Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Rocky Gerung Dilarang Berbicara Seumur Hidup

Bagian 4 dari 5 Tulisan

Lawan. lawanlah! sebelum langit bersimbah darah. diam atau berpangku tangan adalah bencana dan kematian  di mana-mana. angin akan mengabarkan ke seluruh benua dan samodra. burung-burung camar singgah di geladak kapal yang berlabuh. tafakur dalam senyap.

Lawan. lawanlah!  itu artinya kita berikhtiar dari bencana dan kesesatan. sebab cerdik pandai dan kaum inteletual telah melacurkan diri di mana-mana. langit jingga menjelma menjadi gelap gulita. matanya gerhana dan pandangannya berkunang-kunang.

Lawan. lawanlah! angin yang menderu-deru dan ombak dan gelombang  yang berbuncah-buncah. akan datang silih berganti dari musim ke musim. lawan. lawanlah! sebelum kekuasaan menjadi berhala. sebelum bencana menjemput takdir sosial.

Lawan. lawanlah! karena tuhan tidak akan menjelma  menjadi hantu apalagi mematung dalam ar-robbnya. lonceng kematian akan menjemput ajalnya. matahari akan menyala di atas ubun ubun. jika kita tegak lurus memandangnya.

Singaraja, 26.7.2023.

(0’ushj.dialambaqa-Pusisi: NEGERI ADAKADABRA)

 

Menunggu Viral

Hal yang beda tipis yang dilakukan ISC dengan Noviana Kurniati (NK) alias Novie Bule -bacaleg PDIP dapil 3 Kab. Cianjur. Bedanya, ISC suka melabrak ketika sedang ngomong atau menjelaskan, tetapi tidak melabrak secara fisik atau tidak kontak fisik, dan tidak melempari telur busuk ke rumah RG sambil menendang-nendang pagar rumah RG (persekusi, Minggu, 6/8/2023). Sedangkan NK melakukan hal itu.

Peristiwa persekusi kembali dilakukan NK pada RG di Bareskrim Polri pada Rabu, 6/9/2023. NK mengatakan, dengan sangat emosional; hingga nafas-denyut jantung terengah-engah, bahwa RG sebagai pemecah belah bangsa. Anda sadar tidak memecah belah bangsa ini, melakukan pemecah bangsa ini. Setelah peristiwa di Bariskrim, NK membuat pengakuan di media, bahwa dirinya memperkusi RG sebagai sok-terapi. Fantastik sekali bacaleg PDIP dapil 3 Cianjur tersebut. Dikiranya RG anak baru gede kemarin.

Dengan cara melabrak (mendorong) RG adalah upaya trik dan intrik supaya RG terpancing emosinya. Lantas, menampar atau mendorong kembali, sehingga akan menjatuhkan diri sebagai apologi hukum. Hal itu upaya sebagai senjata ampuh untuk bisa memidanakannya, karena lebih konkret.

Aparat (polisi) berusaha mencegah untuk tidak terus merangsek, bahkan polisi yang menjaga sudah menjelaskan berkali-kali kepada NK, tapi tak digubris oleh segerombolan massa berseragam: Gerakan Nasional Tangkap RG (GN-TRG), merangsek ke Bareiskem untuk memperkusi RG.

Haris Azhar dkk yang mendampingi RG cukup bersabar menghadapi aksi heroik bersandiwara bacaleg dapil 3 Cianjur tersebut. Haris Azhar menjelaskan, boleh bicara tapi jangan main pisik, jangan menyentuh pisik. Eh malah lebih dahsyat reaksinya, anda pemecah belah bangsa. Segerombolan massa tersebut dimobilisasi NK yang memang sengaja untuk melakukan persekusi sebagai sok terapi pada RG.

NK dalam Tribun News TV dengan sangat arogan dan pongah menyatakan akan mendatangi kembali Bareskrim pada saat RG diperiksa kembali. Kearoganan NK tersebut sebagai bentuk menantang. Akhirnya menjadi gayung bersambut. Solidaritas buruh untuk RG menjawab tantangan arogansi NK, dan bertemulah di Bareskrim pada Rabu, 13/9/2023.

Pihak keamanan di Bareskrim cukup tanggap dan persuasif, sehingga tidak terjadi kericuhan yang menimbulkan anarkisme. Meskipun potensi menjadi anarkisme terbuka lebar, karena NK dengan sumpah serapah dan sesumbarnya telah memenuhi syarat untuk solidaritas buruh itu menjadi marah dan atau menjadi anarkis dalam merspon kepongahan-sesumbar dan sumpah serapahnya. Rupanya solidaritas buruh masih punya kesabaran yang cukup untuk tidak berakibat anarkisme, yang tengah dinanti NK dkk untuk membuat anakis.

Bukankah itu menjadi sebaliknya, NK dengan GN-TRG merupakan gerakan politik “devide et impera”, yang dengan topeng demokrasi dan Pancasila menuding orang lain sebagai pemecah belah bangsa. Yang jauh lebih gila lagi adalah kemampuannya-kepiawaiannya dalam memutar balikkan fakta. Hal yang nyata tidak dinyatakan, dan  menjadi kebalikannya. Yang demikian tidak semua orang bisa, kecuali yang terlatih berbohong atau yang terdidik politik identitas sektarian.

Lantas, bisakah kita membayangkannya, bagaimaa jika nanti menghuni rumah rakyat-menjadi legislator, yang hanya tahunya bagaimana (bisa) berkuasa, dan mau tahunya hanya kekuasaan saja, dan bahkan kekuasaan itu adalah absolut.

Bagaimana takdir sosial negeri ini? Tidak tahu diri, tidak tahu malu, dan tidak punya kemaluankah PDIP punya kadernya seperti itu, yang akan menjadi legislator? Bisakah kita membayangkannya? Sangat sulit bagi kita yang punya logika dan akal waras untuk membayangkannya.

Dalam demokrasi, boleh saja marah-marah, maki-maki RG langsung sebagai ekspresi kebencian atau apapun dalih dan alasannya, itu menjadi tak penting lagi. Hebatnya setelah viral PDIP baru bergeming. Jika tidak viral seperti persekusi pada hari Minggu, 6/8/2023, PDIP tak bergeming baik yang di Pusat maupun yang di daerah. Menganggap angin lalu peristiwa persekusian yang dilakukan kadernya yang menjadi bacaleg.

Ketua DPW PDIP Jabar, lantas bergeming atas viralnya pelabrakan NK terhadap RG di Bareskrim pada hari Rabu, 6/9/2023. Sekali lagi, karena viral lantas PDIP bergeming, dan itu pun bersuara karena ditanya media, harus menjelaskan, bahwa apa yang dilakukan bacaleg PDIP dapil 3 Cianjur itu tidak terkait atau tidak ada kaitannya dengan partai-PDIP. Itu merupakan sikap dan tindakannya sendiri. Alasan konkretnya, partai lagi cooling down (KOMPAS TV: Begini Tanggapan PDIP Terkait Wanita Pelabrak Rocky Gerung).

Apa yang dilakukan kedernya yang bacaleg tersebut, responnya enteng saja, bisa dimaklumi kemarahan tersebut karena Presidennya dihina. Makin dahyat pula, tidak hanya yang dahyat itu kadernya saja tapi Ketua DPW PDIP Jabar juga, dahyat “blilunya”. (Ibid).

Pernyataan Ketua DPW PDIP Jabar itu mengisyaratkan, menyiratkan, apa yang dilakukan NK tidak menjadi masalah, tetapi karena harus diucapkan dalam ruang publik, maka itu harus dikatakan merupakan tindakan yang tidak terkait dengan partai.

Dalam semiotika dan hermenetik bisa dikatakan sebagai bentuk-isyarat, tersurat tidak langsung, karena itu sebagai tanda dan penanda: setuju-menyetujui tindakan yang dilakukan kedernya tersebut, tetapi karena harus ngomong di media-publik, maka cukup dengan mengatakan itu atas tindakannya sendiri, bukan intruksi partai dan tidak terkait dengan partai dalam tindakannya tersebut.

Bagaimana jika tidak viral seperti persekusi 6/8/2023, sebelum dan sesudahnya itu terjadi. Itu hebatnya politik, parpol dan politisi di negeri ini. Tak bergeming dalam suara nyaring, karena tidak viral. Jika harus viral dulu baru bergeming dan bersuara, itu pun menandakan kerusakan mentalitas bangsa dalam kepartaian.

Mengerikan negeri ini di masa datang. Lagi-lagi, semiotika dan hermenetik mengatakan, itu artinya bersetuju dengan tindakan tersebut, tetapi karena viral, maka harus ada penjelasan, bahwa DPC akan melakukan  klarifikasi terhadap NK dan seterusnya.

Menunggu viral dulu baru bergeming dengan berbagai apologi dan alibi yang dikedepankannya, supaya yang tidak melek politik akan manggut-manggut dan terkesima, bahkan mempercayainya. Bagi yang punya logika dan akal waras, yang bicara bukan dengan dengkulnya atau udelnya. Pastilah akan mengatakan, lho kok setelah viral baru bergeming. Pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak mendengar ya? Kepura-puraan rupanya menjadi penting bagi politisi.

Jadi jika tidak viral berarti bukan hal yang tidak boleh atau hal yang tidak dibernarkan melakukan tindakan yang begitu tolol bin dunggu sebagai orang yang menganggap dirinnya sebagai pemersatu bangsa, paling nasionalis, paling Pancasilais, paling NKRI dan paling menjaga demokrasi.

Mengaggap orang lain seperti RG, Haris Azhar, Faisal Basri, Rizal Ramli, Ichsanuddin Noorsy, Didik J Rachbini, Anthony Budiawan, Kwik Kian Gie, Bivitri Susanti, Ferry Amsari, Zainal Arifin Mochtar, Fatia Maulidiyanti, Asfinawati, Muhammad Taufiq, Suteki, Ubedillah Badrun dkk dan lainnya di luar relasi kuasa adalah sebagai pemecah belah bangsa, tidak nasionalis, tidak Pancasilais, dan bukan pemersatu bangsa, melainkan sebagai pemecah belah bangsa. Bulu kuduk kita menjadi merrinding menghadapi orang yang mengklaim dirinya paling nasionalis di negeri ini.

Bukankah itu sesungguhnya tengah memperjelas, mempertontonkan politik putar balik dalam politik devide et impera yang dulu dilakukan kolonial dan sesudah merdeka politik tersebut dilakukan oleh Lekra-PKI. Itu juga yang memperlihatkan bahwa NK hanya punya jam terbang dalam tempurung partainya sebagai aktivis, kandas pada jam terbang intelektual publik akademik. Jia mau mencoba terbang pun, dipastikan sayapnya patah, karena literature dan khazanah intelektual akademiknya yang blong.

Dalam pembacaan sistem penanda, jika diam dan atau tidak merespon dengan mengambil tindakan, misalnya, menegur dan atau memberikan peringatan untuk tidak melakukan tindakan seperti itu, karena tidak saja merusak demokrasi tapi merusak juga Pancasila, apalagi mengklaim paling nasionalis dibanding orang lain, karena RG dkk dikatakan sebagai pemecah bangsa, yang berarti dirinya dkk atau mereka  adalah sebagai pemersatu bangsa. Itu artinya, segitiga sama kaki.

 

NK-GN-TRG dan PNIB Satu Mata Koin

Persekusi terhadap RG tidak hanya dilakukan NK dan RJ saja, Jum’at, 8/8/2023 di Sleman Jogya, saat PC IMM Bulaksumur Karangmalang (BSKM) bersama HMI Komisariat FEB UGM dalam Dialog Kebangsaan dengan tajuk: Masa Depan Demokrasi di Tengah Derasnya Arus Korupsi, mengundang RG, Refli Harun (RH) dan Saut Situmorang (ST)-mantan pimpinan KPK. RG kembali dipersekusi segerombolan massa yang mengklaim sebagai Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB).

PNIB tidak saja menolak dan mennghadang RG, RH dan ST yang hadir atas undangan  komunitas kampus-mahasiswa. Tidak cukup itu saja, sambil terus mengganggu jalannya diskusi, PNIB lantas melempar air dalam botol mineral, yang disasar adalah RG. Lemparannya tidak terlatih.

Lemparannya menerjang leher RH, sehingga diskusi makin memanas suasananya. Sebelumnya, gerombolan massa-PNIB tersebut bersitegang dengan panitia penyelenggara diskusi dan aparat kepolisian yang berjaga-jaga mengamankan jalannya forum diskusi publik mahasiswa tersebut. Komandan PNIB dengan kepala berbalut merah putih tersebut, merupakan orang yang sama, yang  memperkusi RG di Kampus Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang.

PNIB mengatakan, jangan racuni masyarakat Jombang dengan pikiran-pikiran sesatmu. Jika RG dikatakan sesat, mengapa kampus dan atau para mahasiswa tidak mengundang PNIB saja yang punya pikiran hebat-tidak sesat. Tentu, karena kampus-mahasiswa punya logika dan akal waras dalam kewarasan intelektual publik akademik sehingga tidak mengundang PNIB sebagai pembicara. Jika PNIB menawarkan diri untuk menjadi pembicara, dipastikan mahasiswa menolaknya, karena apa yang mau diharapkan dari cara-cara ‘premanisme kekuasaan.’

Jika saja mereka-mereka (PNIB, NK-GN-TRG, RJ, ADT dkk, ISC, Perkomhan dkk dan DPP. TMP-PDIP dkk) punya kapasitas dan atau punya pengetahuan yang cukup soal kebangsaan, demokrasi dan perkorupsian, pastilah RG, RH dan ST tidak akan diundang.

Jika mereka-mereka tidak pernah diundang oleh komunitas kampus-mahasiswa, itu artinya, tidak saja tidak percaya dengan kapasitas intelektual akademiknya, melainkan juga menyangkut soal kredibilitas dan public trustnya yang nol besar dalam kapasitas akademik.

Jika maunya seperti itu, tentu, mereka-mereka tinggal mengusulkan pada rezim penguasa untuk melakukan amandemen konsitusi, dari Demokrasi-Pancasila menjadi Negara Komunis. Hal itu lebih konkret daripada bertopeng demokrasi dan Pancasila. Pastilah keiinginannya terpenuhi.

Supaya konkret ya harus menjadi Negara Komunis, bahwa kekuasaan itu absolut milik rezim penguasa, sehingga keinginan mereka-mereka dan jejaringnya  dan atau sayap-sayap gerakannya tercapai dan terlaksana, daripada melakukan politik devide et impera. Tidakkah itu melelahkan; merayap, merangsek, teriak-teriak sambil menghadang, mengendap-endap, mengintip ke mana, di mana dan kapan RG akan bicara lagi dalam forum dan seterusnya.

Bukankah membuat Gerakan Nasional Tangkap RG itu tidak akan punya nilai apa-apa dalam sejarah-demokrasi, dan menjadi sangat sia-sia, karena RG itu bukan siapa-siapa dan atau tidak punya otoritas dalam menentukan takdir sosial negeri ini. RG bukan pejabat negara (publik) yang bisa menjual negara atau bisa menggadaikan negara atas kekuasaannya.

Bahkan tindakan persekusian hanya mencoreng sejarah dan demokrasi. Jika mereka-mereka membuat Gerakan Nasional Tangkap Pembuat Kebijakan Penggusuran 16 Kampung Tua Melayu-Tanah Rempang-Galang-Batam, karena kebijakan penggusuran tersebut merupakan bentuk keberpihakan kepada oligarki, pastilah sejarah akan mengukir namanya sepanjang peradaban. Pastilah akan dielu-elukan sebagai pejuang-pahlawan AMPERA.

Apalagi jika mereka-mereka berdiri paling depan, sambil berteriak-teriak histeris: Hentikan Represitas Aparat, Hentikan Penindasan Terhadap Masa Depan Anak-Anak Rempang, Wadas dan lainnya, karena klaimnya adalah sang nasionalis-paling nasionalis. Pasti menjadi sangat terpuji dan dipuja sebagai pahlawan. Fakta konkretnya, bisu tak bersuara atau mungkin sangat setuju dengan penindasan-penggusuran tersebut, karena mereka-mereka sebagai pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan.

Itu pasti, akan menjadi sangat terhormat dan akan menjadi pahlawan bagi Rempang, Wadas dan lainnya, dan akan dielu-elukan masyarakat dan anak-anak Rempang dan Wadas, karena Godot Telah Datang. Godot Telah datang, anak-anak Rempang dan Wadas bukan lagi Waiting for Godot-kata Samuel Beckett.

Jika mereka-mereka sebagai pejuang,  mengapa tidak berteriak-teriak membela dan memperjuangkan anak-anak Wadas dan anak-anak Rempang yang tengah berjibaku mencari kebenaran dan keadilan karena penindasan.

Mengapa mereka sebagai pejuang juga tidak berteriak-teriak membela dan memperjuangkan masyarakat-anak-anak Rempang yang tengah berjibaku mencari kebenaran dan keadilan dalam  deru-raungan boldoser dan dar der dor gas air mata, dimana rezim penguasa berkilah sebagai proyek strategis nasional (PSN), investasi China yang akan membuat industri kaca dan solar panel terbesar kedua di dunia setelah China. Padahal, itu hanya proyek politik mersusuar semata.

Mereka-mereka mengapa membisu dan mematung, tidak berteriak-teriak lantang dalam pemberantasan korupsi? Padahal, korupsi adalah perbuatan yang sangat jahanam dan sangat biadab, yang kini makin merajalela, sehingga negara menjadi miskin dan terkecik lehernya atas hutang luar negeri.

Bukankah tindakan melempar botol berisi air mineral  ke RG, yang nyasar  menghantam leher RH dalam forum akademik tersebut, tak bisa terbantahkan itu dilakukan atas dasar kebencian bin kedengkian, dimana itu merupakan tindakan yang jahanam dan biadab dalam demokrasi, yang hanya demi membela kepentingan perut kekuasaan dengan berkilah Jogja adalah kota budaya, pelajar dan bermartabat.

RH dan ST berteriak-teriak kepada aparat (Polisi), bahwa pelakunya harus ditangkap, karena pelakunya ada di hadapannya. Ternyata sebagai fakta konkret, aparat tidak bergeming sama sekali, dan membiarkannya. Bukankah itu sebagai fakta konkret bahwa aparatus negara sudah menjadi aparatus kekuasaan, sangat diskriminatif. Begitu memilukan negeri ini.

Gerakan Nasional Tangkap RG yang dimobilisasi NK, dan PNIB yang memperkusi RG, terlampau sepele mengurusi atau menyoal soal RG. Begitu juga gugatan perdata yang dilakukan ADT dkk, Perkomhan dkk dan DPP. TMP dkk sangat menggelikan.  Bukankah jauh lebih terhormat dan mulia jika turut serta membangun dan membangkitkan solidaritas melawan penindasan atas rakyat yang terjadi Wadas, Rempang, Morowali dan daerah-daerah lainnya.

Jika mereka dengan Gerakan Nasional Tangkap RG dan gerakan memenjarakan RG, tentu, yang punya logika dan akal waras pasti akan  mengatakan, ya itu bagian dari para pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan yanag hanya berpikir untuk kepentingan perut dirinya dan perut kekuasaan atas arena relasi kuasa. Itu menjadi tak terbantahkan lagi.

Sungguh benar-benar buruk rupa cermin dibelah. Menuding orang lain memecah belah bangsa, padahal, mereka, dirinya sendirilah yang tengah terus menerus tak henti melakukan propaganda dengan politik devide et impera. Meski belum berbalik menyulut kemarahan nasional.

Hal seperti itu, mengingatkan kita yang punya logika dan akal waras atas Prahara Budaya- Kebudayaan Kelam-Kebudayaan Kelabu di tahun-tahun 1960-1965an, dimana politik propaganda dan devide et impera menjadi masif, terstruktur dan sistemik melalui gerakan nasional dan jaringan yang dimobilisasi Lekra-PKI yang diback-up sepenuhnya oleh rezim penguasa saat itu. lagi-lagi, aparatus negara menjadi aparatus kekuasaan. Jangan lupakan Jas Merah, dan jangan jadikan Merahnya Merah.

Persekusi pisik acapkali terjadi di mana-mana, tidak saja pelarangan dan penghadangan bicara dalam forum, dan bakar membakar buku. Perang kata-kata pun membara dalam media massa saat itu. .Kata-kata-diksi yang sangat popular saat itu dalam media Lekra seperti, kata: komprador-antek-antek asing, agen asing, kabir, neokolim, setan kota, setan desa dan lainnya yang sangat agitatif. Perang kata-kata tersebut acapkali dengan melakukan persekusian yang dianggap tidak sejalan dengan politik kekuasaan Orla-Soekarno. Memilukan sebagai bangsa yang beradab. Tidak hanya itu.

Demontrasipun di mana-mana, pada 29/9/1965, dilanda suatu demontrasi yang menuntut agar setan-setan kota ditembak mati di depan umum. Terdengar teriakan gantung kabir. “Harian sore Kebudayaan Baru, yang terbit hari itu juga, Rabu, 29/9/1965 memberitakan bahwa massa yang berdemo dengan teriakan-teriakan tersebut adalah dari Front Pemuda Indonesia, PPMI, MMI, bersama wakil buruh tani, wanita, seniman, wartawan, dan veteran telah menyatakan tekad secara bulat menuntut agar segera diambil tindakan menyeret setan-setan kota ke muka pengadilan terbuka dan segera dijatuhi hukuman mati  di depan umum. Pernyataan kebulatan tekad tersebut ditandatangani lebih dari 27 ormas.” (D.S. Moeljanto-Taufiq Ismail: Prahara Budaya. Penerbit Mizan dan HU, Republika, 1994).

Nah, Gerakan Nasional Tangkap RG dan yel-yel teriakan, dan spanduk dan teriakan-teriakan PNIB, mempunyai ruh yang “sama” secara DNA idiologis di era Kebudayaan Kelabu-Kebudayaan Kelam. Jika seperti itu dalam gerakannya, memutar-balikan, membalik-balikan fakta. Bisakah kita bantah realitas empirik tersebut sebagai fakta konkret karena faktor DNA idiologis?

Justru karena Jogja adalah kota budaya, pelajar dan bermartabat, maka kampus-komunitas mahasiswa mengundang RG, RH dan ST dan intelektual publik akademik lainnya yang masih waras dan masih punya logika untuk berbicara mengenai masa depan bangsa dan negara, bicara soal takdir sosial bangsa dan negara dalam genggaman dan cengkraman  rezim penguasa dan oligarki.

Kampus-komunitas mahasiswa tidak akan mengundang mereka-mereka, tentu, alasannya sangat konkret, karena tidak mungkin akan menghasilkan dialektika intelektual akademik, karena bisa dipastikan yang bicara bukannya otak melainkan dengkul yang bicara, sehingga akan merusak citra Jogja sebagai kota budaya, pelajar dan kota yang bermartabat.

Begitulah politik yang meng-ada dan mengemuka di negeri ini. Meski begitu, tetap menarik sebagai tontonan untuk kita tonton oleh yang punya logika dan akal waras. Lakon dalam sinetron ke sinetron kejar tayang  kita saksikan. Luar biasa, bukan? Meski Waiting for Godot tak akan pernah datang, Brutus-Brutus tengah menanti. ***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles