Bagian 3 dari 5 Tulisan
Lawan. lawanlah! sebelum langit bersimbah darah. diam atau berpangku tangan adalah bencana dan kematian di mana-mana. angin akan mengabarkan ke seluruh benua dan samodra. burung-burung camar singgah di geladak kapal yang berlabuh. tafakur dalam senyap.
Lawan. lawanlah! itu artinya kita berikhtiar dari bencana dan kesesatan. sebab cerdik pandai dan kaum inteletual telah melacurkan diri di mana-mana. langit jingga menjelma menjadi gelap gulita. Â matanya gerhana dan pandangannya berkunang-kunang.
Lawan. lawanlah! angin yang menderu-deru dan ombak dan gelombang yang berbuncah-buncah. akan datang silih berganti dari musim ke musim. lawan. lawanlah! sebelum kekuasaan menjadi berhala. sebelum bencana menjemput takdir sosial.
Lawan. lawanlah! karena tuhan tidak akan menjelma menjadi hantu apalagi mematung dalam ar-robbnya. lonceng kematian akan menjemput ajalnya. matahari akan menyala di atas ubun ubun. jika kita tegak lurus memandangnya.
Singaraja, 26.7.2023.
(0’ushj.dialambaqa-Pusisi: NEGERI ADAKADABRA)
Kepiluan Akademik
ADT-Perkomhan-DPP. TMP-PDIP-dkk ngotot bahwa Presiden adalah sebagai simbol atau lambang negara, dan ternyata tidak hanya ADT yang ngotot mengatakan itu, bahkan tidak sedikit sang profesor-Istana pun bunuh diri dengan mempertontonkan hal yang sama dengan ADT.
Padahal konstitusi (UUD’45) merupakan teks-book, yang tidak perlu menggunakan nalar, logika dan akal waras. Karena kita sudah tidak lagi memperdebatkan atau menyoal, misalnya, kenapa ada simbol dan ada lambang, apa bedanya?
Jadi tinggal hafalan yang dikuliahkan para dosen atau sang profesor, bahwa menurut UUD’45 ada simbol dan ada lambang, yang simbol negara apa saja dan yang menjadi lambang negara apa saja. Tidak perlu diperdebatkan, sudah harga mati, karena kita akan menjadi dungu akhirnya jika menyoal apa bedanya lambang dengan simbol yang dipakai oleh negara, perumus konstitusi.
Lantas bisakah kita membayangkan jika Presiden itu oleh sang dosen dan sang profesor mengatakannya sebagai simbol atau lambang negara. Bagaimana mutu mahasiswanya yang dikuliahi mereka dengan nalar dan logika sesat?
Yang menarik, sekaligus menggelikan, memilukan dan memedihkan adalah ngototnya mereka bahwa Presiden adalah simbol negara. Tidak hanya BR (Benny Rhamdani) dkk yang ngotot, ADT dan bergerbong-gerbong kawan-kawan lainnya yang sekaligus akademisi, juga ngotot bahwa Presiden adalah simbol negara.
Bahkan ada profesor-Istana, dalam dialog televisi soal pasal penghinaan, juga ngotot bahwa Presiden adalah simbol negara. Lawan dialognya berkali-kali mengingatkannya bahwa Presiden bukanlah simbol negara. Tentu, dalam acara dialog di televisi tersebut disaksikan dan atau didengar atau ditonton jutaan publik tanpa kecuali para mahasiswa yang berada dalam ruangan dialog tersebut. Aneh tapi nyata, tetap ngotot bahwa Presiden adalah simbol negara.
Bisakah kita membayangkan, bagaimana jika para mahasiswanya menjawab soal ujian smeseter yang ia berikan, kemudian para mahasiswa menjawabnya, bahwa Presiden bukan sebagai simbol dan atau lambang negara, karena UUD’45 pasal 35 menyatakan simbol negara adalah Bendera; Merah-Putih.
Pasal 36 mengatakan, simbol negara adalah Bahasa; Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pasal 36A adalah Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pasal 36B menyebutkan simbol negara adalah Lagu Kebangsaan, yaitu, Indonesia Raya.
Akankah para mahasiswa dinyatakan TIDAK LULUS, karena tidak sesuai dengan pendapat sang dosen dan atau sang profesornya? Bayangkan, bahwa soal simbol dan atau lambang negara itu adalah soal hafalan, bukan soal bagaimana kita harus menggunakan nalar, logika dan akal waras, yang bersifat akademik.
Sungguh menggelikan, memilukan dan memedihkan kita sebagai bangsa yang masih punya logika dan akal waras jika para akademisinya seperti itu.(0’ushj.dialambaqa: Ketimuran, Kedaban dan Keberadaban-Studi Kasus RG: Bajingan-Tolol dan Pengecut. Bagian 2 dari 5 Tulisan).
Jika mahasiswa tersebut dinyatakan TIDAK LULUS, betapa buruknya kualitas pendidikan (tinggi) kita, karena dosen dan professor yang tidak berkualitas akan melahirkan kualitas buruk pada output pendidikan. Karena logika dan akal waras telah terkubur, padahal, itu bersifat metodologis.
Kepongan Akademik
Irma Suryani Chaniago (ISC), politisi-legislator-Senayan mengatakan, orang ini (maksudnya: RG) mengaku akademisi, mengaku sebagai profesor, senang banget disebut professor, padahal dia bukan profesor, cuma S1 doang. (TVOne-Catatan Demokrasi; ISC, Deddy Sitorus, Henri Subiakto-Istana, Syahganda Neggolan, Ferry Amsari dan Haris Azhar)
Dia (RG) juga mengaku sebagai dosen, mengaku banyak mengajar di universitas, tidak pantas karena itu mengajarkan kebodohan politik, bukan memberikan diskursus politik kepada mahasiswanya. Kalau mahasiswa ini ditangani dia akan menjadi brutal. (Ibid)
Saya tidak tahu apa ya agamanya. RG melampaui batasannya, wajar kalau dihukum. Itu ujaran kebencian, itu fitnah. Saya tukang kritisi, Haris tahu betul itu, di DPR siapa tidak tahu saya. RG bukan mengkritik tapi memcaci maki, patut orang ini dipenjara. Sebagai muslim saya tidak terima, pemecah belah, orang ini berniat busuk pada umat Islam. Mengutip-ngutip ayat-ayat suci adalah memecah belah bangsa-umat. Yang dikutip RG itu bukan untuk diimani tapi dipakai alat untuk berdebat (Ibid).
Semua pasal bisa digunakan untuk orang itu. Jadi bila ditangkap orang ini pantas. Melakukan fitnah (ke Presiden). Pasal apapun menurut saya, orang ini harus dikenakan, dipenjara (Ibid)
Inilah bencananya negeri ini, orang sekolah tapi tidak menjadi sekolahan. ISC mengatakan RG melakukan fitnah-soal IKN ke China. Jika benar RG memfitnah, maka mengapa dirinya juga melakukan fitnah dan atau memfitnah RG, soal RG menjadi dosen, banyak mengajar di universitas dan seterusnya.
Jika orang sekolah tidak melek, maka orang menjadi tidak sekolahan. ISC sebagai orang yang mengkalim bermoral dan sebgai tukang kritik, apa tidak punya cara untuk menguji kebenarannya? ISC dalam Catatan demokrasi TVOne terebut juga melontarkan kata kedunguan RG, maka kita pakai juga kata itu, supaya bisa menjawab sopan santun dalam bertutur kata yang ia kehendaki, tetapi sekaligus dirontokkannya sendiri.
Oleh sebab kepongahan-kecongkakan akademik, berakibat dirinya mengklaim (paling) kritis, tukang kritik atas kebijakan Presiden. Bahkan sampai agama orang lain yang sifatnya amat sangat privat soal keyakinan orang lain itu pun disoal. Bayangkan, ia seorang legislator. Seolah-olah ia paling beragama. Padahal, sejarah dan waktu untuk sampai hari ini, paling tidak, sudah bicara atas klaimnya legislator tersebut dalam rekam jejaknya bisa kita bongkar untuk menyandingkannya.
Untuk itu kita pakai juga kata kedunguan yang merujuk ISC untuk bagaimana cara menguji kedunguan dalam membaca fakta yang konkret. Karena, fakta dan realitas yang konkret itu tidak bisa dibantah dan tidak bisa untuk dimanipiulatif menjadi kekaburan. Â Betapa menjadi dungu, Â sama saja yang ia katakan itu kedunguan RG.
Pertama, cara dungu menguji keshahikan: ISC bisa datang ke UI (Universitas Indonesia), apa benar RG selama 15 tahun menjadi dosen, mengajar S1, S2 dan S3 untuk filsafat. Patut dicatat selama 15 tahun mengajar di UI, hak gajinya tidak pernah diambil atau tidak pernah dinikmatinya. Sekali lagi, sekaligus menguji kedunguan ‘barang langka’ dimana selama 15 tahun tidak mau menerima ha katas gajinya. Perlu ditanyakan juga kebenarannya.
Kedua, cara dungu menguji keshahikan: ISC menanyakan pada Dekan Fakultas-prodi filsafat, apa benar RG mengajar S1, S2 hingga S2 sekalipun RG cuma S1 doang. Atas dasar apa UI sebagai PTN ternama dan menjadi salah satu kebanggan negeri ini, kok RG yang cuma S1 doang bisa dijadikan dosen untuk mengajar sampai S3? Bukankah jika begitu ISC jauh lebih hebat ketimbang RG?
Ketiga, cara dungu menguji keshahikan: ISC tinggal buka internet-youtube, klik Perkuliahan filsafat RG. Cek juga dalam video unggahan, RG memberikan kuliah untuk jenjang apa saja, dan benar tidak RG memberikan kuliah filsafat sampai S3. Matanya harus melotot barangkali tidak terlihat, dan jangan sambil mendengkur, karena tidak akan bisa mendengan perkuliahan filsafat yang diberikan RG kepada mahasisanya.
Keempat, cara dungu menguji keshahikan: ICS mendatangi dan tanya ke Sesko TNI, Lemhanas, Mega Institute (selama 3 tahuan RG memberikan materi kuliah Kebangsaan), apa benar RG pernah mengajar dan atau menjadi dosennya.
Kelima, cara dungu menguji keshahikan: ISC ke MA (Mahkamah Agung) yang dalam Pusdiklat-Hakim Muda, RG memberikan kuliah filsafat hukum, filsafat lingkungan, imperative etics dan seterusnya. Atas dasar apa MA menjadikan RG yang memeberikan kuliah tersebut?
Keenam, cara dungu menguji keshahikan: ISC buka internet-klik yotube, ketik RG memberikan kuliah di Pusdiklat- Hakim Muda MA, da nada berapa puluh Hakim Muda yang dikuliahi RG, dan simak pertanyaan para Hakim Muda tersebut, dan bagaimana RG cara memberikan penjelasannya.
Cara dungu berikutnya, kita tak perlu konkretkan, karena nanti ikutan menjadi dungu betulan. Jika begitu, siapa yang menjadi tukang fitnah dan siapa yang memfitnah. ISC omong besarnya tidak melakukan fitnah dan tidak memproduksi hoax, ternyata suka juga memfitnah, dan memproduksi hoax. Itu fakta konkret yang tak bisa dibantah. Tapi, yang luar biasa ISC menghimbau para mahasiswa yang ada dalam ruangan dialog tersebut., yang secara tak langsung ikutilah cara berpikirnya. Luar biasa, bukan? Ferry Amsari dan Haris Azhar hanya bisa tersenyum kecut, karena keduanya juga adalah sang Dosen.
Bukankah yang tukang fitnah dan memfitnah adalah ICS jika begitu. Tapi itu yang harus mengatakan adalah yang masih punya logika dan akal waras, sehingga apa itu fitnah dan siapa yang tukang fitnah, tahu bedanya dan paham maksudnya.
Jika saja RG menjadi pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan, pastilah ISC sudah dipolisikan dengan pasal penghinaan, ujaran kebencian, penyebaran dan penjelasan hoax, pencemaran nama baik dan seterusnya, yang deliknya pakai UU No. 1 Tahun 1946 dan UU ITE.
Betapa cekalakanya negeri ini, jika cara berpikir formalistic ISC tersebut dianut oleh para mahasiswa dan atau publik, dimana orang hanya dinilai dari gelar formalistiknya, bukan dari value kecerdasannya, bukan dari kemampuan intelektual dan keilmuannya yang sepadan dan atau bahkan telah melampuai derajat formalistic gelar doktor dan atau profesor. RG menjagar sampai S3 di Universitas ternama di Indonesia-Universitas Pejuangan-Agen of Change untuk takdir sosial negeri ini bersama kampus-kampus lain.
Fakta sejarah dan jejak digital RG mengajar di UI dan dilain tempat adalah fakta konkret yang tak bisa terbantahkan lagi, meski ISC sampai berbusa-busa dan atau keluar api dari mulutnya.
Pandangan dan sikap ISC dalam acara catatan Demokrasi TVOne tersebut mencerminkan kepongahan akademik-merasa dirinya bergelar-sarjana. Bahkan yang lebih nestapa buat bangsa dan negara ini adalah cara pandang dan nalar yang penuh kebencian-kedengkian yang diargumentasikannya. Fakta konkret tersebut tidak bisa disembunyikan, karena yang bicara adalah gesture dan ekspresi air mukanya. Bahasa verbal yang terucap tersebut hanya untuk mengkonkretkan saja.
Konkret betul itu atas dasar kebencian-kedengkiannya: Semua pasal bisa digunakan untuk orang itu. Jadi bila ditangkap orang ini pantas. Melakukan fitnah (ke Presiden). Pasal apapun menurut saya, orang ini harus dikenakan, dipenjara.
Apologinya itu konkret berangkat dari rasa kebencian, bukan orang sekolahan. Itu yang disebut orang sekolah tapi tidak sekolahan. Karena atas dasar kebenciannya tersebut, akhirnya ISC mempertontonkan kedunguannya yang berulang-ulang.
Sungguh nestapa negeri ini, jika logika berpikir seperti itu terus dipelihara, bahkan yang lebih nestapa, ISC menghimbau kepada mahasiswa yang hadir dalam Catatan Demokrasi tersebut untuk tidak mengikuti RG.
ISC dengan tegas dan ekspresi penuh kebencian mengatakan, kalau mahasiswa ini ditangani dia akan menjadi brutal. Bukankah itu sebaliknya, jika dosennya ISC, mahasiswanya akan menjadi apa, dan bukankah akan jauh lebih brutal, karena logika dan akal warasnya telah dirusak untuk menalar secara akademik, karena menjungkir-balikan logika dan kewarasan.
Bukankah jika dirinya menjadi dosen, bagaimana mahasiswa takdir sosialnya, karena dibentuk oleh sang dosen yang tidak mengajarkan liogika dan nalar akademik dalam kewarasan, bahwa semua pasal apapun bisa dipakai-bisa dijeratkan-bisa untuk memenjarakan RG. Sehingga kelak dikemudian hari, jika mahasiusdwa yang diajari oleh ISC menjadi politisi-legislator, penguasa atau menjadi pengusaha, niscaya akan menjadi brutal bahkan mungkin akan jauh lebih brutal jika menganut cara pandangnya.
Sungguh konyol-sekaligus memilukan, jika itu dilontarkan oleh orang yang mengkalim pernah makan bangku sekolah tapi tidak menjadi sekolahan. Tapi itulah fakta yang tak bisa kita bantah, menjadi tak terbantahkan lagi.
Tentu, yang sangat mengerikan, akhirnya  menjadi stanting, karena dididik dengan nalar seperti itu: Semua pasal bisa digunakan untuk orang itu. Jadi bila ditangkap orang ini pantas. Melakukan fitnah. Pasal apapun menurut saya, orang ini harus dikenakan, dipenjara.
Sang dosen (Ferry Amsari dan Haris Azhar) tidak mengajarkan logika akademik seperti itu dalam membaca kasus. Penjelasan Ferry Amsari yang belum selesai, berkali-kali dipotong ISC, meski telah diperjelas Haris Azhar. Bukankah hal yang seperti itu menjadi stanting namanya.
Sungguh sangat peka sekali ISC, sehingga urusan keyakinan dan atau agama orang lain (RG) pun ditanyakan dan disoal. Bahwa sebagai muslim dirinya tidak terima, karena  mengutip-ngutip ayat-ayat suci dikatakannya adalah memecah belah bangsa-umat. Yang dikutip RG itu bukan untuk diimani tapi dipakai alat untuk berdebat. Pastilah jika kita yang punya logika dan akal waras dalam kerawasan menjadi geli atas argumentasi tersebut.
Jika benar dirinya sebagai muslim (sejati), seharusnya paham betul dan mengerti apa yang Tuhan  tegaskan dan katakan soal ‘lakum dinukum waliyadin’. Al Qur’an-ayat-ayat Tuhan baik sebagai teks maupun konteks bukan monopoli umat Islam saja. Qur’an itu diturunkan untuk semua umat manusia, sehingga siapapun boleh membaca dan mengutip ayat-ayat Allah SWT (Qur’an) untuk dan atau sebagai penegasan atas kebenaran dan value kebenarannya  absolut untuk kebenaran  itu sendiri.
Jika penganut agama lain mengutip ayat-ayat Tuhan (Qur’;an) untuk mendalilkan kebenaranNya, bukankah itu artinya, bahwa penganut agama lain memberi penegasan atas kebenaran ayat-ayat Allah SWT (Tuhan) itu sendiri adalah menjadi benar adanya, tak terbantahkan lagi.
Kok, ISC logikanya menjadi jungkir balik dan berantakan, dan itu kok dianggap memecah belah umat Islam. Lucu, aneh bin ajaib, sehingga bukankah itu karena atas dasar kebenciannya pada RG yang tak bisa lagi disembunyikan. Hal tersebut tak bisa terbantahkan lagi dengan molak maliknya logika tersebut yang dikedepankannya. Modalnya cuma ngotot, dan pamer dirinya sebagai legislator Senayan.
Sekali lagi, jika sesorang mendalilkan ayat-ayat (Qur’an) Tuhan untuk meyakinkan kebenaran di atas kebenaran, maka sesungguhnya orang itu sangat haqul yakin dengan kebenaran absolut Tuhan yang dijelaskan dalam Al Qur’an. meski orang itu belum menjadi Islam.
Ayat-ayat Tuhan (Al Qur;an) merupakan teks dan konteks yang terbuka untuk semua umat manusia. Bukan monopoli umat Islam saja, apalagi cuma sekedar mengklaim dirinya sebagai muslim. Biar konkret dan bisa dipahami adalah ketika kita menyoal persoalan Palestina dan Israel dengan mengajukan pertanyaan sekaligus menjadi premnis adalah apakah Israel itu merupakan negara dan di manakah keberadaan negara yang disebut Negara Israel.
Benarkah Palestina disebut dan atau dikatakan pemilik Tanah Suaci-Palestin, yang di dalamnya ada umat Islam, Kristiyani, Yahudi-Nasrani? Apakah Yahudi itu sebagai bangsa atau kaum yang berada di Tanah Suci Palestin? Ayat-ayat Tuhan (Qur’an) yang teks dan konteksnya terbuka buat semua umat, lantas dipakai sebagai dalil-dalil kebenaran, tidak saja bagi umat Islam, melainkan bagi umat dan atau keyakinan lainnya.
Dikatakan sebagai teks dan konteks yang terbuka buat semua umat manusia, Palestina dalam Al Qur’an ada banyak ayat yang menjelaskan Negeri Palestin-Tanah Suci Palestina, dan (Bani) Israel, dan kemudian menarik benang merah ke masa lapmpau (Nabi Ibrohim-Nabi Musa) dengan menyandingkan Kitab Suci masa lampoon sebagai pembuktiannya.
Qur’an tidak menyebut negara Israel, tetapi kaum Bani Isroil (Israel), dan negeri Pelastin. Di negeri Palestin, banyak kaum-suku-kabilah, keyakinan agamanya pun majemuk, ada Islam, Kristen, Yahudi (Yahweh) dan agama nenek moyangnya yang masih hidup.  Di Tanah Suci Palestin-Yerusalem, masa kekhlaihan Umar bin Khottob, kaum Yahudi (yang sekarang disebut Israel) dibolehkan melakukan  peribadatannya di Yesusalem yang disebut dengan Tembok Ratapan-Tembok Barat  (HaKotel HaMa’aravi) yang dibangun oleh Raja Herodes. Umar bin Khottob paham betul dengan maksud ayat Lakum Dinukum Waliyadin.
Karena Qur’an sebagai teks dan konteks yang terbuka untuk semua umat manusia untuk sebuah kebenaran atas Palestin, dan Israel yang mengklaim sebagai sebuah negara, dimana Tanah Suci Palestin itu miliknya. Padahal, Bani Isroil baru menyatakan dirinya sebagai negara adalah tahun 1948, dan sejak itu, negeri Palestin  menjadi pertumpahan darah hingga kini, karena Zionis Israel hendak menguasai negeri Palestin. Qur’an dipakai menjadi perdebatan untuk mendalilkan kebenaran yang benar.
Semua kitab suci yang atas pemahyuan Tuhan, pastilah menjadi teks dan konteks yang terbuka untuk menjadi perdebatan dan  pengujian-menguji keshahikan atas kebenarn. Ternyata dalam  Holy Bible (1905), halaman 13 menjelaskan dan memperkuat soal Tanah Suci Pelsetina dan soal kaum Yahudi-Israel dalam sebuah peta yang otentik di masa lampau tidak bisa dibantah lagi. Qur’an mengkonfirmasi Bible dan Bible mengkonfirmasi Qur’an, menjadi sebuah kebenaran yang absolut. (Osmanli Media: Fakta yang dibeberkan oleh seorang Pastor Amerika Serikat-Rick Willes).
Mustinya mau mengerti jika mengklaim dirinya sebagai muslim (sejati) yang keberatan dengan orang di luar Islam mengutip ayatr-ayat Qur’an untuk mendalilkan kebenaran di atas kebenaran, seperti yang dilakukan RG, lantas, dikatakannya hanya memcah belah umat, berniat busuk pada umat Islam.
Yang tidak kalah memalukan, ketika mencak-mencak bagaikan orang kesurupan dalam mendebat Kitab Suci itu fiksi. Padahal, sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan dengan eskatologi agama. Tapi, itulah keunggulan kompetitifnya disetiap acara dialog di tv, yang didengar dan disaksikan publik. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com