Rancangan UU Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP) merupakan inisiatif Senayan (DPR RI) atas pikiran dan konsep PDIP (Partai Demokrasi Perjuangan) telah menjadi Prolegnas (program legislatif nasional) tahun 2020. RUU HIP tersebut banyak menuai reaksi publik berbagai kalangan, tetapi Senayan maupun Istana tidak bergeming, seperti “Anjing Menggonggong Kafilah Terus Berlari.”
RUU HIP itu ternyata melaju kencang di tengah bencana wabah pandemi Covid-19, gaung dan gema reaksi publik pun makin keras dan mengeras sebagai reaksi nasional(isme), tetapi kafilah terus berlari. MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagai representasi umat mayoritas dalam berbangsa dan bernegara mengeluarkan Maklumat Jihad Konsitusi, dianggap angin lalu. Maklumat Jihad Kontitusi MUI ditindaklanjuti dengan aksi massa yang cukup besar di Senayan, Kamis, 25/6/2020, dengan keras menolak RUU HIP diteruskan dalam pembahasan atau untuk dijadikan UU (Undang-Undang), karena TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia), larang ajaran Marxisme-Leninisme tidak dijadikan konsideran.
Sesungguhnya tidak sedikit hal jika HIP jika dijadikan UU, kerana konsekuensi logis secara rasional, logika dan akal waras akan menjadi bahaya dan bencana bagi negeri ini, dan akan terus mengulang sejarah yang kelam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga negeri ini akan terus tertinggal dengan kemajuan bangsa dan negara lain, dan pertumbuhan ekonomi akan mati suri selamanya karena yang kita bangun adalah konflik politik kepentingan, bukan moralitas dan landasan (terbang) kemajuan berbangsa dan bernegara.
TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966
Yang menarik sekaligus menjadi menggelikan adalah pengelakan Istana bahwa itu merupakan inisiatif Senayan bukan Pemerintah sehingga yang berhak menarik kembali usulan RUU HIP itu adalah pengusulnya. Padahal, ketika RUU HIP tersebut masuk dalam Prolegnas tentu atas kesepakatan Pemerintah dengan Senayan. Pemerintah (Menko Polhukam Prof Mahfud MD dalam pernyataan publik yang dilansir berbagai media) belum memberikan pandangan dan koreksi atas draf RUU HIP tersebut, tetapi paling tidak Pemerintah (karena dalam Istana adalah berkumpulnya orang-orang pilihan yang hebat) seharusnya paham betul maksud dan tujuan dari RUU HIP tersebut sehingga di-Prolegnas-kan tahun 2020, sekalipun dalam konidisi bencana wabah pandemi, dan tentu seharusnya telah dibaca dan atau telah membaca secara seksama dan hidmat.
Pengelakan Istana tersebut menjadi kelogisan yang berantakan dan bertabrakan dengan logika dan akal waras bangsa dan negara. Yang dalam pisau akademik, melompat-lompat berlepasan, yang hanya bisa tertangkap dalam kaca mata “pokoknya.” Yang nampak Istana berkaca pada cermin yang retak pada masa silam sejarah yang kelam.
Reaksi publik luas se-nusantara harus dipahami atau ditafsirkan sebagai panggilan dan atau moralitas ruh nasionalisme atas berbangsa dan bernegara, karena RUU HIP menyingkirkan jauh-jauh TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 baik sebagai konsideran maupun sebagai nafasnya dalam RUU HIP. Padahal, TAP MPRS tersebut hingga kini belum pernah dicabut. Maka sebagai bangsa dan negara demokrasi yang berlandaskan hukum (rechstaat) bukan kekuasaan (machstaat).
TAP MPRS tersebut juga harus ditafsiri dan dimaknai sebagai ruh nasionalisme bangsa dan negara, karena kita tidak ingin mengulang sejarah kelam yang banyak menguburkan jiwa raga segenap tumpah darah (seperti bunuh membunuh, curiga mencurigai) karena paham kekuasaan yang mono-(po)litik, mono-pikiran, mono-kehendak yang berkehendak yang dalam prilaku sosial politik jauh melampau otoritas Tuhan sebagai Tuhan Yang Maha Esa, padahal, tiada Tuhan selain Tuhan itu sendiri (yang memberi ruh pada sila pertama Pancasila).
Kita tidak bisa memungkiri adanya pembonengan atas politik-politik identitas dalam berbagai paham keberagamaan yang mulai bertiup kencang juga bahkan melahirkan gugatan paham keberagamaan yang tersiar baik dalam youtube maupun medsos (media sosial) yang terpicu RUU HIP tersebut, seperti gugatan terhadap Piagam Jakarta, di mana Piagam Jakarta dimaknai kedalam bentuk (ber)negara, sehingga menfikkan keberadaan pluralism beragama atau pluralism berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Khilafah, Darul Islam-(Negara Islam Indonesia), Daulah Umah, dan tidak menutup kemungkinan yang masih menyembunyikan doktrin mati atas paham keagamaannya yang ingin melakukan gugatan atas keberagamaannya untuk mejadi dasar dan bentuk negara, sehingga kita berbangsa dan bernegara berkutat dalam kubangan lumpur politik dan agama yang menjadi candu.
Trisila (Ekasila)
Dalam RUU HIP, ciri pokok Pancasila (pasal 7) adalah Sosio-Nasionalis, Sosio-Demokrasi, Ketuhanan yang berkebudayaan, yang disebut dengan Trisila dan disempurnakan dengan Ekasila; Gotong Royong. Trisila maupun Ekasila dalam RUU HIP menjadi tak bisa terbantahkan bahwa sesungguhnya sebagai keniscayaan untuk mengembalikan kembali pikiran politik Soekarno yang terperangkap dalam hasrat kehendak berkuasa sepanjang hayatnya dalam fakta sejarah. Soekarno telah mendaulatkan dirinya sendiri sebagai Presiden sumur hidup. Soekarno atas hasrat kehendak berkuasa lupa bahwa NKRI ini bukan machstaat, bukan komunisme dan bukan pula negeri fasis, tetapi negeri yang berdasarkan konsensus (jalan tengah) seluruh (segenap) tumpah darah dari Sabang hingga Meuroke adalah negara demokrasi dan yang ber-Pancasila, yang berarti harus menjadi negara hukum dan patuh terhadap azas Trias-politika, di mana ada pemisahan kekuasaan, kewenangan dan tanggungjawab dalam tata kelola negara yang berbangsa, agar tidak menjadi: otoritarianisme, monarki klasik, ditaktatorisme atau mono kekuasaan yang absolut (Komunisme-Sosialisme).
Sosio-Nasionalisme menjadi rancu dalam nalar dan logika berpikir, karena semua bangsa yang bernegara dan atau semua negara yang berbangsa di dunia ini tidak ada yang tidak memiliki nasionalismenya. Nasionalisme merupakan jantung dari sebuah harga diri suatu bangsa dan negara dengan simbol yang berbeda-beda setiap bangsa dan negara. Setiap bangsa dan negara mempunyai Lagu Kebangsaannya, mempunyai lambang atas bangsa dan negarannya, mempunyai otoritas privat dan publik, termasuk norma, etika dan hukum yang terlahir dari ruh nasionalismenya masing-masing.
Lagu Indonesia Raya, Lagu Tujuh Belas Agustus 1945, Soempah Poemuda, yang Sutardji Calzoum Bachri sebagai Presiden Penyair hingga kini katakan: “teks merupakan puisi abadi bangsa negara negeri ini.” Pancasila, Garuda, itu semua adalah simbol-simbol bangsa dan negara yang merupakan ruh dari nafas nasionalisme. Jadi tidak hanya negara dan bangsa kita sendiri yang memiliki nasionalisme, semua bangsa dan negara, sekalipun negeri fasis dan komunis (kata mereka) mempunyai nasionalisme; mempunyai harga diri bangsa dan negara yang harus dijunjung tinggi dan dijaga ketat, dan kita harus saling menghormati atas nasionalisme bangsa dan negara masing-masing sebagai bangsa yang beradab dan sebagai bangsa yang harus terus menjaga beradaban yang bermatabat sebagai manusia.
Nasionalisme tidak bisa kita lihat dari hanya penampakkan dengan berbagai macam simbol seperti Garuda ditempel di baju atau topi, Bhineka Tunggal Ika lengkap dengan Garuda dan 5 (lima) silanya menempel pada T-Shirt, Merah Putih selalu berkibar di tiang bendera setiap saat, Merah putih ditempel atau dipasang di lengan baju, kantong baju, pipi dan jidat, NKRI Harga Mati menghiasi spanduk-spanduk atau apapun namanya, begitu juga sebagai slogan atau jargon para politisi. Bukan seperti itu definisi nasionalisme atau rasa nasionalisme, tetapi nasionalisme harus bisa kita dilihat dan tercermin dan moralitas. Penampakkannya harus tercermin dalam sikap, tindakan dan atau dari prilaku sosial-politik dari setiap individu, komunitas, golongan atau apapun namanya dalam nafas lima sila (Pancasila) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nasionalisme Pancasila, seharusnya yang dibangun adalah kontruksi fundamental yang tidak terjebak atau tergelincir pada chauvinisme. Begitu juga yang harus kita tumbuh kembangkan, karena hanya akan merontokkan mata rantaitali ikatan ke-nusantara-an dan ke-Bhineka-Tunggal-Ika-an, dan kita sebagai bangsa dan negara juga akan menjadi tertawaan warga dunia, negara-negara lain karena nasionalisme yang chauvinistik.
Sosio-demokrasi jika kita merujuk pada konsep dan pemikiran Soekarno; “Kaum Marhaen akan terpastikan memegang kekuasaan politik. Semua urusan-politik, diplomasi, pendidikan, pekerjaan, seni, kebudayaan, dan lain-lain-berada di bawah kontrol rakyat. Rakyat terlibat langsung dalam memutuskan, menjalankan, dan mengontrol semua kebijakan-kebijakan politik negara. Inilah demokrasi politik. Pada saat bersamaan, di lapangan ekonomi, semua perusahaan besar berada di tangan negara (negara di sini adalah rakyat); semua hasil perusahaan-perusahan itu terutama sekali untuk memenuhi kebutuhan rakyat; proses produksi dikontrol dan ditentukan oleh rakyat. Tak satupun perusahaan dan keuntungannya jatuh ke kantong borjuis. Inilah demokrasi ekonomi. Sosio-demokrasi adalah pembentukan kekuasaan politik di tangan massa-rakyat dan pemilikan alat-alat produksi di tangan rakyat. Konsep sosio-demokrasi menggabungkan demokrasi politik dan ekonomi.”
Konsep dan jalan pikiran Soekarno seperti tampak gamblang ketika kita membaca “Das Kapital” kitab sucinya Karl Marx yang penjang lebar sebagai konsep dan sekaligus sebagai panduan ekonomi politik bagi Kaum (Golongan) Kiri (Komunisme-Sosialisme). Yang tak terbantahkan dalam pemikiran Soekarno merujuk Das Kapital adalah ketika menyoal kepemilikan alat-alat produksi. Das Kapital jauh lebih menukik ketimbang Marhaen sebagai konsep ekonomi politik dalam memperdebatkan sekaligus mendefinisikan “buruh” (sekaligus simbol wong cilik) sebagai added value (nilai tambah) yang terlanjur didefinisikan secara (kekuasaan) politik sebagai sama rata dalam kepemilikan aset (kekayaan) atas pemilik modal yang oleh Karl Marx disebut menguasai alat-alat produksi yang menghisap kaum buruh, yang dalam istilah Soekarno adalah Kaum Marhaen.
Pada fakta sejarah masa itu (Soekarno) kaum Marhaen (yang dikatakan mass-rakyat-yang mengontrol) ternyata justru kekuasaan yang otoritarianisme dan atau praktek oligarki kekuasaan yang mengontrol massa-rakyat dengan demokrasi terpimpinnya dan dengan demokrasi gotong royongnya (yang terpimpin; apa kata penguasa), di mana yang tidak sepakat dijebloskan penjara dan dicapstempel tidak setia dengan cita-cita revolusi, tidak setia dengan pemimpin besar revolusi. Maka, masa lalu yang kelam biarkan berlalu. Kita tak perlu memutar balik jarum waktu yang kelam. Cukup dijadikan memorial sejarah bangsa dan negeri ini. Bukan memutar kembali lagu lama yang nestapa penuh derita, air mata dan darah dalam dua orde kepemimpinan republik negeri ini.
Pertanyaanya adalah apakah dalam demokrasi (Trias-Politika) tersebut terdikotomi persoalan ekonomi, hukum, pendidikan, kebudayaan, seni, politik, agama, dan kebudayaan? Satu sama lain harus berdiri sendiri? Bukankah itu semua ada dalam wilayah dan definisi demokrasi? Apakah ada demokrasi yang liberal, karena Trias Politika menjadikan ada kamar liberalism, padahal, Tris Politika itu tidak bisa di-liberal-isme-kan. Contoh, apakah Donal Trump mau seenaknya sendiri membuat kebijakan publik, sekehendak keiinginannya di bidang ekonomi (moneter) dan lainnya? Tentu tidak, karena ada kongres yang mengontrol, dan ada kedaulatan rakyat yang mengawal. Bandingkan dengan di negara-negara komunis-sosialis, seperti Korea Utara, justru sangat leberalis, karena kekuasaan sangat absolut untuk membuat kebijakan saja yang pemegang kekuasaan kehendaki, rakyat tak bisa menolaknya, kedaulatan sepenuhnya di tangan kekuasaan (mono-partai). Begitu juga di China sekalipun (yang dalam sentimen politik) dikatakan sudah menjadi negara kapitalis; komunis yang berwatak ekonomi kapitalistik (boujuis). Sovyet (Rusia) dari Stalin-Lenin hingga Bresnev, Cuba dengan Videl Castronya, kekuasaan di tangan partai politik (pimpinan partai yang menjadi Presiden-Kepala Negara) melampaui otoritas kekuasaan Tuhan.
Begitu juga soal Demokrasi Pancasila, tetap tidak bisa keluar dari rel Trias Politika sebagai ruh demokrasi. Jadi menjadi amat rancu ketika didikotomikan demokrasi dari persoalan sosio (nasionalis, demokrasi, ketuhanan yang berkebudayaan) dalam semua aspek berbangsa dan bernegara yang turunannya terimplementasi dalam bentuk segala macam aturan baik yang mengikat maupun yang bersifat norma dan etika.
Kekacauan berikutnya dalam RUU HIP yang menghidupkan kembali pikiran politik masa lampau (Soekarno) adalah dengan “Ketuhanan yang berkebudayaan.” Padahal, dalam Ketuhanan tersebut dengan sendirinya darah dagingnya adalah berkebudayaan (akal budi). Jadi kita yang berketuhanan pastilah berkebudayaan, tetapi orang yang berkebudayaan belum tentu (tidak otomatis) ia ber-Ketuhanan. Karancuan logika dan akal waras ini yang hendak dihidupkan kembali. Tuhan memberikan pengetahuan, akal dan syahwat (dalam banyak definisi) agar kita mau berpikir untuk (atas) kebaikan dan kebenaran-kebenaran itu sendiri.
Kita memahami kerancuan berpikir tersebut karena berangkat dari nalar politik hasrat kehendak berkuasa di masa lampau. Maka untuk menatap ke depan bangsa dan negeri ini, tidak perlu mengulang kerancuan berpikir politik masa silam. Begitu juga dengan Ekasila; Gotong Royong. Trias Politika dalam demokrasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hal gotong royong dalam tugas, tanggungjawab dan kewenangan dalam mengemban bangsa dan negara, tetapi harus ada pemisahan dalam hal kekuasaannya, maka ada Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Begitu juga dengan Demokrasi Pancasila, gotong royong bagian dari jiwa dan raganya.
Pancasila itu terdiri dari lima sila. Jadi jika kita bicara Trisila dan atau Ekasila, ya namanya bukan Pancasila lagi. Orang yang berketuhanan dengan kaffa (totalitas), pastilah mempunyai kemanusiaan yang adil dan berabad. Pastilah akan menguatkan mata rantai dan tali persatuan. Pastilah akan memahami apa itu kerakyakyatan dan hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sehingga mampu memaknai melindungi segenap tumpah darah (yang terbebas dari paham SARA), dan pastilah bisa berkeadilan sosial bagi sesamanya, yang tertusuk dirimu yang terluka diriku.
Kedudukan Pancasila
Pancasila menjadi satu tarikan nafas dengan UUD’45, sehingga menjadi sumber hukum tertinggi secara hirarki. Dalam Dalam Muqadimah UUD’45 negeri ini berbentuk Negara Republik Indonesia yang berdasarkan (Lima Sila): Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyataan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka, jika menjadi Trisila dan atau Ekasila, sudah bukan lagi Pancasila namanya. Ciri pokok haluan NKRI ya atas asas lima sila itu sendiri.
Oleh sebab itu Pancasila tidak bisa dibuatkan UU tersendiri, karena Pancasila kedudukannya di atas UU. Jika Pancasila dibuatkan menjadi UU (HIP), maka kedudukan Pancasila sederajat dengan produk peraturan perundang-undangan lainnya, padahal Pancasila kedudukannya di atas UU yang kemudian menjadi rujukan, rumusan dalam membuat UU sebagai turunannya. Jika Pancasila menjadi UU HIP, berarti Pancasila kedudukannya di bawah TAP MPR. Padahal, TAP MPR itu hirarkinya di bawah Pancasila-UUD’45 (Refly Harun: Jalan Lurus, Refly Chanel).
Maka sebagai konsekuensinya dikemudian hari, Pancasila bisa dilenyapkan atau dimusnahkan dari UU itu sendiri jika Senayan dan Istana bersepakat untuk membuang Pancasila sebagai Haluan (Idiologi) Bernegara dalam makna yang tertera dan terkandung dalam Pancasila yang dipatrikan dalam Muqadimah-UUD’45 sebagai dasar bernegara dan berbangsa.
Tafsir Tunggal
Presiden merupakan pemegang kekuasan dalam pembinaan haluan ideologi Pancasila {Pasal 43 ayat (1) RUU HIP}. Pasal tersebut akan bisa menjadi dan atau menjadi (potensi) tafsir tunggal absolut pemegang kekuasaan, dalam hal ini Presisden, sehingga siapapun yang tidak sejalan atau tidak sepakat dengan apa yang dikatakan Presiden dalam kebijakannya yang merupakan keputusan politiknya, maka bisa dikatakan menentang atau anti Pancasila.
Pasal itu pula juga bisa digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membrangus atau memenjarakan siapaun yang tidak pro kebijakan Presiden (dengan kekuasaannya). Kekuasaan Presiden menjadi sangat absolut untuk menentukan atau mengatakan mana yang Pancasilais dan mana yang tidak Pancasilais, karena Presidenlah yang digaransikan yang paling Pancasilais, dijamin dalam denyut nadi dan darahnya mengalir lima sila, sedangkan di luar dirinya boleh (harus) disangsikan.
Presiden merupakan pemegang kekuasan dalam pembinaan haluan ideologi Pancasila, akan (bisa) menjadi sangat berbahaya dan bencana bagi bangsa. Dengan tafsir tunggal kekuasaan penguasa (Presiden) akan melahirkan budaya politik otoritarian. Dalam politik otoritarian serangkaian nilai menjadikan upaya mengejar kekuasaan sebagai acuan aktivitas kehidupan yang mana akan memunculkan para pemimpin politik dengan kepribadian yang manipulatif, eksploitatif, dan oportunistik. Setiap keputusan adalah “politis” karena kekuasaan terlibat di dalamnya (Marcus E. Ethridge-Howard Handelman: Politic in a Changing World).
“Keberadaan Pasal tersebut makin menegaskan Pancasila hanya milik penguasa atau pemerintah. RUU HIP berupaya melekatkan doktrin bahwa jabatan presiden adalah orang paling Pancasilais. Padahal, jabatan presiden merupakan kekuasaan eksekutif yang bisa berganti lima tahun sekali. Siapapun yang mengkritik pemerintah atau beroposisi dengan penguasa akan dengan mudah dicap sebagai anti-Pancasila. Karena Pancasila adalah saya, karena presiden memegang kekuasaan Haluan Ideologi Pancasila. Ini berbahaya. Jadi, jangan sampai Pancasila bukan menjadi alat pemersatu, tetapi menjadi alat pembeda. Jadi, kalau pemerintah memelihara buzzer untuk menghantam orang-orang yang kritis, maka pemerintah sudah melanggar sila ketiga, Persatuan Indonesia. Sila keempat yang berbunyi ‘Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan’. Pemerintah harus mendasarkan kehidupan kebangsaan dalam sistem demokrasi, tetapi dalam kenyataan sering diplesetkan menjadi musyawarah yang kongkalikong. Misalnya, kalau di DPR, penunjukan pejabat-pejabat publik tidak didasarkan pada prinsip musyawarah mufakat, tetapi justru kongkalikong. RUU HIP terkesan memaksakan rakyat untuk mengamalkan Pancasila. Semestinya pejabat publik yang terlebih dahulu mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagaimana amanat UUD 1945. Nilai-nilai Pancasila diharapkan bisa membuat pejabat publik menghindari kesewenang-wenangan (abuse of power) karena kekuasaan dititipkan kepadanya. Agar tidak menggunakan kekuasaan secara serampangan dan sembarangan yang akan membuat rakyat sengsara, maka penguasa diminta berpancasila.” (Refly Harun: RUU HIP-Jalan Lurus, Refly Harun Chanel, Kumparan.com, 17/6/2020, Alinea.id, 20/6/2020).
Tafsir tunggal absolut pemegang kekuasaan pun telah ditorehkan oleh sejarah perjalanan bangsa, di masa rezim Orla (Orde Lama), di mana yang tidak sejalan dengan kebijakan dan kehendak Presiden Soekarno dikatakan kontra revolusi dan harus dipenjarakan atau dilenyapkan. Soekarno dengan Demokrasi Pancasila yang menjadi Demokrasi Terpimpin dan atau Demokrasi Gotong Royong. Presiden Soeharto dengan perjalanan rezim Orbanya (Orde Baru) mengulang sejarah yang sama, di mana yang tidak mendukung kebijakan politiknya dianggap tidak Pancasilais atau menentang Pancasila, sehingga harus menerima resiko pembungkaman atau pelenyapan juga. Demokrasi Pancasila menjadi Demokrasi Terpimpin seperti Orla.
RUU HIP secara gambling dan tegas memberikan mandat kepada pemegang kekuasaan (Presiden) sebagai penafsir tunggal atas Pancasila, sehingga Presiden Joko Widodo dengan tanpa ragu dan sangat percaya diri mengatakan kita ingin membangun Demokrasi Gotong Royong. Demokrasi kita adalah Demokrasi Gotong Royong. Sekalipun apa yang dikatakan Presiden itu sekedar mengulang penegasan kembali pikiran-pikiran politik Soekarno. Akan tetapi, paling tidak, kita bisa melakukan pembacaan bahwa tafsir tunggal yang absolut atas Pancasila adalah pemegang kekuasaan, dalam hal ini Presiden, karena Presiden adalah yang paling Pancasilais. (Cuplikan pernyataan Presiden Jokowi di Rossi Kompas TV: Jokowi dan Masa Depan Demokrasi).
Jika Pemerintah (Istana) hanya melakukan penundaan pembahasaan bukan mengambil sikap dan keputusan untuk menolak atau menghentikan RUU HIP menjadi UU HIP, maka problem utamanya adalah “menjadi bencana bagi Bangsa, Negara dan Republik negeri ini” karena dalam totalitas HIP tersebut: (1) Tidak lagi bernafas dan atau ruhnya bukan lagi TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, sehingga idiologi atau paham Komunis-Sosialis akan bisa kembali bangkit (yang akan mengulang sejarah kelam 1948-1965 dengan wajah baru tentunya), begitu juga dengan paham (idiologi) atau aliran lain seperti Darul Islam-NII (Negera Islam Indonesia- Al-Zaitun-Haurgeulis Indramayu, mengkobinasikan Karto Suwiryo), Daulah Umah (perpecahan Darul Islam), Khilafah (Pancasila dan Demokrasi adalah Thogut) dan tidak menutup mata terhadap idiologi atau paham madzhab lainnya yang yang secara serta merta mendoktrin (brain washing) adalah harus merebut kekuasaan dan atau mengganti haluan dasar negara, yaitu bukan Pancasila, bukan demokrasi dan atau bukan Demokrasi Pancasila lagi.
(2). HIP bisa dipakai sebagai perpanjangan tangan alat berpolitik atau dipergunakan sebagai alat sentimen politik untuk mengatakan bahwa mereka anti (menentang) Pancasila, tidak Pancasilais, karena Pemerintahlah (siapapun Presidennya) yang berhak menafsirkan, apakah itu Pancasila, mana yang Pancasilais dan mana yang bukan Pancasilai dalam kehidupan sosial politik berbangsa dan bernegara seperti terhadap para kritikus, pemerhati ketimpangan kebijakan publik, dan bahkan mimbar akademik, dialektika intelektual, kritisism dan lainnya akan menjadi ancaman dan bencana bagi ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan tidak memiliki lagi ruang terbuka untuk melakukan pengujian-pengujian terhadap argumentasi-argumentasi, logika dan akal waras. Padahal, moralitas ilmu pengetahuan berkewajiban harus menyangsikan semua hal; asumsi, premis, tesis dan antitesis bahkan sintesa itu sendiri untuk menguji ulang atas kebenaran dan pernyataan kebenaran itu sendiri.
(3). Kedudukan Pancasila yang dalam Muqadimah (Pembukaan) UU Dasar ’45 yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan UUD ’45 menjadi sama dengan produk UU lainnya, padahal, Pancasila-UUD’45 mempunyai kedudukan tertinggi (sebagai konsideran mutlak) sebagai sumber hukum, sehingga secara hirarki dalam peraturan perundang-undangan tidak bertabrakan, kacau balau dalam tata Negara. Yang pada akhirnya, Pancasila itu menjadi turunan UU dalam kedudukannya, sehingga kapan saja bisa dilakukan perubahan, di mana Pancasila bisa dilenyapkan, disingkirkan dari UU itu sendiri, Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa dibubarkan atau diganti dengan nama lainnya sebagai bentuk Negara dan Bangsa, tergantung pemahaman, tafsir dan kehendak kepentingan penguasa (Pemerintah) yang berkuasa.
Kelima sila yang ada dalam Pancasila, sesungguhnya sangat bisa dan mudah dipahami dan mudah dimengerti, karena dalam kelima sila itu bahasanya sangat lugas, tidak rumit, tidak bertele-tele, tidak ada majas, tidak memakai metafora-metafora dan tidak konotatif, sehingga kita semua bisa paham, bisa mengerti dan kita semua bisa menafsirkan itu semua, kita semua bisa memaknai itu semua.******
*)Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. HP/WA: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.