol itu, mengabulkan gugatannya?

Lebih aneh tapi nyata gugatan ke KPI. Apa advokat DPP. TMP tidak mengerti hukum atau hanya sekedar mencari panggung sensasional, karena miskin pemikiran dan atau gagasan dalam pertarungan sejarah pemikiran intelektual.

Era rezim penguasa Orba-Soeharto pelarangan penerbitkan buku dan atau peredaran buku, itu dilakukan oleh Kejaksaan Agung yang secara formal mengeluarkan surat keputusan atas pelarangan tersebut. Bahkan Kejaksaqan Agung (seingat penulis) belum pernah menerbitkan keputusan melarang seseorang berbicara dalam berbagai forum.

Rezim penguasa Orba dalam permainan larangannya memainkan peran Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata RI-TNI-Polri), Polri dengan rirarki instrument institusionalnya hingga Polres dan Polsek, Tentara-Kodam dengan hirarki institusionalnya hingga Kodim dan Koramil dan memainkan institusional sipil juga, yaitu P&K dan Kepala Desa melalui mekanisme Babinsa.

P&K, mempunyai peran dan fungsi strategis segala kegiatan seperti seminar-diskusi, pementasan teater, lomba baca puisi, kumpul-kumpul dialog pemikiran, mengundang pembicara dalam suatu acara, harus mendapatkan ijin dari Aparat Negara setempat dan atau berkoordinasi, apakah dibolehkan atau dilarang.

Di sinilah permainan politik dan keuasaan diolah menjadi pelarangan yang mendalilkan stabilitas politik dan atau negara; dilarang bicara jika bersebrangan dengan kekuasaan dan atau politik kekuasaan Orba-Soeharto saat itu.

Maka, gerakan reformasi menjadi keharusan dan atau keniscayaan sejarah, menjadi panggilan sejarah, karena otoritarianisme menjadi bencana bagi demokrasi dan Pancasila, lebih utama lagi untuk (gerakan) pemikiran intelektual akademik. Yang akhirnya rezim penguasa Orba-Soeharto tumbang pada 21/5/1998 diterjang gelombang reformasi.

Oleh karena itu, KPI hanya berhak digugat publik, jika KPI melakukan pembiaran terhadap  tayangan televisi (media penyiaran) dan atau sinetron yang jelas-jelas memenuhi unsur pornografi, tindak kekerasan yang didramatisir dan tanyangan-tayangan yang kejam, tidak beradab yang sengaja dipertontonkan ke publik untuk meraup keuntungan material dan atau atau ada motif politis dibalik penayangan tersebut. Tetapi untuk persoalan film-film sejarah dan dokumenter, KPI juga tidak berhak melarang, sekalipun ada kekejaman atau kebiadaban yang ditayangkan.

Oleh karena itu, baik ADT dkk, Perkomhan dkk dan DPP. TMP dkk hanya sekedar ingin menggapai panggung sensasional, yang bagi mereka sangat sulit bisa ditembus untuk menjadi popularitas perbincangan publik dan atau mungkin target sederhananya adalah biar dikenal sebagai advokat yang berujung untuk bisa menarik calon kliennya.

Kemampuan dalam banyak hal sebagai intelektual publik adakemik, mereka tidak menjadi bagian dari referensi publik dalam pertarungan sejarah pemikiran intelektual. Pertarungan pemikiran dan politik pemikiran menjadi kandas.

Akhirnya, setelah selesai masa gugatan perdata dan atau pidana seperti yang dilakukan seperjuangannya, akan kembali pada habitatnya semula, bukan menjadi habitat di ruang publik yang sarat dengan pertarungan intelektual akademik untuk bisa hadir dan atau tercatat dalam sejarah pertarungan pemikiran, apalagi jika harus menjadi literature publik akademik.

Hal itu sesuatu yang amat naif bisa mereka gapai karena sayap-sayapnya patah, sehingga tidak mampu terbang bebas tinggi ke angkasa pemikiran. Tentu, kita masih ingat, lorong kecil di Jerman yang bernama Frankfurt yang melahirkan para pemikir besar, tidak saja melahirtkan para filsuf, sosiolog, budayawan dan seterusnya, karena mereka berpikir maka mereka ada (Rene Descrates), bukan seperti yang dilakukan mereka-mereka dengan menempuh jalan sensasional yang manipulatif-kamuflase.

Dalam demokrasi, kita sepakat untuk tidak selalu sepakat, begitu juga dengan pendapat atau pemikiran RG. Sekali lagi, karena RG bukan Malaikat atau Nabi atau Rosul.  Kita tidak harus sepakat dengan pemikiran RG. Kita tidak bisa memaksakan orang lain atau melarang orang lain untuk tidak boleh mengundang RG dalam berbagai forum. Kita sama sekali tidak berhak melarang jika ada yang sepakat dengan pemikiran RG.

Karena, jika begitu, kita mempertontonkan kedunguan yang sekaligus jika maunya begitu, maka negara kita harus menjadi Negara komunis atau Fasis, bukan negara demokrasi dan Pancasila, sehingga kekuasaan menjadi absulut, dan tanpa batas.

Sehingga, keinginan ADT dkk, Perkomhan dan DPP. TMP-PDIP, niscaya-pasti bisa seperti yang diinginkannya. Jika negara tetap memilih sistem demokrasi dan Pancasila, itu persoalannya, keinginan dan impian ADT dkk, Perkomhan dan DPP. TMP-PDIP, pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan pastilah terhalang.

Negara tidak bisa melarang RG untuk dilarang berbicara seumur hidupnya diberbagai forum apapun. Yang bisa dilakukan jika ada kedengkian pada RG, boleh saja tidak mengundang RG. Sekali lagi, jika maunya melarang RG atau yang lain berbicara, karena bersebrangan dengan rezim penguasa, dimana kekuasaan itu adalah sacral dan absolut dan atau rezim penguasa itu dianggap orang suci, maka konstitusi negara kita harus diganti, menjadi Negara Komunis, bukan negara demokrasi-Pancasila.

Sehingga, apa yang diinginkan ADT dkk, Perkomhan dkk, DPP. TMP dkk dan  atau para pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan bisa menjadi konkret, menjadi terpenuhi apa yang dikehendakinya, dimana politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik itu menjadi ansolut.

Mereka-mereka tak perlu cemas apalagi khawair, negeri ini Insya Allah tidak akan bisa menjadi Negara Khilafah. Itu sangat amat naif. Sangatlah tidak mungkin, karena Piagam Madina yang terdiri dari 47 pasal bukanlah sebuah identitas untuk mendalilkan menjadi Negara Khilafah.

Yang masih memungkinkan di negeri ini adalah menjadi Negara Neo-Komunis-KGB (Komunis Gaya Baru) secara politik dan kekuasaan, apalagi pilihan froksinya adalah China Komunis,.Meneruskan perjuangan Soekarno untuk mewujudkan Indonesia Poros Peking yang gagal diwujudkan oleh rezim penguasa Orla-Soekarno dengan  adanya peristiwa G30S-PKI.

Jika jujur, kita hakikinya tidak lagi menjadi Negara Non Blok, atau NKRI tetap bertopeng demokrasi-Pancasila tetapi praktik kekuasaannya adalah ber-Ruh-Komunis. Itu yang masih memungkinkan, karena ada realitas empirik sebagai sebuah fakta yang bisa lakukan dengan pembacaan semitioka dan hermetika seperti yang dilakukan oleh mereka-mereka yang melarang sesorang berbicara seumur hidup dalam berbagai forum, bahkan dilarang di kampus-kampus, bahkan tak segan-segan melakukan persekusi.

Jika seperti itu, konkret betul sebagai potensi cikal bakal untuk menjadi KGB yang bertopeng-berjubah demokrasi dan Pancasila. .Jangan lupakan Jas Merah: Sejarah Kelam Kebudayaan kita yang puncaknya di tahun-tahun 1960-1965an. Politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik menjadi berhala, kekuasaan menjadi absolut. Begitu juga dengan rezim penguasa Orba-Soeharto yang  tumbang  oleh hukum sosial sejarah kebudayaan, melawan kodrat. ***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles